I. Pengertian Ilmu Psikologi Industri dan Organisasi
Ilmu psikologi industri dan organisasi (I/O)
• Munsterberg (dalam Berry 1998) adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam dunia kerja.
• Munandar (2001) memberikan pengertian yang lebih rinci bahwa ilmu psikologi I/O adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam perannya sebagai tenaga kerja dan sebagai konsumen, baik secara perorangan maupun secara kelompok, dengan maksud agar temuannya dapat diterapkan dalam industri dan organisasi untuk kepentingan dan kemanfaatan bersama.
II. SEJARAH PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
Tahun 1901, Walter Dill Scott berbicara tentang kemungkinan penggunaan psikologi dalam periklanan. Tahun 1903 ia menerbitkan bukunya The Theory of Advertising, yang dipandang sebagai buku pertama yang membahas tentang psikologi dengan suatu aspek dari dunia kerja (Schultz, 1982, halaman. 8) Tahun 1913 terbit buku lain dengan judul The Psychology of Industrial Efficiency yang ditulis oleh Hugo Muensterberg. yang membahas secara lebih luas bidang dari psikologi industri.
Frederick Winslow Taylor, seorang sarjana teknik, pelopor gerakan “scientific manajement” mencari cara-cara yang paling efisien untuk melakukan suatu pekerjaan, dan menciptakan berbagai macam alat mekanik yang disesuaikan dengan struktur faal badan dan anggota badan kita.
Pada masa itu mulailah para sarjana psikologi melakukan eksperimen bersama-sama dengan para teknik industri menggarap obyek studi yang baru, yaitu kesesuaian dan penyesuaian dari lingkungan kerja fisik, peralatan kerja dan proses kerja dengan keterbatasan kemampuan fisik dan psikis dari manusia sebagai tenaga kerja
Mulai tahun 1960-an penerapan psikologi di bidang penjualan, dengan mengadakan penelitian perilaku konsumen. Sehubungan dengan hal tersebut maka dimulai kegiatan promosi melalui berbagai media untuk menarik konsumen.
Para sarjana psikologi mendalami hubungan antar manusia dalam industri, mempelajari organisasi sebagai suatu keseluruhan, struktur dan iklim berbagai macam organisasi, pola dan gaya komunikasi, struktur sosial formal dan informal yang ditimbulkan, untuk menentukan pengaruh dan akibatnya terhadap perilaku tenaga kerja.
• Perkembangan Psikologi Industri dan Organisasi di Indonesia
Perkembangan psikologi di Indonesia dimulai akhir tahun 1949 atau awal tahun 1950 dengan adanya tes-tes psikologi yang dilakukan oleh Balai Psichotechniek dan Pusat Psikologi Angkatan Darat yang menggunakannya untuk seleksi dan penjurusan berdasarkan pengukuran psikometris.
Baru pada tahun 1953, Prof. Slamet Iman Santoso, mendirikan Lembaga Pendidikan Asisten Psychologi dan Balai Psychotechniek. Kedua lembaga tersebut kemudian dilebur menjadi bagian Psikologi Kejuruan dan Perusahaan. Lembaga Pendidikan Psikologi, berkembang menjadi Jurusan Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tahun 1960 jurusan tersebut menjadi fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dengan psikologi Kejuruan dan Perusahaan sebagai salah satu bagiannya.
Bagian ini kemudian menjadi jurusan Psikologi Industri dan Organisasi. Pengembangan jurusan ini dipelopori oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran (1963), kemudian disusul oleh fakultas Psikologi UGM (1965).
Psikologi industri dan organisasi juga berkembang menjadi beberapa unit - unit kerja dalam kegiatan industri. Dapat dipelajari secara perorangan maupun kelompok dan PIO berperan sebagai konsumen manusia.
III. TUJUAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
1. Deskriptif
Untuk menggambarkan perihal objek dan observasi perilaku kinerja para tenaga kerja di suatu perusahaan.
2. Explain
Untuk menjelaskan kejadian – kejadian atau peristiwa empirik yang dialami karyawan dalam bekerja di lingkungan kerjanya.
3. Prediksi
Untuk memperkirakan gejala – gejala psikis dan perilaku kerja manusia yang timbul di lingkungan kerja.
4. Modifikasi
Untuk merancang dan mengassesment perilaku kerja di lingkungan kerjanya.
IV. RUANG LINGKUP PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
1. Eksperimental
Dimulai pada perang dunia kedua dengan merancang dan membuat alat-alat sesuai dengan kemampuan pskikis dan fisik manusia dalam bekerja. Merupakan masukan bagi psikologi umum yang mengembangkan teori,aturan & prinsip yang berlaku umum untuk setiap manusia.Misalnya: Hukum Proximity (Kedekatan).
♣ Artificial → Situasi buatan
→ Gejala psikis dan prilaku manusia dipelajari di lapangan,situasi kerja yang sesungguhnya.
2. Perekayasaan
Western Electric company di Hawthorne,Illinois (1924) → Meneliti aspek-aspek fisik dari lingkungan kerja terhadap efisiensi pekerja.Dengan mempelajari kondisi lingkungan kerja yang sangat mempengaruhi Efisiensi kinerja manusia di suatu perusahaan maupun lingkungan industry.contoh :
►Apa akibat terhadap produksi jika intensitas lampu ditingkatkan?
►Apakah suhu panas udara dan kelembapan mempengaruhi produksi?
►Apa yang terjadi jika diadakan jam istirahat?
→ Hasil:kondisi sosial dan psikologis dari ingkungan kerja secara potensial mempunyai arti yang lebih penting daripada kondisi - kondisi kerja fisik.
3. Konsumen
Dimulai pada tahun 1960 dengan diterapkannya psikologi di bidang penjualan alat-alat kegiatan industri.
• Kebiasaan membeli & proses pengambilan keputusan untuk membeli di kaji dan dicarikan aturan umum.
• Industri melakukan kegiatan promosi via berbagai macam media massa untuk mengambil hati konsumen.
V. PRINSIP PERKEMBANGAN PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
1. PIO sebagai ilmu pengetahuan industri.
Ilmu yang menciptakan berbagai macam alat mekanik yang disesuakan dengan struktur faal dan anggota badan kita. Masih menerapkan temuan-temuan dari psikologi pada umumnya psikologi dan industri pada khususnya ke dalam industri dan organisasi.
2. PIO sebagai pola hukum ketenaga kerjaan.
Pola yang mengatur dan menerapkan aturan dan konsekuensi perilaku ketenaga kerjaan di lingkungan kerja.
3. PIO sebagai jembatan pelatihan dan pengembangan tenaga kerja di bidang industri.
Sumber Pustaka
Munarwan, A.S. 1988. Psikologi Industri. Jakarta: Universitas Terbuka.
Munandar ., A. S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press.
http://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi
I. Pengertian Ilmu Psikologi Industri dan Organisasi
Ilmu psikologi industri dan organisasi (I/O)
• Munsterberg (dalam Berry 1998) adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam dunia kerja.
• Munandar (2001) memberikan pengertian yang lebih rinci bahwa ilmu psikologi I/O adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam perannya sebagai tenaga kerja dan sebagai konsumen, baik secara perorangan maupun secara kelompok, dengan maksud agar temuannya dapat diterapkan dalam industri dan organisasi untuk kepentingan dan kemanfaatan bersama.
II. SEJARAH PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
Tahun 1901, Walter Dill Scott berbicara tentang kemungkinan penggunaan psikologi dalam periklanan. Tahun 1903 ia menerbitkan bukunya The Theory of Advertising, yang dipandang sebagai buku pertama yang membahas tentang psikologi dengan suatu aspek dari dunia kerja (Schultz, 1982, halaman. 8) Tahun 1913 terbit buku lain dengan judul The Psychology of Industrial Efficiency yang ditulis oleh Hugo Muensterberg. yang membahas secara lebih luas bidang dari psikologi industri.
Frederick Winslow Taylor, seorang sarjana teknik, pelopor gerakan “scientific manajement” mencari cara-cara yang paling efisien untuk melakukan suatu pekerjaan, dan menciptakan berbagai macam alat mekanik yang disesuaikan dengan struktur faal badan dan anggota badan kita.
Pada masa itu mulailah para sarjana psikologi melakukan eksperimen bersama-sama dengan para teknik industri menggarap obyek studi yang baru, yaitu kesesuaian dan penyesuaian dari lingkungan kerja fisik, peralatan kerja dan proses kerja dengan keterbatasan kemampuan fisik dan psikis dari manusia sebagai tenaga kerja
Mulai tahun 1960-an penerapan psikologi di bidang penjualan, dengan mengadakan penelitian perilaku konsumen. Sehubungan dengan hal tersebut maka dimulai kegiatan promosi melalui berbagai media untuk menarik konsumen.
Para sarjana psikologi mendalami hubungan antar manusia dalam industri, mempelajari organisasi sebagai suatu keseluruhan, struktur dan iklim berbagai macam organisasi, pola dan gaya komunikasi, struktur sosial formal dan informal yang ditimbulkan, untuk menentukan pengaruh dan akibatnya terhadap perilaku tenaga kerja.
• Perkembangan Psikologi Industri dan Organisasi di Indonesia
Perkembangan psikologi di Indonesia dimulai akhir tahun 1949 atau awal tahun 1950 dengan adanya tes-tes psikologi yang dilakukan oleh Balai Psichotechniek dan Pusat Psikologi Angkatan Darat yang menggunakannya untuk seleksi dan penjurusan berdasarkan pengukuran psikometris.
Baru pada tahun 1953, Prof. Slamet Iman Santoso, mendirikan Lembaga Pendidikan Asisten Psychologi dan Balai Psychotechniek. Kedua lembaga tersebut kemudian dilebur menjadi bagian Psikologi Kejuruan dan Perusahaan. Lembaga Pendidikan Psikologi, berkembang menjadi Jurusan Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tahun 1960 jurusan tersebut menjadi fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dengan psikologi Kejuruan dan Perusahaan sebagai salah satu bagiannya.
Bagian ini kemudian menjadi jurusan Psikologi Industri dan Organisasi. Pengembangan jurusan ini dipelopori oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran (1963), kemudian disusul oleh fakultas Psikologi UGM (1965).
Psikologi industri dan organisasi juga berkembang menjadi beberapa unit - unit kerja dalam kegiatan industri. Dapat dipelajari secara perorangan maupun kelompok dan PIO berperan sebagai konsumen manusia.
III. TUJUAN PERKEMBANGAN PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
1. Deskriptif
Untuk menggambarkan perihal objek dan observasi perilaku kinerja para tenaga kerja di suatu perusahaan.
2. Explain
Untuk menjelaskan kejadian – kejadian atau peristiwa empirik yang dialami karyawan dalam bekerja di lingkungan kerjanya.
3. Prediksi
Untuk memperkirakan gejala – gejala psikis dan perilaku kerja manusia yang timbul di lingkungan kerja.
4. Modifikasi
Untuk merancang dan mengassesment perilaku kerja di lingkungan kerjanya.
IV. RUANG LINGKUP PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
1. Eksperimental
Dimulai pada perang dunia kedua dengan merancang dan membuat alat-alat sesuai dengan kemampuan pskikis dan fisik manusia dalam bekerja. Merupakan masukan bagi psikologi umum yang mengembangkan teori,aturan & prinsip yang berlaku umum untuk setiap manusia.Misalnya: Hukum Proximity (Kedekatan).
♣ Artificial → Situasi buatan
→ Gejala psikis dan prilaku manusia dipelajari di lapangan,situasi kerja yang sesungguhnya.
2. Perekayasaan
Western Electric company di Hawthorne,Illinois (1924) → Meneliti aspek-aspek fisik dari lingkungan kerja terhadap efisiensi pekerja.Dengan mempelajari kondisi lingkungan kerja yang sangat mempengaruhi Efisiensi kinerja manusia di suatu perusahaan maupun lingkungan industry.contoh :
►Apa akibat terhadap produksi jika intensitas lampu ditingkatkan?
►Apakah suhu panas udara dan kelembapan mempengaruhi produksi?
►Apa yang terjadi jika diadakan jam istirahat?
→ Hasil:kondisi sosial dan psikologis dari ingkungan kerja secara potensial mempunyai arti yang lebih penting daripada kondisi - kondisi kerja fisik.
3. Konsumen
Dimulai pada tahun 1960 dengan diterapkannya psikologi di bidang penjualan alat-alat kegiatan industri.
• Kebiasaan membeli & proses pengambilan keputusan untuk membeli di kaji dan dicarikan aturan umum.
• Industri melakukan kegiatan promosi via berbagai macam media massa untuk mengambil hati konsumen.
V. PRINSIP PERKEMBANGAN PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
1. PIO sebagai ilmu pengetahuan industri.
Ilmu yang menciptakan berbagai macam alat mekanik yang disesuakan dengan struktur faal dan anggota badan kita. Masih menerapkan temuan-temuan dari psikologi pada umumnya psikologi dan industri pada khususnya ke dalam industri dan organisasi.
2. PIO sebagai pola hukum ketenaga kerjaan.
Pola yang mengatur dan menerapkan aturan dan konsekuensi perilaku ketenaga kerjaan di lingkungan kerja.
3. PIO sebagai jembatan pelatihan dan pengembangan tenaga kerja di bidang industri.
Sumber Pustaka
Munarwan, A.S. 1988. Psikologi Industri. Jakarta: Universitas Terbuka.
Munandar ., A. S. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: UI Press.
http://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi
All About Psychology
Monday, August 13, 2018
Konsumtif
Konsumtif
Kata “ konsumtif “ ( sebagai kata sifat, lihat akhiran if ) sering diartikan sama dengan “ konsumerisme “. Sebenanya kata yang terakhir ini mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang - barang yang kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal.
Dalam era globalisasi ini dan di tengah kondisi insibilitas ekonomi yang mengakibatkan terus melonjaknya harga komoditas bahan pokok saat ini, pengendalian diri sangatlah penting. Sedini mungkin hendaknya menghindari pola hidup konsumtif. Kebiasaan konsumtif ini biasanya didasari oleh faktor gengsi(banyak orang merasa tidak puas, iri, ingin mendapat sesuatu dengan cara yang mudah).
Perilaku konsumtif, biasanya kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang sangat potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut – ikutan teman, tidak realistis dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat - sifat remaja inilah yang sering dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja.
Dikalangan remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama di kota - kota besar, mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga membuat para remaja merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Contohnya saja dengan berbagai merk hp dan serinya sampai- sampai ada yang membuat tiruannya dengan harga yang fantastis murahnya. Alhasil, muncullah perilaku konsumtif.
Dari sejumlah penelitian, ada perbedaan dalam pola konsumtif antara pria dan wanita. Juga terdapat sifat yang berbeda antara pria dan wanita dalam perilaku membeli.
Perbedaan tersebut adalah:
a. Pria
• mudah terpengaruh bujukan penjual
• sering tertipu karena tidak sabar dalam memilih barang
• mempunyai perasaan kurang enak bila tidak membeli sesuatu setelah memasuki toko
• kurang menikmati kegiatan berbelanja sehingga sering terburu-buru mengambil suatu keputusan membeli.
b. Wanita
• lebih tertarik pada warna dan bentuk bukan pada hal yang teknis
• tidak mudah terbawa arus bujukan penjual
• menyenangi hal- hal yang romantis daripada obyektif
• cepat merasakan suasana toko
• senang melakukan kegiatan belanja walau hanya “window shopping" (melihat saja tetapi tidak membeli)
Remaja dalam perkembangan kognitif dan emosinya masih memandang bahwa atribut yang superficial itu sama penting ( bahkan lebih penting ) dengan substansi.Akan menjadi masalah ketika kecenderungan yang seharusnya wajar pada remaja ini dilakukan secara berlebihan.
Ada pepatah “Lebih besar pasak daripada tiang “, terkadang apa yang dituntut diluar kemampuan yang kita miliki. Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar dalam gaya hidup sekelompok remaja yang dalam perkembangannya mereka akan menjadi dewasa dengan gaya hidup konsumtif.
Daftar Pustaka
Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
eprints.undip.ac.id/.../POSMODERNISME_DAN_BUDAYA_KONSUMEN.doc ( diunduh pada 13 oktober 2011, pukul 22.00 wib)
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)
Saturday, August 4, 2018
MEMAHAMI KONSEP MODAL MANUSIA (HUMAN CAPITAL CONCEPT)
Pendahuluan
Menelusuri tahun demi tahun di abad 21 ini persaingan di semua sektor semakin
ketat. Untuk memenangkannya, setiap organisasi, sektor privat maupun publik, harus
memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) tertentu dibandingkan dengan
organisasi lainnya. Keunggulan ini dapat dibentuk melalui berbagai cara, seperti
menciptakan produk dengan desain yang unik, penggunaan teknologi modern, desain
organisasi, dan yang terpenting adalah manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) secara
efektif. Produk yang dimaksud disini tentunya tidak hanya berupa barang yang tangible
tetapi juga jasa atau layanan yang intangible. Khusus dalam konteks manajemen SDM,
pimpinan perlu meningkatkan berbagai potensi SDM agar mampu memberdayakannya
secara optimal dalam mencapai kinerja. Sehingga mampu mendudukkan organisasi pada
posisi yang lebih baik dibandingkan dengan organisasi lainnya.
Pengembangan SDM bagi organisasi pada hakekatnya adalah investasi. Investasi
dalam pengembangan SDM merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk memperbaiki
kapasitas produktif dari manusia, melalui upaya peningkatan kesehatan, pendidikan dan
pelatihan kerja. Alasan logis yang dapat dikemukakan adalah bahwa tenaga kerja yang
sehat, terdidik, dan terampil akan menjadi angkatan kerja yang produktif, dan selanjutnya
peningkatan produktifitas berarti peningkatan returns. Dengan manajemen SDM yang baik,
organisasi akan memiliki kekuatan kompetitif dan akan menjadi sulit untuk ditiru, sehingga
sumber-sumber keberhasilan kompetitif tradisional seperti teknologi proses produksi,
proteksi pasar, akses terhadap sumber keuangan dan skala ekonomi seharusnya menjadi
lebih berdaya guna.
Dalam bidang manufaktur, adalah hal penting melakukan investasi pada modal yang
berupa peralatan untuk tetap kompetitif dan menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi.
Membiarkan pabrik dan mesin-mesin menjadi usang merupakan malapetaka bagi
perusahaan. Tetapi, modal peralatan tidak dapat beroperasi secara efisien bila para
operator tidak kapabel dan terampil. Hal ini semakin penting untuk ditekankan, mengingat
perubahan teknologi terjadi sangat cepat yang menyebabkan peralatan cepat usang.
Investasi dalam teknologi juga hanya memberikan keunggulan kompetitif yang
terbatas, seperti yang dikatakan oleh Pfeffer dalam Mangkunegara (2005;110) “machine
don’t make things, people do”. Adalah konsekuensi logis bahwa untuk membuat organisasi
mempunyai daya kompetitif yang berkelanjutan (sustainable) dan lebih sulit untuk ditiru,
investasi dalam sumber daya ekonomi yang paling berharga, yaitu manusia, tidak dapat
ditunda lagi. Semakin disadari bahwa ancaman nyata terbesar terhadap stabilitas
perekonomian kita adalah angkatan kerja yang tidak siap (workforce illguipped) untuk
menghadapi tantangan-tantangan yang sudah semakin dekat di depan mata.
Pidato Theodore, W. Schultz pada tahun 1960 yang berjudul Investment in Human
Capital di hadapan para ahli ekonomi dan pejabat yang tergabung dalam American
Economic Assosiation merupakan peletak dasar teori atau konsep modal manusia (human
capital concept). Konsep ini pada intinya menganggap bahwa manusia merupakan suatu
bentuk modal atau kapital sebagaimana bentuk-bentuk kapital lainnya, seperti mesin,
teknologi, tanah, uang, dan material. Manusia sebagai human capital tercermin dalam
bentuk pengetahuan, gagasan (ide), kreativitas, keterampilan, dan produktivitas kerja. Tidak
seperti bentuk kapital lain yang hanya diperlakukan sebagai tools, human capital ini dapat
menginvestasikan dirinya sendiri melalui berbagai bentuk investasi SDM, diantaranya
pendidikan formal, pendidikan informal, pengalaman kerja, kesehatan, dan gizi serta
transmigrasi (Fattah, 2004).
Konsep Modal Manusia
Modal manusia adalah komponen yang sangat penting di dalam organisasi. Manusia
dengan segala kemampuannya bila dikerahkan keseluruhannya akan menghasilkan kinerja
yang luar biasa. Ada enam komponen dari modal manusia, yakni:
(1) Modal intelektual;
(2) Modal emosional;
(3) Modal sosial;
(4) Modal ketabahan,
(5) Modal moral; dan
(6) Modal
kesehatan (Ancok,2002). Keenam komponen modal manusia ini akan muncul dalam sebuah
kinerja yang optimum apabila disertai oleh modal kepemimpinan dan modal struktur
organisasi yang memberikan wahana kerja yang mendukung.
a. Modal intelektual (intellectual capital)
Modal intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk menemukaan peluang dan
mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang mengatakan bahwa modal
intelektual sangat besar peranannya di dalam menambah nilai suatu kegiatan.
Organisasi yang unggul dan meraih banyak keuntungan adalah organisasi yang terus
menerus mengembangkan sumberdaya manusianya (Ross dkk., 1997). Manusia
memiliki sifat proaktif dan inovatif untuk mengelola perubahan lingkungan kehidupan
(ekonomi, sosial, politik, teknologi, hukum dan lain-lain) yang sangat tinggi kecepatannya.
Mereka yang tidak beradaptasi pada perubahan yang super cepat ini akan dilanda
kesulitan.
Don Tappscott (1998) pada bukunya yang berjudul “Digital Economy: Promise and Peril
in the Age of Networked Intelligence” mengemukakan 12 tema ekonomi baru akibat dari
meluasnya pengaruh internet. Salah satu tema ekonomi baru itu adalah tema ekonomi
berbasis pengetahuan (knowledge based economy). Implementasinya adalah hanya
pegawai yang memiliki pengetahuan yang luas dan terus menambah pengetahuan yang
dapat beradaptasi dengan kondisi perubahan lingkungan strategik yang luar biasa
cepatnya.
Pada awal tahun 1920 para psikolog banyak membicarakan konsep IQ (Intelligence
Quotient) sebagai satu-satunya indikator kecerdasan, dengan asumsi bahwa mereka
yang memiliki IQ yang tinggi akan memiliki kemampuan untuk memecahkan
permasalahan kehidupan. Orang yang memiliki IQ yang tinggi diduga akan cepat
menguasai pengetahuan karena kecepatan daya pikir yang dimilikinya. Namun selain
memiliki angka kecerdasan yang tinggi, seseorang baru akan memiliki pengetahuan
yang luas apabila dia memiliki kebiasaan untuk merenung tentang kejadian alam
semesta ini dan mencari makna dari setiap fenomena yang terjadi tersebut. Kebiasaan
merenung dan merefleksikan sebuah fenomena inilah yang membuat orang menjadi
cerdas.
Oleh karena modal intelektual terletak pada kemauan untuk berfikir dan kemampuan
untuk memikirkan sesuatu yang baru, maka modal intelektual tidak selalu ditentukan
oleh tingkat pendidikan formal yang tinggi. Dalam sejarah tercatat bahwa yang
menemukan gagasan tentang elevator di luar gedung pada gedung tinggi hanyalah
seorang cleaning service. Ceritanya bermula dari keinginan para insinyur untuk
membuat elevator dalam sebuah hotel karena kamar di lantai tiga dan di lantai empat
tidak laku dijual. Gagasan awal adalah menjebol lantai untuk membuat elevator di dalam
bangunan hotel. Tapi gagasan itu ditolak bagian cleaning service karena mereka akan
bekerja lebih banyak membersihkan debu yang berterbangan ke seluruh lantai. Untuk
menghindari hal tersebut pegawai cleaning service menyarankan agar elevator di buat di
luar gedung. Itulah awalnya gagasan adanya lift capsule yang turun naik di luar dinding
gedung.
b. Modal Emosional (emotional capital)
Goleman (1997) menggunakan istilah emotional intelligence untuk menggambarkan
kemampuan manusia untuk mengenal dan mengelola emosi diri sendiri, serta
memahami emosi orang lain agar dia dapat mengambil tindakan yang sesuai dalam
berinteraksi dengan orang lain. Menurut Bradberry & Greaves (2005) dalam Ancok
(2005), terdapat empat dimensi dari kecerdasan emosional yakni:
1. Self Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri secara tepat
dan akurat dalam berbagai situasi secara konsisten. Bagaimana reaksi emosi di saat
menghadapi suatu peristiwa yang memancing emosi, sehingga seseorang dapat
memahami respon emosi dirinya sendiri dari segi positif maupun segi negatif.
2. Self Management adalah kemampuan mengelola emosi secara baik, setelah
memahami emosi yang sedang dirasakannya, apakah emosi positif atau negatif.
Kemampuan mengelola emosi secara positif dalam berhadapan dengan emosi diri
sendiri akan membuat seseorang dapat merasakan kebahagiaan yang maksimal.
3. Social Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi orang lain dari
tindakannya yang tampak. Ini adalah kemampuan berempati, memahami dan
merasakan perasaan orang lain secara akurat. Dengan adanya pemahaman ini
individu sudah memiliki kesiapan untuk meenanggapi situasi emosi orang lain secara
positif.
4. Relationship Management adalah kemampuan orang untuk berinteraksi secara
positif pada orang lain, betapapun negatifnya emosi yang dimunculkan oleh orang
lain. Kemampuan mengelola hubungan dengan orang lain secara positif ini adalah
hasil dari ketiga dimensi lain dari kecerdasan emosi (self awareness, self
management and sosial awareness).
Orang yang memiliki modal emosional yang tinggi memiliki sikap positif di dalam
menjalani kehidupan. Dia memiliki pikiran positif (positive thinking) dalam menilai sebuah
fenomena kehidupan betapapun buruknya fenomena tersebut di mata orang lain. Ketika
menghadapi perbedaan pendapat, orang yang memiliki modal emosional yang baik akan
menyikapinya dengan positif, sehingga diperoleh manfaat yang besar bagi
pengembangan diri, atau pengembangan sebuah konsep. Modal intelektual akan
berkembang atau terhambat perkembangannya sangat ditentukan oleh modal emosional.
Orang yang hatinya terbuka dan bersikap positif dan terbuka serta menghindari
pernilaian negatif atas sebuah pemikiran orang lain akan memperoleh manfaat dari
perbedaan pendapat. Banyak penelitian menunjukkan bahwa inteligensi emosional ini
lebih menentukan kesuksesan hidup seseorang dibanding dengan IQ. Beberapa tahun
terakhir ini makin banyak pembicaraan tentang pentingnya peranan inteligensi
emosional (emotional intelligence) dalam menunjang kesuksesan hidup manusia.
c. Modal Sosial (social capital)
Istilah modal sosial pertama kali muncul di tahun 1916 di saat ada diskusi tentang upaya
membangun pusat pembelajaran masyarakat (Cohen & Prusak,2001). Pembahasan
tentang konsep modal sosial semakin hangat setelah munculnya tulisan Robert Putnam
(1993) dalam Ancok (1998) yang menggambarkan kualitas kehidupan masyarakat
Amerika yang makin menurun dalam hal kelekatan antar sesama warga.
Munculnya tulisan-tulisan lain tentang modal sosial adalah suatu respon terhadap
semakin merenggangnya hubungan antar manusia, dan semakin melemahnya
ketidakpedulian terhadap sesama manusia. Fukuyama (1995) dalam Ancok (1998)
sangat khawatir tentang masa depan komunitas manusia yang diutarakannya seperti
berikut: “We no longer have realistic hopes that we can create a “great society” through
large government program”. Kehadiran masyarakat yang menekankan kehidupan hanya
pada pertumbuhan ekonomi seperti yang diutarakan oleh Wachtel (1989) dalam Ancok
(1997) telah menghantarkan manusia pada kehancuran. Dalam pandangan Fukuyama
(1995) transisi dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi semakin
memperenggang ikatan sosial dan melahirkan banyaknya patologi sosial seperti
meningkatnya angka kejahatan, anak-anak lahir di luar nikah dan menurunnya
kepercayaan pada sesama komponen masyarakat. Dalam upaya membangun sebuah
bangsa yang kompetitif peranan modal sosial semakin penting. Banyak kontribusi modal
sosial untuk kesuksesan suatu masyarakat. Dalam era informasi yang ditandai semakin
berkurangnya kontak tatap muka (face to face relationship), modal sosial sebagai bagian
dari modal maya (virtual capital) akan semakin menonjol peranannya (Ancok, 1998).
Pandangan para ahli dalam mendefinisikan konsep modal sosial dapat dikategorikan ke
dalam dua kelompok. Kelompok pertama menekankan pada jaringan hubungan sosial
(social network), sedangkan kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik
(traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah
interaksi sosial.
Pendapat kelompok pertama ini didukung oleh para beberapa ahli. Brehm & Rahn
(1997) dalam Ancok (2002) berpendapat bahwa modal sosial adalah jaringan kerjasama
di antara warga masyarakat yang memfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang
dihadapi mereka. Definisi lain dikemukakan oleh Pennar (1997) dalam Ancok (2002) “the
web of social relationships that influences individual behavior and thereby affects
economic growth” (jaringan hubungan sosial yang mempengaruhi perilaku individual dan
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi). Woolcock (1998) dalam Ancok (2002)
mendefinisikan modal sosial sebagai “the information, trust, and norms of reciprocity
inhering in one’s social networks”. Cohen dan Prusak (2001:3) berpendapat
bahwa ”Social capital consists of the stock of active connections among people: the trust,
mutual understanding and shared values and behaviours that bind the members of
human networks and communities and make cooperative action possible”. (Modal sosial
adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia: rasa percaya, saling
pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah
jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama).
Pandangan kelompok pertama menekankan pada aspek jaringan hubungan sosial yang
diikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, dan kesamaan nilai,
dan saling mendukung. Menurut pandangan kelompok ini modal sosial akan semakin
kuat apabila sebuah komunitas atau organisasi memiliki jaringan hubungan kerjasama,
baik secara internal komunitas/organisasi, atau hubungan kerjasama yang bersifat antar
komunitas/organisasi. Jaringan kerja sama yang sinergistik yang merupakan modal
sosial akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan bersama.
Pendapat ahli dari kelompok kedua diwakili antara lain oleh Fukuyama (1995) dalam
Ancok (1998) yang mendefinisikan modal sosial sebagai berikut: “social capital: the
ability of people to work together for common purposes in groups and organizations”.
Dengan bahasa yang lain Fukuyama menjelaskan bahwa “Social capital can be defined
simply as the existence of a certain set of informal values or norms shared among
members of a group that permit cooperation among them. (Modal sosial adalah
serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para
anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di
antara mereka). Sejalan dengan pendapat Fukuyama, Bowles & Gintis (2000) dalam
Ancok (2002) mendefinisikan modal sosial sebagai berikut: ”Social capital generally
refers to trust, concern for one’s associates, a willingness to live by the norms of one’s
community and topunish those who do not”.
Organisasi adalah kumpulan sejumlah manusia yang bekerja sama untuk mencapai
tujuan organisasi. Selain itu sebuah organisasi harus bekerja sama dengan organisasi
lain untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar. Kerjasama dengan organisasi lain ini
diwujudkan dalam sebuah aliansi strategik (strategic alliances), atau dalam sebuah
penggabungan (merger) organisasi. Modal sosial adalah dasar bagi terbentuknya sinergi
di dalam melaksanakan tugas organisasi. Dengan bersinergi dapatlah diperoleh hasil
kerja yang lebih besar, jika dibandingkan dengan bekerja sendiri-sendiri.
Modal intelektual baru akan berkembang bila masing-masing orang berbagi wawasan.
Untuk dapat berbagi wawasan orang harus membangun jaringan hubungan sosial
dengan orang lainnya. Kemampuan membangun jaringan sosial inilah yang disebut
dengan modal sosial. Semakin luas pergaulan seseorang dan semakin luas jaringan
hubungan sosial (social networking) semakin tinggi nilai seseorang. Modal sosial
dimanifestasikan pula dalam kemampuan untuk bisa hidup dalam perbedaan dan
menghargai perbedaan (diversity). Pengakuan dan penghargaan atas perbedaan adalah
suatu syarat tumbuhnya kreativitas dan sinergi. Kemampuan bergaul dengan orang yang
berbeda, menghargai dan memanfaatkan secara bersama perbedaan tersebut akan
memberikan kebaikan buat semua.
d. Modal Ketabahan (adversity capital)
Konsep modal ketabahan berasal dari pandangan Paul G. Stoltz (1997) dalam Ancok
(2002) yang ditulis dalam buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities.
Ketabahan adalah modal untuk sukses dalam kehidupan, apakah itu kehidupan pribadi
ataukah kehidupan organisasi. Ketika menghadapi kesulitan atau problem yang belum
terpecahkan, hanya mereka yang tabah yang akan berhasil menyelesaikannya.
Berdasarkan perumpamaan pada para pendaki gunung, Stoltz membedakan tiga tipe
manusia: quitter, camper dan climber. Tipe pendaki gunung yang mudah menyerah
dinamainya dengan quitter, yakni orang yang bila berhadapan dengan masalah memilih
untuk melarikan diri dari masalah dan tidak mau menghadapi tantangan guna
menaklukkan masalah. Orang seperti ini akan sangat tidak efektif dalam menghadapi
tugas kehidupan yang berisi tantangan. Demikian pula dia tidak efektif sebagai pekerja
sebuah organisasi bila dia tidak kuat.
Tipe camper adalah tipe yang berusaha tapi tidak sepenuh hati. Bila dia menghadapi
sesuatu tantangan dia berusaha untuk mengatasinya, tapi dia tidak berusaha mengatasi
persoalan dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Dia bukan tipe orang yang akan
mengerahkan segala potensi yang dimilikinya untuk menjawab tantangan yang
dihadapinya. Bila tantangan persoalan cukup berat dan dia sudah berusaha
mengatasinya tapi tidak berhasil, maka dia akan melupakan keinginannya dan beralih ke
tempat lain yang tidak memiliki tantangan seberat itu.
Tipe ketiga adalah climber yang memiliki stamina yang luar biasa di dalam
menyelesaikan masalah. Dia tipe orang yang pantang menyerah sesulit apapun situasi
yang dihadapinya. Dia adalah pekerja yang produktif bagi organisasi tempat dia bekerja.
Orang tipe ini memiliki visi dan cita-cita yang jelas dalam kehidupannya. Kehidupan
dijalaninya dengan sebuah tata nilai yang mulia, bahwa berjalan harus sampai ke tujuan.
Orang tipe ini ingin selalu menyelesaikan pekerjaan dengan tuntas (sense of closure)
dengan berpegang teguh pada sebuah prinsip etika. Dia bukan tipe manusia yang ingin
berhasil tanpa usaha. Bagi dia hal yang utama bukanlah tercapainya puncak gunung,
tetapi adalah keberhasilan menjalani proses pendakian yang sulit dan menegangkan
hingga mencapai puncak.
e. Modal Moral (morality capital)
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kinerja organisasi sangat tergantung pada
sejauh mana organisasi tersebut berpegang pada prinsip etika bisnis di dalam kegiatan
bisnis yang dilakukannya. Untuk berperilaku sesuai dengan kaidah etik, organisasi
memiliki berbagai perangkat pendukung etik, yang salah satunya adalah manusia yang
memiliki moral yang mengharamkan perilaku yang melanggar etik.
Kehancuran dan kemunduran berbagai perusahaan besar di USA seperti Enron
(perusahaan listrik terbesar), dan Arthur Anderson (perusahaan konsultan keuangan
yang beroperasi di seluruh dunia) disebabkan oleh perilaku bisnis yang melanggar etika
bisnis. Kasus krisis keuangan di Indonesia tahun 1997-1978 yang membuat perbankan
Indonesia bangkrut karena kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) disebabkan
oleh perilaku para pemain bisnis yang tidak berpegang pada etika bisnis. Demikian pula
dengan kasus Bank Century yang menghebohkan juga disebabkan oleh perilaku para
pemain bisnis yang tidak jujur (atau tidak beritikad baik?) menyampaikan informasi, yang
mengakibatkan keputusan bailout dianggap bermasalah.
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa organisasi yang berpegang pada prinsip
etika memiliki citra yang baik. Citra ini tidak hanya membuat orang suka membeli produk
dan jasa organisasi tersebut, tetapi juga membuat harga saham di pasar bursa
meningkat secara signifikan. Selain itu organisasi yang berperilaku etika juga akan
menarik banyak calon pekerja yang berkualitas untuk melamar menjadi pekerja di
perusahaan tersebut. Sebaliknya kalau sebuah organisasi melakukan perilaku yang
melanggar etika bisnis maka kerugianlah yang akan dialaminya. Sepatu merk Nike
kehilangan banyak pembeli setelah ada publikasi yang luas mengenai anak-anak di
bawah umur yang bekerja di perusahaan Nike yang berlokasi di negara-negara
berkembang (Hawkins et.al ,1998).
Modal moral telah banyak dibicarakan oleh para ahli. Salah satu buku yang
membicarakan aspek modal ini adalah Moral Intelligence: Enhancing Business
Performance and Leadership Success yang ditulis oleh Doug Lennick & Fred Kiel (2005).
Keduanya dalam Ancok (2002) telah menyusun alat pengukur Moral Competency
Inventory (Inventori untuk mengukur kompetensi moral). Terdapat empat komponen
modal moral yang membuat seseorang memiliki kecerdasan moral yang tinggi yaitu:
1. Integritas (integrity), yakni kemauan untuk mengintegrasikan nilai-nilai universal di
dalam perilaku. Individu memilih berperilaku yang tidak bertentangan dengan kaidah
perilaku etikal yang universal. Orang berperilaku atas keyakinan bahwa perilaku
dalam bekerja yang etikal adalah sesuatu yang harus dilakukan dan akan membuat
dirinya bersalah jika hal itu dilakukan.
2. Bertanggung jawab (responsibility) atas perbuatan yang dilakukannya. Hanya orangorang
yang mau bertanggung jawab atas tindakannya dan memahami konsekuensi
dari tindakannya yang bisa berbuat sejalan dengan prinsip etik yang universal.
3. Penyayang (compassionate) adalah tipe orang yang tidak akan merugikan orang lain,
karena dia menyadari memberi kasih sayang pada orang lain adalah juga sama
dengan memberi kasih sayang pada diri sendiri. Orang yang melanggar etika adalah
orang yang tidak memiliki kasih sayang pada orang lain yang dirugikan akibat
perbuatannya yang melanggar hak orang lain.
4. Pemaaf (forgiveness) adalah sifat yang diberikan pada sesama manusia. Orang
yang memiliki kecerdasan moral yang tinggi bukanlah tipe orang pendendam yang
membalas perilaku yang tidak menyenangkan dengan cara yang tidak
menyenangkan pula.
Sebagaimana modal intelektual yang berbasis pada kecerdasan intelektual, modal moral
dasarnya adalah kecerdasan moral yang berbasis pada empat kompetensi moral di atas.
Modal moral menjadi semakin penting peranannya karena upaya membangun manusia
yang cerdas dengan IQ tinggi dan manusia yang pandai mengelola emosinya dalam
berhubungan dengan orang lain tidaklah mengantarkan manusia pada kebermaknaan
hidup. Kebermaknaan hidup adalah sebuah motivasi yang kuat yang mendorong orang
untuk melakukan sesuatu kegiatan yang berguna. Hidup yang berguna adalah hidup
yang memberi makna pada diri sendiri dan orang lain. Selain itu modal moral ini juga
memberikan perasaan hidup yang komplet (wholeness). Inilah yang disebut oleh
Abraham Maslow dengan “Peak Experience”, perasaan yang muncul karena kedekatan
dengan sang Pencipta. Konsep yang demikian ini banyak yang menyebutnya dengan
istilah modal spiritual (Sinetar, 2000) dalam Ancok (2002). Stephen Covey (1990)
memasukkan bagian dari hal yang bersifat spiritual ini dalam bagian kegiatan manusia
yang harus ditingkatkan agar manusia menjadi manusia yang efektif.
Bagi orang yang beragama, modal intelektual, modal emosional, modal sosial, modal
ketabahan, dan modal moral yang diutarakan di atas adalah bagian dari ekspresi modal
spiritual. Semakin tinggi keimanan seseorang semakin tinggi pula kelima modal di atas.
Namun demikian banyak orang yang menyarankan agar modal spiritual dipisahkan dari
kelima modal di atas, dengan tujuan untuk semakin menekankan betapa pentingnya
upaya pengembangan spiritualitas dan keberagamaan manusia. Di mata orang yang
berpandangan demikian, agama akan menjadi pembimbing kehidupan agar tidak
menjadi egoistik yang orientasinya hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Oleh
karena itu upaya untuk mengembangkan keagamaan adalah bagian mutlak dan utama
bagi tumbuhnya masyarakat yang makmur dan sejahtera serta aman dan damai.
f. Modal Kesehatan
Badan atau raga adalah wadah untuk mendukung manifestasi semua modal di atas.
Badan yang tidak sehat akan membuat semua modal di atas tidak muncul dengan
maksimal. Oleh karena itu kesehatan adalah bagian dari modal manusia agar dia bisa
bekerja dan berfikir secara produktif. Stephen Covey (1990) dalam bukunya yang
berjudul Seven Habits of Highly Effective People, mengatakan bahwa kesehatan adalah
bagian dari kehidupan yang harus selalu dijaga dan ditingkatkan kualitasnya sebagai
pendukung manusia yang efektif. Bila badan sedang sakit semua sistem tubuh kita
menjadi terganggu fungsinya, akibatnya kita jadi malas berfikir dan berbuat (modal
intelektual), dan seringkali emosi (modal emosional) kita mudah terganggu kestabilannya,
dan seringkali kita mudah menyerah menghadapi tantangan hidup (modal ketabahan).
Selain itu semangat untuk berinteraksi dengan orang lain (modal sosial) dengan orang
lainpun menjadi berkurang. Jadi ada benarnya kata pepatah “dalam badan yang sehat
terdapat jiwa/pikiran yang sehat”. Walaupun banyak kritikan terhadap pernyataan itu,
karena ternyata banyak orang gila yang badannya sangat sehat tapi pikirannya sakit,
tapi seluruh komponen modal manusia saling berinteraksi satu dengan lain seperti es
teh jeruk nipis yang manis, sulit dipisahkan mana yang teh, mana yang jeruk nipis, mana
yang gula, dan mana yang air es.
Pengembangan Modal Manusia
Proses pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan dan pelatihan, pada umumnya
sangat bersifat individual, dan kurang menekankan pada belajar kelompok. Selain itu proses
pendidikan biasanya hanya berfokus pada pengembangan aspek kognitif. Sementara modal
manusia adalah bagian dari proses yang tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga bersifat
afektif. Modal sosial muncul dari hasil kerjasama antar individu, oleh karenanya
pembentukan modal manusia hanya bisa dilakukan dengan efektif apabila melibatkan
sejumlah orang yang bekerjasama dalam sebuah kelompok. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa belajar bersama dalam kelompok (learning group) dapat meningkatkan
hasil kerja kelompok dan perasaan menyatu dalam organisasi (Cunningham:2002). Sebagai
contoh, hasil observasi terhadap dampak Leadership Development Program (LDP) di PT.
Caltex Pacific Indonesia beberapa saat setelah program LDP dilaksanakan menunjukkan
adanya penguatan modal sosial. Sesama anggota perusahaan merasa lebih akrab dan
melihat orang lain sebagai bagian dari sukses perusahaan. Afiatin (2003) melaporkan
berbagai hasil penelitian yang melihat dampak penggunaan pelatihan outbound bagi
perkembangan kepribadian yang menumbuhkan modal manusia. Selain itu Johnson &
Johnson menemukan keberadaan dalam pelatihan telah menumbuhkan nuansa hidup
berkomunitas (Ancok, 2002).
Salah satu bentuk diklat yang paling efektif adalah pembentukan kerja sama tim
(team building exercise) yang dilakukan melalui pelatihan berdasarkan pengalaman di alam
terbuka. Pengalaman melaksanakan kegiatan outbound management training menunjukkan
bahwa kerja sama tim dan antar tim semakin meningkat pada berbagai organisasi yang
menggunakan metode tersebut. Maraknya penggunaan pelatihan di alam terbuka dengan
melibatkan belajar dalam kelompok di berbagai perusahaan menunjukkan bahwa metode ini
dianggap efektif di dalam membangun kerjasama kelompok. Tidak hanya di lembaga bisnis,
kini semakin banyak organisasi pemerintah yang mengembangkan organisasinya melalui
penerapan pelatihan kelompok di alam terbuka. Tampaknya pengalaman hidup bersama
dalam proses pelatihan ini memupuk pertumbuhan kepribadian yang menjadi pendukung
munculnya modal sosial.
Pendidikan karakter untuk mengembangkan kemampuan individu agar bisa
berinteraksi dengan orang lain juga perlu dilakukan guna peningkatan modal manusia.
Pelatihan inteligensi emosional, dan pelatihan untuk membangun kebiasaan positif seperti
dalam The seven habits of highly effective people (Covey, 1990) dan pelatihan kecerdasan
emosional (Goleman,1996) sangat perlu dilakukan pada masyarakat, apalagi bagi para
aparatur pemerintah.
Selain melalui pelatihan, modal sosial dapat pula ditingkatkan dengan upaya
silaturahmi. Silaturahmi dapat dilakukan dengan membuat kegiatan bersama, misalnya
kegiatan olahraga antar unit, saling mengunjungi antar unit, pengajian bersama antar unit,
dan sebagainya. Kontak sosial seperti ini diyakini akan lebih menumbuhkan rasa saling
kenal mengenal. Tentu upaya seperti ini akan memakan biaya, tetapi perlu disadari bahwa
itu adalah sebuah investasi yang akan menghasilkan nilai, yaitu kebersamaan. Namun
demikian, yang perlu kita ingat bersama bahwa penunjang kelahiran modal manusia ini
sangat ditentukan oleh pendidikan dalam keluarga. Dalam keluarga yang penuh kasih
sayang dan saling menghargai, sifat kepribadian yang mendasari pembentukan modal sosial
akan mudah tumbuh dan berkembang. Amin.
Sumber Bacaan:
Afiatin, T. (2003). Pengaruh program kelompok AJI dalam peningkatan harga diri, asertivitas
dan pengetahuan mengenai napza untuk prevensi penyalahgunaan napza pada
remaja. Disertasi. Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ancok, D. (1997). Revitalisasi Sumber Daya Manusia dalam Era Perubahan, Kelola: Gadjah
Mada University Business Review, No.8, 104-117
Ancok, D. (1998). Membangun Kompetensi Manusia dalam Milenium Ketiga, Psikologika,
No. 6, 5-17.
Ancok, D. (2002), Outbound Management Training: Aplikasi Ilmu Perilaku dalam
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jogjakarta: UII Press.
Cohen, D. & Prusak, L. (2001), In Good Company, Boston, Harvard Business School Press
Covey, S.R. (1990), Seven Habits of Highly Effective People, New York, Fireside Book.
Cunningham, I. (2002), Developing human and social capital in organisations, Industrial and
Commercial Training, Vol. 34, No.4. 89-94.
Fattah, Nanang (2004). Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung, Remaja
Rosdakarya.
Goleman, D.(1996), Emotional Intelligence. New York, Bantam Books.
Hawkins, D.I; Best, R.J. & Coney, K.A (1998), Consumer Behavior: Building Marketing
Strategy, McGraw-Hill.
Ross, J. et.al. (1997), Intellectual capital: Navigating the New Business Landscape, New
York, MacMillan.
Schultz, Theodore, W (1961), Investment in Human Capital, The American Economics
Review, No. 51, March 1961.
Tapscott, D. (1996), Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked
Intelligence, New York: McGraw-Hill.
Menelusuri tahun demi tahun di abad 21 ini persaingan di semua sektor semakin
ketat. Untuk memenangkannya, setiap organisasi, sektor privat maupun publik, harus
memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) tertentu dibandingkan dengan
organisasi lainnya. Keunggulan ini dapat dibentuk melalui berbagai cara, seperti
menciptakan produk dengan desain yang unik, penggunaan teknologi modern, desain
organisasi, dan yang terpenting adalah manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) secara
efektif. Produk yang dimaksud disini tentunya tidak hanya berupa barang yang tangible
tetapi juga jasa atau layanan yang intangible. Khusus dalam konteks manajemen SDM,
pimpinan perlu meningkatkan berbagai potensi SDM agar mampu memberdayakannya
secara optimal dalam mencapai kinerja. Sehingga mampu mendudukkan organisasi pada
posisi yang lebih baik dibandingkan dengan organisasi lainnya.
Pengembangan SDM bagi organisasi pada hakekatnya adalah investasi. Investasi
dalam pengembangan SDM merupakan pengeluaran yang ditujukan untuk memperbaiki
kapasitas produktif dari manusia, melalui upaya peningkatan kesehatan, pendidikan dan
pelatihan kerja. Alasan logis yang dapat dikemukakan adalah bahwa tenaga kerja yang
sehat, terdidik, dan terampil akan menjadi angkatan kerja yang produktif, dan selanjutnya
peningkatan produktifitas berarti peningkatan returns. Dengan manajemen SDM yang baik,
organisasi akan memiliki kekuatan kompetitif dan akan menjadi sulit untuk ditiru, sehingga
sumber-sumber keberhasilan kompetitif tradisional seperti teknologi proses produksi,
proteksi pasar, akses terhadap sumber keuangan dan skala ekonomi seharusnya menjadi
lebih berdaya guna.
Dalam bidang manufaktur, adalah hal penting melakukan investasi pada modal yang
berupa peralatan untuk tetap kompetitif dan menyesuaikan diri dengan perubahan teknologi.
Membiarkan pabrik dan mesin-mesin menjadi usang merupakan malapetaka bagi
perusahaan. Tetapi, modal peralatan tidak dapat beroperasi secara efisien bila para
operator tidak kapabel dan terampil. Hal ini semakin penting untuk ditekankan, mengingat
perubahan teknologi terjadi sangat cepat yang menyebabkan peralatan cepat usang.
Investasi dalam teknologi juga hanya memberikan keunggulan kompetitif yang
terbatas, seperti yang dikatakan oleh Pfeffer dalam Mangkunegara (2005;110) “machine
don’t make things, people do”. Adalah konsekuensi logis bahwa untuk membuat organisasi
mempunyai daya kompetitif yang berkelanjutan (sustainable) dan lebih sulit untuk ditiru,
investasi dalam sumber daya ekonomi yang paling berharga, yaitu manusia, tidak dapat
ditunda lagi. Semakin disadari bahwa ancaman nyata terbesar terhadap stabilitas
perekonomian kita adalah angkatan kerja yang tidak siap (workforce illguipped) untuk
menghadapi tantangan-tantangan yang sudah semakin dekat di depan mata.
Pidato Theodore, W. Schultz pada tahun 1960 yang berjudul Investment in Human
Capital di hadapan para ahli ekonomi dan pejabat yang tergabung dalam American
Economic Assosiation merupakan peletak dasar teori atau konsep modal manusia (human
capital concept). Konsep ini pada intinya menganggap bahwa manusia merupakan suatu
bentuk modal atau kapital sebagaimana bentuk-bentuk kapital lainnya, seperti mesin,
teknologi, tanah, uang, dan material. Manusia sebagai human capital tercermin dalam
bentuk pengetahuan, gagasan (ide), kreativitas, keterampilan, dan produktivitas kerja. Tidak
seperti bentuk kapital lain yang hanya diperlakukan sebagai tools, human capital ini dapat
menginvestasikan dirinya sendiri melalui berbagai bentuk investasi SDM, diantaranya
pendidikan formal, pendidikan informal, pengalaman kerja, kesehatan, dan gizi serta
transmigrasi (Fattah, 2004).
Konsep Modal Manusia
Modal manusia adalah komponen yang sangat penting di dalam organisasi. Manusia
dengan segala kemampuannya bila dikerahkan keseluruhannya akan menghasilkan kinerja
yang luar biasa. Ada enam komponen dari modal manusia, yakni:
(1) Modal intelektual;
(2) Modal emosional;
(3) Modal sosial;
(4) Modal ketabahan,
(5) Modal moral; dan
(6) Modal
kesehatan (Ancok,2002). Keenam komponen modal manusia ini akan muncul dalam sebuah
kinerja yang optimum apabila disertai oleh modal kepemimpinan dan modal struktur
organisasi yang memberikan wahana kerja yang mendukung.
a. Modal intelektual (intellectual capital)
Modal intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk menemukaan peluang dan
mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang mengatakan bahwa modal
intelektual sangat besar peranannya di dalam menambah nilai suatu kegiatan.
Organisasi yang unggul dan meraih banyak keuntungan adalah organisasi yang terus
menerus mengembangkan sumberdaya manusianya (Ross dkk., 1997). Manusia
memiliki sifat proaktif dan inovatif untuk mengelola perubahan lingkungan kehidupan
(ekonomi, sosial, politik, teknologi, hukum dan lain-lain) yang sangat tinggi kecepatannya.
Mereka yang tidak beradaptasi pada perubahan yang super cepat ini akan dilanda
kesulitan.
Don Tappscott (1998) pada bukunya yang berjudul “Digital Economy: Promise and Peril
in the Age of Networked Intelligence” mengemukakan 12 tema ekonomi baru akibat dari
meluasnya pengaruh internet. Salah satu tema ekonomi baru itu adalah tema ekonomi
berbasis pengetahuan (knowledge based economy). Implementasinya adalah hanya
pegawai yang memiliki pengetahuan yang luas dan terus menambah pengetahuan yang
dapat beradaptasi dengan kondisi perubahan lingkungan strategik yang luar biasa
cepatnya.
Pada awal tahun 1920 para psikolog banyak membicarakan konsep IQ (Intelligence
Quotient) sebagai satu-satunya indikator kecerdasan, dengan asumsi bahwa mereka
yang memiliki IQ yang tinggi akan memiliki kemampuan untuk memecahkan
permasalahan kehidupan. Orang yang memiliki IQ yang tinggi diduga akan cepat
menguasai pengetahuan karena kecepatan daya pikir yang dimilikinya. Namun selain
memiliki angka kecerdasan yang tinggi, seseorang baru akan memiliki pengetahuan
yang luas apabila dia memiliki kebiasaan untuk merenung tentang kejadian alam
semesta ini dan mencari makna dari setiap fenomena yang terjadi tersebut. Kebiasaan
merenung dan merefleksikan sebuah fenomena inilah yang membuat orang menjadi
cerdas.
Oleh karena modal intelektual terletak pada kemauan untuk berfikir dan kemampuan
untuk memikirkan sesuatu yang baru, maka modal intelektual tidak selalu ditentukan
oleh tingkat pendidikan formal yang tinggi. Dalam sejarah tercatat bahwa yang
menemukan gagasan tentang elevator di luar gedung pada gedung tinggi hanyalah
seorang cleaning service. Ceritanya bermula dari keinginan para insinyur untuk
membuat elevator dalam sebuah hotel karena kamar di lantai tiga dan di lantai empat
tidak laku dijual. Gagasan awal adalah menjebol lantai untuk membuat elevator di dalam
bangunan hotel. Tapi gagasan itu ditolak bagian cleaning service karena mereka akan
bekerja lebih banyak membersihkan debu yang berterbangan ke seluruh lantai. Untuk
menghindari hal tersebut pegawai cleaning service menyarankan agar elevator di buat di
luar gedung. Itulah awalnya gagasan adanya lift capsule yang turun naik di luar dinding
gedung.
b. Modal Emosional (emotional capital)
Goleman (1997) menggunakan istilah emotional intelligence untuk menggambarkan
kemampuan manusia untuk mengenal dan mengelola emosi diri sendiri, serta
memahami emosi orang lain agar dia dapat mengambil tindakan yang sesuai dalam
berinteraksi dengan orang lain. Menurut Bradberry & Greaves (2005) dalam Ancok
(2005), terdapat empat dimensi dari kecerdasan emosional yakni:
1. Self Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri secara tepat
dan akurat dalam berbagai situasi secara konsisten. Bagaimana reaksi emosi di saat
menghadapi suatu peristiwa yang memancing emosi, sehingga seseorang dapat
memahami respon emosi dirinya sendiri dari segi positif maupun segi negatif.
2. Self Management adalah kemampuan mengelola emosi secara baik, setelah
memahami emosi yang sedang dirasakannya, apakah emosi positif atau negatif.
Kemampuan mengelola emosi secara positif dalam berhadapan dengan emosi diri
sendiri akan membuat seseorang dapat merasakan kebahagiaan yang maksimal.
3. Social Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi orang lain dari
tindakannya yang tampak. Ini adalah kemampuan berempati, memahami dan
merasakan perasaan orang lain secara akurat. Dengan adanya pemahaman ini
individu sudah memiliki kesiapan untuk meenanggapi situasi emosi orang lain secara
positif.
4. Relationship Management adalah kemampuan orang untuk berinteraksi secara
positif pada orang lain, betapapun negatifnya emosi yang dimunculkan oleh orang
lain. Kemampuan mengelola hubungan dengan orang lain secara positif ini adalah
hasil dari ketiga dimensi lain dari kecerdasan emosi (self awareness, self
management and sosial awareness).
Orang yang memiliki modal emosional yang tinggi memiliki sikap positif di dalam
menjalani kehidupan. Dia memiliki pikiran positif (positive thinking) dalam menilai sebuah
fenomena kehidupan betapapun buruknya fenomena tersebut di mata orang lain. Ketika
menghadapi perbedaan pendapat, orang yang memiliki modal emosional yang baik akan
menyikapinya dengan positif, sehingga diperoleh manfaat yang besar bagi
pengembangan diri, atau pengembangan sebuah konsep. Modal intelektual akan
berkembang atau terhambat perkembangannya sangat ditentukan oleh modal emosional.
Orang yang hatinya terbuka dan bersikap positif dan terbuka serta menghindari
pernilaian negatif atas sebuah pemikiran orang lain akan memperoleh manfaat dari
perbedaan pendapat. Banyak penelitian menunjukkan bahwa inteligensi emosional ini
lebih menentukan kesuksesan hidup seseorang dibanding dengan IQ. Beberapa tahun
terakhir ini makin banyak pembicaraan tentang pentingnya peranan inteligensi
emosional (emotional intelligence) dalam menunjang kesuksesan hidup manusia.
c. Modal Sosial (social capital)
Istilah modal sosial pertama kali muncul di tahun 1916 di saat ada diskusi tentang upaya
membangun pusat pembelajaran masyarakat (Cohen & Prusak,2001). Pembahasan
tentang konsep modal sosial semakin hangat setelah munculnya tulisan Robert Putnam
(1993) dalam Ancok (1998) yang menggambarkan kualitas kehidupan masyarakat
Amerika yang makin menurun dalam hal kelekatan antar sesama warga.
Munculnya tulisan-tulisan lain tentang modal sosial adalah suatu respon terhadap
semakin merenggangnya hubungan antar manusia, dan semakin melemahnya
ketidakpedulian terhadap sesama manusia. Fukuyama (1995) dalam Ancok (1998)
sangat khawatir tentang masa depan komunitas manusia yang diutarakannya seperti
berikut: “We no longer have realistic hopes that we can create a “great society” through
large government program”. Kehadiran masyarakat yang menekankan kehidupan hanya
pada pertumbuhan ekonomi seperti yang diutarakan oleh Wachtel (1989) dalam Ancok
(1997) telah menghantarkan manusia pada kehancuran. Dalam pandangan Fukuyama
(1995) transisi dari masyarakat industri menuju masyarakat informasi semakin
memperenggang ikatan sosial dan melahirkan banyaknya patologi sosial seperti
meningkatnya angka kejahatan, anak-anak lahir di luar nikah dan menurunnya
kepercayaan pada sesama komponen masyarakat. Dalam upaya membangun sebuah
bangsa yang kompetitif peranan modal sosial semakin penting. Banyak kontribusi modal
sosial untuk kesuksesan suatu masyarakat. Dalam era informasi yang ditandai semakin
berkurangnya kontak tatap muka (face to face relationship), modal sosial sebagai bagian
dari modal maya (virtual capital) akan semakin menonjol peranannya (Ancok, 1998).
Pandangan para ahli dalam mendefinisikan konsep modal sosial dapat dikategorikan ke
dalam dua kelompok. Kelompok pertama menekankan pada jaringan hubungan sosial
(social network), sedangkan kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik
(traits) yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah
interaksi sosial.
Pendapat kelompok pertama ini didukung oleh para beberapa ahli. Brehm & Rahn
(1997) dalam Ancok (2002) berpendapat bahwa modal sosial adalah jaringan kerjasama
di antara warga masyarakat yang memfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang
dihadapi mereka. Definisi lain dikemukakan oleh Pennar (1997) dalam Ancok (2002) “the
web of social relationships that influences individual behavior and thereby affects
economic growth” (jaringan hubungan sosial yang mempengaruhi perilaku individual dan
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi). Woolcock (1998) dalam Ancok (2002)
mendefinisikan modal sosial sebagai “the information, trust, and norms of reciprocity
inhering in one’s social networks”. Cohen dan Prusak (2001:3) berpendapat
bahwa ”Social capital consists of the stock of active connections among people: the trust,
mutual understanding and shared values and behaviours that bind the members of
human networks and communities and make cooperative action possible”. (Modal sosial
adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia: rasa percaya, saling
pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah
jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama).
Pandangan kelompok pertama menekankan pada aspek jaringan hubungan sosial yang
diikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, dan kesamaan nilai,
dan saling mendukung. Menurut pandangan kelompok ini modal sosial akan semakin
kuat apabila sebuah komunitas atau organisasi memiliki jaringan hubungan kerjasama,
baik secara internal komunitas/organisasi, atau hubungan kerjasama yang bersifat antar
komunitas/organisasi. Jaringan kerja sama yang sinergistik yang merupakan modal
sosial akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan bersama.
Pendapat ahli dari kelompok kedua diwakili antara lain oleh Fukuyama (1995) dalam
Ancok (1998) yang mendefinisikan modal sosial sebagai berikut: “social capital: the
ability of people to work together for common purposes in groups and organizations”.
Dengan bahasa yang lain Fukuyama menjelaskan bahwa “Social capital can be defined
simply as the existence of a certain set of informal values or norms shared among
members of a group that permit cooperation among them. (Modal sosial adalah
serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para
anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di
antara mereka). Sejalan dengan pendapat Fukuyama, Bowles & Gintis (2000) dalam
Ancok (2002) mendefinisikan modal sosial sebagai berikut: ”Social capital generally
refers to trust, concern for one’s associates, a willingness to live by the norms of one’s
community and topunish those who do not”.
Organisasi adalah kumpulan sejumlah manusia yang bekerja sama untuk mencapai
tujuan organisasi. Selain itu sebuah organisasi harus bekerja sama dengan organisasi
lain untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar. Kerjasama dengan organisasi lain ini
diwujudkan dalam sebuah aliansi strategik (strategic alliances), atau dalam sebuah
penggabungan (merger) organisasi. Modal sosial adalah dasar bagi terbentuknya sinergi
di dalam melaksanakan tugas organisasi. Dengan bersinergi dapatlah diperoleh hasil
kerja yang lebih besar, jika dibandingkan dengan bekerja sendiri-sendiri.
Modal intelektual baru akan berkembang bila masing-masing orang berbagi wawasan.
Untuk dapat berbagi wawasan orang harus membangun jaringan hubungan sosial
dengan orang lainnya. Kemampuan membangun jaringan sosial inilah yang disebut
dengan modal sosial. Semakin luas pergaulan seseorang dan semakin luas jaringan
hubungan sosial (social networking) semakin tinggi nilai seseorang. Modal sosial
dimanifestasikan pula dalam kemampuan untuk bisa hidup dalam perbedaan dan
menghargai perbedaan (diversity). Pengakuan dan penghargaan atas perbedaan adalah
suatu syarat tumbuhnya kreativitas dan sinergi. Kemampuan bergaul dengan orang yang
berbeda, menghargai dan memanfaatkan secara bersama perbedaan tersebut akan
memberikan kebaikan buat semua.
d. Modal Ketabahan (adversity capital)
Konsep modal ketabahan berasal dari pandangan Paul G. Stoltz (1997) dalam Ancok
(2002) yang ditulis dalam buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities.
Ketabahan adalah modal untuk sukses dalam kehidupan, apakah itu kehidupan pribadi
ataukah kehidupan organisasi. Ketika menghadapi kesulitan atau problem yang belum
terpecahkan, hanya mereka yang tabah yang akan berhasil menyelesaikannya.
Berdasarkan perumpamaan pada para pendaki gunung, Stoltz membedakan tiga tipe
manusia: quitter, camper dan climber. Tipe pendaki gunung yang mudah menyerah
dinamainya dengan quitter, yakni orang yang bila berhadapan dengan masalah memilih
untuk melarikan diri dari masalah dan tidak mau menghadapi tantangan guna
menaklukkan masalah. Orang seperti ini akan sangat tidak efektif dalam menghadapi
tugas kehidupan yang berisi tantangan. Demikian pula dia tidak efektif sebagai pekerja
sebuah organisasi bila dia tidak kuat.
Tipe camper adalah tipe yang berusaha tapi tidak sepenuh hati. Bila dia menghadapi
sesuatu tantangan dia berusaha untuk mengatasinya, tapi dia tidak berusaha mengatasi
persoalan dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Dia bukan tipe orang yang akan
mengerahkan segala potensi yang dimilikinya untuk menjawab tantangan yang
dihadapinya. Bila tantangan persoalan cukup berat dan dia sudah berusaha
mengatasinya tapi tidak berhasil, maka dia akan melupakan keinginannya dan beralih ke
tempat lain yang tidak memiliki tantangan seberat itu.
Tipe ketiga adalah climber yang memiliki stamina yang luar biasa di dalam
menyelesaikan masalah. Dia tipe orang yang pantang menyerah sesulit apapun situasi
yang dihadapinya. Dia adalah pekerja yang produktif bagi organisasi tempat dia bekerja.
Orang tipe ini memiliki visi dan cita-cita yang jelas dalam kehidupannya. Kehidupan
dijalaninya dengan sebuah tata nilai yang mulia, bahwa berjalan harus sampai ke tujuan.
Orang tipe ini ingin selalu menyelesaikan pekerjaan dengan tuntas (sense of closure)
dengan berpegang teguh pada sebuah prinsip etika. Dia bukan tipe manusia yang ingin
berhasil tanpa usaha. Bagi dia hal yang utama bukanlah tercapainya puncak gunung,
tetapi adalah keberhasilan menjalani proses pendakian yang sulit dan menegangkan
hingga mencapai puncak.
e. Modal Moral (morality capital)
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kinerja organisasi sangat tergantung pada
sejauh mana organisasi tersebut berpegang pada prinsip etika bisnis di dalam kegiatan
bisnis yang dilakukannya. Untuk berperilaku sesuai dengan kaidah etik, organisasi
memiliki berbagai perangkat pendukung etik, yang salah satunya adalah manusia yang
memiliki moral yang mengharamkan perilaku yang melanggar etik.
Kehancuran dan kemunduran berbagai perusahaan besar di USA seperti Enron
(perusahaan listrik terbesar), dan Arthur Anderson (perusahaan konsultan keuangan
yang beroperasi di seluruh dunia) disebabkan oleh perilaku bisnis yang melanggar etika
bisnis. Kasus krisis keuangan di Indonesia tahun 1997-1978 yang membuat perbankan
Indonesia bangkrut karena kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) disebabkan
oleh perilaku para pemain bisnis yang tidak berpegang pada etika bisnis. Demikian pula
dengan kasus Bank Century yang menghebohkan juga disebabkan oleh perilaku para
pemain bisnis yang tidak jujur (atau tidak beritikad baik?) menyampaikan informasi, yang
mengakibatkan keputusan bailout dianggap bermasalah.
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa organisasi yang berpegang pada prinsip
etika memiliki citra yang baik. Citra ini tidak hanya membuat orang suka membeli produk
dan jasa organisasi tersebut, tetapi juga membuat harga saham di pasar bursa
meningkat secara signifikan. Selain itu organisasi yang berperilaku etika juga akan
menarik banyak calon pekerja yang berkualitas untuk melamar menjadi pekerja di
perusahaan tersebut. Sebaliknya kalau sebuah organisasi melakukan perilaku yang
melanggar etika bisnis maka kerugianlah yang akan dialaminya. Sepatu merk Nike
kehilangan banyak pembeli setelah ada publikasi yang luas mengenai anak-anak di
bawah umur yang bekerja di perusahaan Nike yang berlokasi di negara-negara
berkembang (Hawkins et.al ,1998).
Modal moral telah banyak dibicarakan oleh para ahli. Salah satu buku yang
membicarakan aspek modal ini adalah Moral Intelligence: Enhancing Business
Performance and Leadership Success yang ditulis oleh Doug Lennick & Fred Kiel (2005).
Keduanya dalam Ancok (2002) telah menyusun alat pengukur Moral Competency
Inventory (Inventori untuk mengukur kompetensi moral). Terdapat empat komponen
modal moral yang membuat seseorang memiliki kecerdasan moral yang tinggi yaitu:
1. Integritas (integrity), yakni kemauan untuk mengintegrasikan nilai-nilai universal di
dalam perilaku. Individu memilih berperilaku yang tidak bertentangan dengan kaidah
perilaku etikal yang universal. Orang berperilaku atas keyakinan bahwa perilaku
dalam bekerja yang etikal adalah sesuatu yang harus dilakukan dan akan membuat
dirinya bersalah jika hal itu dilakukan.
2. Bertanggung jawab (responsibility) atas perbuatan yang dilakukannya. Hanya orangorang
yang mau bertanggung jawab atas tindakannya dan memahami konsekuensi
dari tindakannya yang bisa berbuat sejalan dengan prinsip etik yang universal.
3. Penyayang (compassionate) adalah tipe orang yang tidak akan merugikan orang lain,
karena dia menyadari memberi kasih sayang pada orang lain adalah juga sama
dengan memberi kasih sayang pada diri sendiri. Orang yang melanggar etika adalah
orang yang tidak memiliki kasih sayang pada orang lain yang dirugikan akibat
perbuatannya yang melanggar hak orang lain.
4. Pemaaf (forgiveness) adalah sifat yang diberikan pada sesama manusia. Orang
yang memiliki kecerdasan moral yang tinggi bukanlah tipe orang pendendam yang
membalas perilaku yang tidak menyenangkan dengan cara yang tidak
menyenangkan pula.
Sebagaimana modal intelektual yang berbasis pada kecerdasan intelektual, modal moral
dasarnya adalah kecerdasan moral yang berbasis pada empat kompetensi moral di atas.
Modal moral menjadi semakin penting peranannya karena upaya membangun manusia
yang cerdas dengan IQ tinggi dan manusia yang pandai mengelola emosinya dalam
berhubungan dengan orang lain tidaklah mengantarkan manusia pada kebermaknaan
hidup. Kebermaknaan hidup adalah sebuah motivasi yang kuat yang mendorong orang
untuk melakukan sesuatu kegiatan yang berguna. Hidup yang berguna adalah hidup
yang memberi makna pada diri sendiri dan orang lain. Selain itu modal moral ini juga
memberikan perasaan hidup yang komplet (wholeness). Inilah yang disebut oleh
Abraham Maslow dengan “Peak Experience”, perasaan yang muncul karena kedekatan
dengan sang Pencipta. Konsep yang demikian ini banyak yang menyebutnya dengan
istilah modal spiritual (Sinetar, 2000) dalam Ancok (2002). Stephen Covey (1990)
memasukkan bagian dari hal yang bersifat spiritual ini dalam bagian kegiatan manusia
yang harus ditingkatkan agar manusia menjadi manusia yang efektif.
Bagi orang yang beragama, modal intelektual, modal emosional, modal sosial, modal
ketabahan, dan modal moral yang diutarakan di atas adalah bagian dari ekspresi modal
spiritual. Semakin tinggi keimanan seseorang semakin tinggi pula kelima modal di atas.
Namun demikian banyak orang yang menyarankan agar modal spiritual dipisahkan dari
kelima modal di atas, dengan tujuan untuk semakin menekankan betapa pentingnya
upaya pengembangan spiritualitas dan keberagamaan manusia. Di mata orang yang
berpandangan demikian, agama akan menjadi pembimbing kehidupan agar tidak
menjadi egoistik yang orientasinya hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Oleh
karena itu upaya untuk mengembangkan keagamaan adalah bagian mutlak dan utama
bagi tumbuhnya masyarakat yang makmur dan sejahtera serta aman dan damai.
f. Modal Kesehatan
Badan atau raga adalah wadah untuk mendukung manifestasi semua modal di atas.
Badan yang tidak sehat akan membuat semua modal di atas tidak muncul dengan
maksimal. Oleh karena itu kesehatan adalah bagian dari modal manusia agar dia bisa
bekerja dan berfikir secara produktif. Stephen Covey (1990) dalam bukunya yang
berjudul Seven Habits of Highly Effective People, mengatakan bahwa kesehatan adalah
bagian dari kehidupan yang harus selalu dijaga dan ditingkatkan kualitasnya sebagai
pendukung manusia yang efektif. Bila badan sedang sakit semua sistem tubuh kita
menjadi terganggu fungsinya, akibatnya kita jadi malas berfikir dan berbuat (modal
intelektual), dan seringkali emosi (modal emosional) kita mudah terganggu kestabilannya,
dan seringkali kita mudah menyerah menghadapi tantangan hidup (modal ketabahan).
Selain itu semangat untuk berinteraksi dengan orang lain (modal sosial) dengan orang
lainpun menjadi berkurang. Jadi ada benarnya kata pepatah “dalam badan yang sehat
terdapat jiwa/pikiran yang sehat”. Walaupun banyak kritikan terhadap pernyataan itu,
karena ternyata banyak orang gila yang badannya sangat sehat tapi pikirannya sakit,
tapi seluruh komponen modal manusia saling berinteraksi satu dengan lain seperti es
teh jeruk nipis yang manis, sulit dipisahkan mana yang teh, mana yang jeruk nipis, mana
yang gula, dan mana yang air es.
Pengembangan Modal Manusia
Proses pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan dan pelatihan, pada umumnya
sangat bersifat individual, dan kurang menekankan pada belajar kelompok. Selain itu proses
pendidikan biasanya hanya berfokus pada pengembangan aspek kognitif. Sementara modal
manusia adalah bagian dari proses yang tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga bersifat
afektif. Modal sosial muncul dari hasil kerjasama antar individu, oleh karenanya
pembentukan modal manusia hanya bisa dilakukan dengan efektif apabila melibatkan
sejumlah orang yang bekerjasama dalam sebuah kelompok. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa belajar bersama dalam kelompok (learning group) dapat meningkatkan
hasil kerja kelompok dan perasaan menyatu dalam organisasi (Cunningham:2002). Sebagai
contoh, hasil observasi terhadap dampak Leadership Development Program (LDP) di PT.
Caltex Pacific Indonesia beberapa saat setelah program LDP dilaksanakan menunjukkan
adanya penguatan modal sosial. Sesama anggota perusahaan merasa lebih akrab dan
melihat orang lain sebagai bagian dari sukses perusahaan. Afiatin (2003) melaporkan
berbagai hasil penelitian yang melihat dampak penggunaan pelatihan outbound bagi
perkembangan kepribadian yang menumbuhkan modal manusia. Selain itu Johnson &
Johnson menemukan keberadaan dalam pelatihan telah menumbuhkan nuansa hidup
berkomunitas (Ancok, 2002).
Salah satu bentuk diklat yang paling efektif adalah pembentukan kerja sama tim
(team building exercise) yang dilakukan melalui pelatihan berdasarkan pengalaman di alam
terbuka. Pengalaman melaksanakan kegiatan outbound management training menunjukkan
bahwa kerja sama tim dan antar tim semakin meningkat pada berbagai organisasi yang
menggunakan metode tersebut. Maraknya penggunaan pelatihan di alam terbuka dengan
melibatkan belajar dalam kelompok di berbagai perusahaan menunjukkan bahwa metode ini
dianggap efektif di dalam membangun kerjasama kelompok. Tidak hanya di lembaga bisnis,
kini semakin banyak organisasi pemerintah yang mengembangkan organisasinya melalui
penerapan pelatihan kelompok di alam terbuka. Tampaknya pengalaman hidup bersama
dalam proses pelatihan ini memupuk pertumbuhan kepribadian yang menjadi pendukung
munculnya modal sosial.
Pendidikan karakter untuk mengembangkan kemampuan individu agar bisa
berinteraksi dengan orang lain juga perlu dilakukan guna peningkatan modal manusia.
Pelatihan inteligensi emosional, dan pelatihan untuk membangun kebiasaan positif seperti
dalam The seven habits of highly effective people (Covey, 1990) dan pelatihan kecerdasan
emosional (Goleman,1996) sangat perlu dilakukan pada masyarakat, apalagi bagi para
aparatur pemerintah.
Selain melalui pelatihan, modal sosial dapat pula ditingkatkan dengan upaya
silaturahmi. Silaturahmi dapat dilakukan dengan membuat kegiatan bersama, misalnya
kegiatan olahraga antar unit, saling mengunjungi antar unit, pengajian bersama antar unit,
dan sebagainya. Kontak sosial seperti ini diyakini akan lebih menumbuhkan rasa saling
kenal mengenal. Tentu upaya seperti ini akan memakan biaya, tetapi perlu disadari bahwa
itu adalah sebuah investasi yang akan menghasilkan nilai, yaitu kebersamaan. Namun
demikian, yang perlu kita ingat bersama bahwa penunjang kelahiran modal manusia ini
sangat ditentukan oleh pendidikan dalam keluarga. Dalam keluarga yang penuh kasih
sayang dan saling menghargai, sifat kepribadian yang mendasari pembentukan modal sosial
akan mudah tumbuh dan berkembang. Amin.
Sumber Bacaan:
Afiatin, T. (2003). Pengaruh program kelompok AJI dalam peningkatan harga diri, asertivitas
dan pengetahuan mengenai napza untuk prevensi penyalahgunaan napza pada
remaja. Disertasi. Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ancok, D. (1997). Revitalisasi Sumber Daya Manusia dalam Era Perubahan, Kelola: Gadjah
Mada University Business Review, No.8, 104-117
Ancok, D. (1998). Membangun Kompetensi Manusia dalam Milenium Ketiga, Psikologika,
No. 6, 5-17.
Ancok, D. (2002), Outbound Management Training: Aplikasi Ilmu Perilaku dalam
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jogjakarta: UII Press.
Cohen, D. & Prusak, L. (2001), In Good Company, Boston, Harvard Business School Press
Covey, S.R. (1990), Seven Habits of Highly Effective People, New York, Fireside Book.
Cunningham, I. (2002), Developing human and social capital in organisations, Industrial and
Commercial Training, Vol. 34, No.4. 89-94.
Fattah, Nanang (2004). Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung, Remaja
Rosdakarya.
Goleman, D.(1996), Emotional Intelligence. New York, Bantam Books.
Hawkins, D.I; Best, R.J. & Coney, K.A (1998), Consumer Behavior: Building Marketing
Strategy, McGraw-Hill.
Ross, J. et.al. (1997), Intellectual capital: Navigating the New Business Landscape, New
York, MacMillan.
Schultz, Theodore, W (1961), Investment in Human Capital, The American Economics
Review, No. 51, March 1961.
Tapscott, D. (1996), Digital Economy: Promise and Peril in the Age of Networked
Intelligence, New York: McGraw-Hill.
Thursday, January 10, 2013
Sertfikat pelatihan dan seminar
PROGRAM KOMPUTER UNTUK ANAK-ANAK AUTISME (HUBUNGAN ANTARA PSIKOLOGI DAN TEKNOLOGI KOMPUTER)
Pengaruh teknologi komputer terhadap pengembangan psikologi pada saat ini cukup baik, dilihat dari beberapa program komputer yang mendukung psikologi seperti program test psikologi secara komputerisasi, program pengembangan manusia, program perhitungan skala sikap dan lainnya. Saat ini sudah ada program komputer yang dapat membantu meningkatkan kemampuan anak-anak autism. Berikut ini saya akan membahasnya melalui tulisan dibawah ini.
Apa yang pertama kali kita perhatikan saat pertama kali masuk kedalam sebuah ruangan? Kebanyakan orang akan memperhatikan orang-orang yang ada didalam ruangan tersebut khususnya ekspresi wajah orang tersebut. Namun berbeda dengan anak-anak autisme, mereka justru lebih cenderung memperhatikan lukisan, kursi dan benda-benda lainnya yang ada di dalam ruangan tersebut.
Banyak riset dan penelitian psikologi dan psikologi kognitif sains tentang bagaimana membantu anak-anak dalam meningkatkan kemampuan anak-anak autis untuk mengenali wajah orang-orang disekitarnya beserta emosinya. Mengajarkan dan meningkatkan kemampuan anak-anak autis tidak seperti mengajarkan anak-anak pada umumnya. Kita harus membuat para anak autis tertarik untuk mempelajarinya dengan cara yang menyenangkan.
Para pengembang komputer beserta psikolog dan psikologi kognitif sains telah menggabungkan ilmu psikologi dengan teknologi untuk membuat sebuah program komputer dan permainan komputer yang dapat meningkatkan kemampuan anak-anak autis.
Dr. Jim Tanaka seorang cognitive neuroscientist telah membuat permainan computer yang dapat meningkatkan kemampuan memproses atau mengenali wajah pada anak-anak autism. Permainan tersebut berfokus pada proses persepsi dan rekognisi dalam mengenali wajah beserta emosi yang menyertainya. Permainan tersebut bernama Let’s Face It!.
` Permainan tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses kognitif dan neurological anak autisme berbeda dengan anak yang tidak autis. Tujuan permainan tersebut untuk membuat anak-anak autism dapat mengenali wajah dan emosinya dengan mudah dan membuat otak menjadi lebih aktif.
Contoh tampilan Let's face it!:

Let’s Face It! Adalah permainan berseri yang dimainkan setiap hari dengan objek permainan yang berbeda-beda. Hal itu bertujuan agar anak-anak autis dapat terlatih menghadapi orang-orang yang berbeda di dunia sosial dan dapat meningkatkan kemampuan anak-anak autis dalam memproses wajah dan ekspresi emosi manusia. Kelebihan permainan ini adalah adanya fitur “face tutors" dimana fitur tersebut untuk membantu anak-anak autis lebih memahami cara bersosialisasi.
Disini dapat kita lihat bahwa psikologi kognitif sains dan teknologi komputer dapat menciptakan sebuah program permainan yang dapat dengan mudah digunakan oleh anak-anak autis untuk membantu mereka memahami dan mengenali ekspresi emosi wajah manusia melalui berbagai disiplin ilmu seperti neuroscience, psikologi, teknologi komputer, dan lainnnya.
Melatih kemampuan melihat wajah dapat membuat anak-anak autis terbiasa mengenali dan berpikir ekspresi emosi apa yang sedang muncul pada orang lain dan dapat membantunya mengambil keputusan dalam bersikap menghadapi orang tersebut yang nantinya dapat meningkatkan kemampuan sosial anak-anak autis tersebut. Dapat disimpulkan bahwa teknologi saat ini tidak dapat dipisahkan untuk mengembangkan kemampuan manusia.
Apa yang pertama kali kita perhatikan saat pertama kali masuk kedalam sebuah ruangan? Kebanyakan orang akan memperhatikan orang-orang yang ada didalam ruangan tersebut khususnya ekspresi wajah orang tersebut. Namun berbeda dengan anak-anak autisme, mereka justru lebih cenderung memperhatikan lukisan, kursi dan benda-benda lainnya yang ada di dalam ruangan tersebut.
Banyak riset dan penelitian psikologi dan psikologi kognitif sains tentang bagaimana membantu anak-anak dalam meningkatkan kemampuan anak-anak autis untuk mengenali wajah orang-orang disekitarnya beserta emosinya. Mengajarkan dan meningkatkan kemampuan anak-anak autis tidak seperti mengajarkan anak-anak pada umumnya. Kita harus membuat para anak autis tertarik untuk mempelajarinya dengan cara yang menyenangkan.
Para pengembang komputer beserta psikolog dan psikologi kognitif sains telah menggabungkan ilmu psikologi dengan teknologi untuk membuat sebuah program komputer dan permainan komputer yang dapat meningkatkan kemampuan anak-anak autis.
Dr. Jim Tanaka seorang cognitive neuroscientist telah membuat permainan computer yang dapat meningkatkan kemampuan memproses atau mengenali wajah pada anak-anak autism. Permainan tersebut berfokus pada proses persepsi dan rekognisi dalam mengenali wajah beserta emosi yang menyertainya. Permainan tersebut bernama Let’s Face It!.
` Permainan tersebut bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses kognitif dan neurological anak autisme berbeda dengan anak yang tidak autis. Tujuan permainan tersebut untuk membuat anak-anak autism dapat mengenali wajah dan emosinya dengan mudah dan membuat otak menjadi lebih aktif.
Contoh tampilan Let's face it!:

Let’s Face It! Adalah permainan berseri yang dimainkan setiap hari dengan objek permainan yang berbeda-beda. Hal itu bertujuan agar anak-anak autis dapat terlatih menghadapi orang-orang yang berbeda di dunia sosial dan dapat meningkatkan kemampuan anak-anak autis dalam memproses wajah dan ekspresi emosi manusia. Kelebihan permainan ini adalah adanya fitur “face tutors" dimana fitur tersebut untuk membantu anak-anak autis lebih memahami cara bersosialisasi.
Disini dapat kita lihat bahwa psikologi kognitif sains dan teknologi komputer dapat menciptakan sebuah program permainan yang dapat dengan mudah digunakan oleh anak-anak autis untuk membantu mereka memahami dan mengenali ekspresi emosi wajah manusia melalui berbagai disiplin ilmu seperti neuroscience, psikologi, teknologi komputer, dan lainnnya.
Melatih kemampuan melihat wajah dapat membuat anak-anak autis terbiasa mengenali dan berpikir ekspresi emosi apa yang sedang muncul pada orang lain dan dapat membantunya mengambil keputusan dalam bersikap menghadapi orang tersebut yang nantinya dapat meningkatkan kemampuan sosial anak-anak autis tersebut. Dapat disimpulkan bahwa teknologi saat ini tidak dapat dipisahkan untuk mengembangkan kemampuan manusia.
Sunday, December 23, 2012
PENGENALAN POLA (BENDA) PSIKOLOGI KOGNITIF TEORI "TEMPLATE MATCHING"
Sebuah teori tentang cara otak mengenali pola dan objek disebut teori pencocokan template (template matching). Jadi pencocokan template adalah identifikasi visual terhadap suatu bentuk seperti bentuk geometrik terjadi seperti energi cahaya yang dipantulkan oleh bentuk tersebut diterima retina dan ditransduksi ke energi neutral, yang dikirim ke otak. Otak melakukan pencarian dalam arsip template untuk mencari template yang cocok dengan pola neutral yang diterima. Jika otak menemukan sebuah template yang cocok dengan pola neutral tersebut, maka orang akan mengenali apa yang dilihatnya. Setelah pencocokan antara bentuk dan templatenya telah dilakukan, pemrosesan dan interpretasi lebih lanjut terhadap bentuk dapat dilakukan.
Teori pencocokan template sebagai sebuah teori pengenalan pola memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya agar kita mampu mengenali suatu bentuk , suatu huruf, atau suatu wujud visual, otak perlu melakukan pembandingan stimuli visual tersebut dengan suatu bentuk internal yang tersimpan dalam memori. Untuk mengenali objek yang berada di realitas eksternal, otak perlu menemukan memori tentang objek pembanding dalam memori jangka panjang. Kelemahan teori tersebut ialah suatu interpretasi harafiah dari teori pencocokan template akan menghadapi suatu kesulitan. Sebagai contoh, jika pengenalan terhadap objek hanya terjadi ketika objek eksternal diidentifikasi 1:1 persis sama dengan representasi internal, maka jika terdapat sedikit perbedaan antara objek eksternal dengan template internal seharusnya objek tersebut tidak dapt dikenali.
Jika teori pencocokan template benar sebagai implikasinya otak harus menyimpan jutaan template bahkan lebih hampir tidak terhitung agar otak dapat mengenali setiap variasi bentuk geometrik yang kita lihat. Kemudahan kita dalam mengidentifikasi pola-pola visual dalam kehidupan sehari-hari mungkin menyebabkan kita berpikir bahwa proses tersebut adalah proses sederhana namun tatkala kita berusaha menduplikasi pengenalan pola secara artifisial ternyata sulitnya bukan main.
Sebagai contoh, pengenalan terhadap huruf dan perkembangan pengenalan terhadap kata. Meskipun kita mungkin memerlukan proses belajar beberapa tahun untuk menjadi seorang pembaca yang terlatih begitu kitatelah menguasai cara mengenali identifikasi ortografis yang meyusun suatu kata kita dapat seketika mengenali kata tersebut dalam beragam konteks mengucapkan kata tersebut dan mengingat maknanya. Dalam pencocokan template, jika konfigurasi visual sesuai dengan representasi memori , maka informasi (dalam lingkup pengenalan pola) akan dilepaskan.
DAFTAR PUSTAKA:
Solso, Robert. L., Maclin, Otto. H., & Maclin, M. Kimberly. (2007). Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga
IMPLICIT & EXPLICIT MEMORY
Memori adalah elemen pokok dalam sebagian besar proses kognitif. Memori dapat dikatagorikan sebagai short term memory, long term memory dan memori kerja. Setiap katagori tersebut memiliki karakteristik-karakteristik yang berbeda-beda. Kapasitas memori jangka pendek terbatas pada tujuh item, namun kepadatan (density) atau jumlah informasi per item dapat ditingkatkan dengan chunking (seperti menggabungkan sejumlah huruf menjadi kata-kata bermakna). Prosedur chunking dalam shot term memory memerlukan adanya pengaksesan informasi dari memori jangka panjang. Memori diartikan sebagai proses yang memungkinkan kita untuk melakukan perekaman (encode), penyimpanan (store), dan pada akhirnya menggunakan atau mengeluarkan kembali pengalaman dan informasi (retrieval) (Solso, Maclin & Maclin, 2007).
Penyandian informasi (encoding) dalam memori jangka pendek dalam kecepatan tinggi tampaknya bekerja secara menyeluruh (exhaustive) alih-alih bekerja secara self-terminating (berhenti bekerja apabila telah menemukan informasi yang diperlukan). Memori tampaknya disimpan secara lokal (ditempat-tempat tertentu) dan secara general (tidak ada tempat khusus untuk memori tertentu) (Solso, Maclin & Maclin, 2007).
Konsep level-level pemrosesan menyatakan bahwa memori adalah suatu hasil sampingann (byproduct) dari analisis-analisis yang dilakukan terhadap stimuli yang memasuki sistem, dengan duralibilitas (daya tahan) jejak-jejak memori sebagai sebuah fungsi dari kompleksitas atau kedalaman analisis- analiasis tersebut (Solso, Maclin & Maclin, 2007).
Model-model pemrosesan informasi dan konsep level-level pemrosesan berbeda dalam hal derajat kepentingan (importance) dari struktur dan proses serta dalam kakikat pengulangan (rehearsal). Teori-teori pemrosesan informasi umumnya menekankan struktur dan maintenance rehearsal, sedangkan konsep level-level pemrosesan menemakan pemrosesan dan elaborative rehearseal (Solso, Maclin & Maclin, 2007).
Long term Memory berfungsi sebagai penyaring (filter), yaitu dalam bentuk memori semantik (semantic memory) dan memori episodik (episodic memory). memori semantik diartikan sebagai ingatan tentang konsep-konseo yang digunakan untuk mendefinisaikan sesuatu. Sementara memori episodik adalah ingatan-ingatan seseorang terhadap masa lampaunya. Dua memori ini bekerja sama menyaring dan memilih informasi hingga akhirnya suatu informasi dapat dimaknai. Pemahaman tentang berbagai jenis memori ini kemudian digunakan untuk menggambarkan struktur kognisi atau struktur pengetahuan manusia (Passer & Smith, 2004).
Retrieval adalah salah satu proses yang terjadi saat berpikir yaitu pada proses recall. retrieval adalah mengeluarkan kembali informasi yang tersimpan untuk nantinya digunakan kembali dan mengalami proses pengolahan data terlebih dahulu, sehingga afeksi bisa mempengaruhi informasi yang dikeluarkan. Peta kognitif suatu informasi yang tersimpan dalam memori bisa beragam jumlahnya. Fungsinya akan tampak ketika seseorang melakukan retrieval, dimana peta kognitif berperan untuk memudahkan proses retrieval lebih cepat (Ingwersen, 1992).
Sistem memori kita tidak hanya menyimpan informasi, melainkan juga memproses dan mengarahkan informasi tergantung jenis informasi atau derajat kepentingannya, skema-skema organisasi yang berbeda-beda akan dilibatkn dalam long term memory . anda dapat mengamati bahwa long term memory dapat dibagi menjadi memori eksplisit (deklaratif) dan memori implisit (nondeklaratif). Memori eksplisit diorganisasikan lagi menjadi memori episodic dan memori semantic. Memori implisit dibagi menjadi memori prosedural dan memori eksplisit tersebut (Solso, Maclin & Maclin, 2007).
Memori eksplisit (explicit memory) mengutamakan dan mengandalkan pengambilan (retrieval) pengalaman-pengalaman sadar dan menggunakan isyarat (cue) berupa rekognisi dan tugas-tugas recall. Memori implisit (implicit memory), sebaliknya, diekspresikan dalam bentuk mempermudah kinerja dan tidak rekoleksi yang sadar (Solso, Maclin & Maclin, 2007).
DAFTAR PUSTAKA:
Ingwersen, P. (1992). Information Retrieval Interaction. London : Taylor Graham
Passer, M.W., & Smith, R.E., (2004). Psychology : The Science of Mind and Behavioral. California: Mc Graw Hill
Solso, L. R., Maclin, H. O. & Maclin M. K. (2007). Psikologi Kognitif Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Penyandian informasi (encoding) dalam memori jangka pendek dalam kecepatan tinggi tampaknya bekerja secara menyeluruh (exhaustive) alih-alih bekerja secara self-terminating (berhenti bekerja apabila telah menemukan informasi yang diperlukan). Memori tampaknya disimpan secara lokal (ditempat-tempat tertentu) dan secara general (tidak ada tempat khusus untuk memori tertentu) (Solso, Maclin & Maclin, 2007).
Konsep level-level pemrosesan menyatakan bahwa memori adalah suatu hasil sampingann (byproduct) dari analisis-analisis yang dilakukan terhadap stimuli yang memasuki sistem, dengan duralibilitas (daya tahan) jejak-jejak memori sebagai sebuah fungsi dari kompleksitas atau kedalaman analisis- analiasis tersebut (Solso, Maclin & Maclin, 2007).
Model-model pemrosesan informasi dan konsep level-level pemrosesan berbeda dalam hal derajat kepentingan (importance) dari struktur dan proses serta dalam kakikat pengulangan (rehearsal). Teori-teori pemrosesan informasi umumnya menekankan struktur dan maintenance rehearsal, sedangkan konsep level-level pemrosesan menemakan pemrosesan dan elaborative rehearseal (Solso, Maclin & Maclin, 2007).
Long term Memory berfungsi sebagai penyaring (filter), yaitu dalam bentuk memori semantik (semantic memory) dan memori episodik (episodic memory). memori semantik diartikan sebagai ingatan tentang konsep-konseo yang digunakan untuk mendefinisaikan sesuatu. Sementara memori episodik adalah ingatan-ingatan seseorang terhadap masa lampaunya. Dua memori ini bekerja sama menyaring dan memilih informasi hingga akhirnya suatu informasi dapat dimaknai. Pemahaman tentang berbagai jenis memori ini kemudian digunakan untuk menggambarkan struktur kognisi atau struktur pengetahuan manusia (Passer & Smith, 2004).
Retrieval adalah salah satu proses yang terjadi saat berpikir yaitu pada proses recall. retrieval adalah mengeluarkan kembali informasi yang tersimpan untuk nantinya digunakan kembali dan mengalami proses pengolahan data terlebih dahulu, sehingga afeksi bisa mempengaruhi informasi yang dikeluarkan. Peta kognitif suatu informasi yang tersimpan dalam memori bisa beragam jumlahnya. Fungsinya akan tampak ketika seseorang melakukan retrieval, dimana peta kognitif berperan untuk memudahkan proses retrieval lebih cepat (Ingwersen, 1992).
Sistem memori kita tidak hanya menyimpan informasi, melainkan juga memproses dan mengarahkan informasi tergantung jenis informasi atau derajat kepentingannya, skema-skema organisasi yang berbeda-beda akan dilibatkn dalam long term memory . anda dapat mengamati bahwa long term memory dapat dibagi menjadi memori eksplisit (deklaratif) dan memori implisit (nondeklaratif). Memori eksplisit diorganisasikan lagi menjadi memori episodic dan memori semantic. Memori implisit dibagi menjadi memori prosedural dan memori eksplisit tersebut (Solso, Maclin & Maclin, 2007).
Memori eksplisit (explicit memory) mengutamakan dan mengandalkan pengambilan (retrieval) pengalaman-pengalaman sadar dan menggunakan isyarat (cue) berupa rekognisi dan tugas-tugas recall. Memori implisit (implicit memory), sebaliknya, diekspresikan dalam bentuk mempermudah kinerja dan tidak rekoleksi yang sadar (Solso, Maclin & Maclin, 2007).
DAFTAR PUSTAKA:
Ingwersen, P. (1992). Information Retrieval Interaction. London : Taylor Graham
Passer, M.W., & Smith, R.E., (2004). Psychology : The Science of Mind and Behavioral. California: Mc Graw Hill
Solso, L. R., Maclin, H. O. & Maclin M. K. (2007). Psikologi Kognitif Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
AUTOMATIC PROCESSING
Pengenalan pola dan kemampuan mengenali objek adalah sebuah kemampuan kognitif yang pada umumnya kita laksanakan dengan mulus, cepat, dan tanpa banyak usaha. pengenalan pola (pattern recognition) sehari-hari melibatkan sebuah interaksi rumit antara sensasi, persepsi, memori, dan pencarian kognitif dengan tujuan pengenalan terhadap pola tersebut. Seberapapun rumitnya proses pengenalan suatu objek, sesungguhnya proses tersebut diselesaikan kurang dari sedetik (Solso, Maclin & Maclin, 2007).
Aktivitas-aktivas yang sering kita lakukan dan latih dengan baik akhirnya menjadi otomatis sehingga memerlukan lebih sedikit atensi dibandingkan melakukan aktivitas yang baru atau yang belum kita kuasai. Respon yang sering dilatih akan diproses otomatis dan membutuhkan sedikit atensi. Proses ini terjadi tanpa diketahui oleh consciousness. Automaticity adalah salah satu karakteristik proses kognitif dimana komponen perilaku dipraktikan dengan konsisten dan dilakukan dengan cepat, dengan usaha minimal atau dengan alokasi perhatian pada pengolahan stimulus.
Solso, Maclin & Maclin (2007) mengatakan agar pemrosesan otomatis dapat terjadi, informasi harus dapat mengalir bebas dari memori ke kendali seseorang atas tindakan-tindakannya (latihan dapat memudahkan hal itu).
Ciri-ciri Automatic Processing :
1. Lebih cepat dibandingkan Consciousness Processing
2. Effortless
3. No Awareness
4. Unavoidable, di- Tringger oleh external atau internal stimuli
Pemrosesan informasi secara otomatis diteliti secara mendalam oleh Posner dan Snyder (dalam Solso, Maclin & Maclin, 2007) yang menyebutkan tiga karakteristik pemrosesan otomatis:
1. Pemrosesan otomatis terjadi tanpa ada niat sadar. Dalam eksperimen-eksperimen priming, dampak terjadi tanpa adanya niat atau tujuan sadar dari partisipan penelitian. Sebagai contoh, partisipan lebih mudah mengenali kata NURSE (perawat) setelah sebelumnya melihat kata DOCTOR (dokter), kata dokter ini ini berfungsi sebagai pemicu. Dalam eksperimen priming, kata pemicu atau prime ini sitayangkan dengan sangat cepat sehingga partisipan tidak menyadarinya. Kata-kata pemicu ternyata terbukti mampu membuat partisipan mengenali kata-kata pemicu tersebut, meskipun partisipan mengaku pernah “melihat” katata-kata tersebut.
2. Pemrosesan otomatis tersembunyi dari kesadaran. Sebagaimana ditunjukan dalam contoh sebelumnya, dampak-dampak priming sebagian besar tidak disadari. Ita tidak “berpikir” mengenai pemrosesan otomatis. Gagasan ini memunculkan karakteristik ketiga dibawah ini.
3. Pemrosesan otomatis menggunakan hanya sedikit sumber daya sadar (atau bahkan tidak menggunakan sumber daya sadar sama sekali). Kita dapat membaca kata-kata atau mengikat tali sepatu kita tanpa berpikir. Tindakan-tindakan tersebut terjadi secara otomatis dan tanpa memerlukan usaha.
Studi-studi tentang otomatis penting karena mengajari kita bahwa dalam aktivitas kognitif kita yang rumit, terdapat suatu proses yang berlangsung di luar pengalaman sadar. Lebih lanjut lagi, keterampilan seperti mengetik, menyelam, memainkan biola, mengemudikan mobil bermain tenis, dan bahkan menggunakan bahasa bahasa dengan tepat dan membuat penilaian sosial tentang orang lain, adalah aktivitas-aktivitas yang telah terlatih dengan baik, sehingga data berlangsung secara otomatis. Penampilan atau kinerja yang terampil dalam aktivitas-aktivitas tersebut mungin membebaskan kita untuk lebih memusatkan kesadaran kita pada aktivitas-aktivitas sulit dan menantang yang memerlukan atensi (Solso, Maclin & Maclin 2007).
Dua aspek dalam Automatic processing menurut Fiedenberg & Silverman (2006):
1. Interference
Dalam interfence theory atau Teori interferensi (sebuah teori yang menyatakan bahwa manusia lupa bukan karena kehilangan memori tetapi karena informasi lainnya menghalangi hal yang ingin diingati), gangguan konflik ini terbagi menjadi dua macam,yaitu :
a. Proactive interference; terjadi ketika informasi yang dipelajari sebelumnya mengganggu pengingatan kembali suatu hal yang dipelajari kemudian. Ini dapat menjadi bermasalah ketika informasi yang baru tidak dapat digunakan dengan benar akibat diganggu informasi lama
b. Retroactive interference ; terjadi ketika informasi yang baru dipelajari mengganggu pengingatan/pemanggilan memori yang lama.
2. Facilitation
Mekanisme respon-stimulus sederhana sering dapat mengontrol seluruh sistem kognitif secara sadar atau tidak. Mekanisme respon-stimulus yang menghasilkan respon otomatis disebut sebagai aturan produksi atau produksi. Produksi adalah aturan pemrosesan yang direpresentasikan di memori jangka panjang. Innate automatic processing :
a. Bawaan manusia: gerakan refleks sederhana sebagai mekanisme untuk menghindari stimuli yang berbahaya.
b. Berhubungan juga dengan memori manusia, manusia lebih sensitif terhadap info yang berkaitan dengan frekuensi, lokasi dan waktu kejadian
Tiga level processing menurut Solso, Maclin & Maclin (2007) yaitu:
1. Fully automatic processing
2. Partially automatic processing → beberapa tugas otomatis dilakukan bersamaan
Eksperimen mengenai pemrosesan otomatis dilakukan oleh Stroop melalui kegiatan penamaan warna yang disebut reverse stroop effect (dalam Barsalou, 1992). Stroop mempelajari interference melalui membaca dan pengenalan warna. Stroop bereksperimen dengan membandingkan waktu untuk membaca kata nama-nama warna yang dicetak dengan tinta hitam (facilitation) dan waktu yang digunakan utnuk membaca nama-nama warna yang dicetak dengan tinta dengan warna yang tidak sesuai (interference). Lalu Stroop membandingkan juga waktu yang dibutuhkan untuk memberi nama-nama warna yang dicetak dengan tinta dengan warna yang tidak sesuai (interference) kata “hijau” di cetak dengan warna merah, jawaban yang benar adalah merah dengan waktu yang dibutuhkan untuk memberi nama warna pada kotak kotak (facilitation).
DAFTAR PUSTAKA :
Barsalou, L. (1992). Cognitive Psychology An Overview for Cognitive Scientists. Lawrence Erlbaum Association: New Jersey.
Fiedenberg, F & Silverman, G. (2006). Cognitive Sains : An Introduction to the Study of Mind. United States of America: Hazelden.
Solso, L. R., Maclin, H. O. & Maclin M. K. (2007). Psikologi Kognitif Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Aktivitas-aktivas yang sering kita lakukan dan latih dengan baik akhirnya menjadi otomatis sehingga memerlukan lebih sedikit atensi dibandingkan melakukan aktivitas yang baru atau yang belum kita kuasai. Respon yang sering dilatih akan diproses otomatis dan membutuhkan sedikit atensi. Proses ini terjadi tanpa diketahui oleh consciousness. Automaticity adalah salah satu karakteristik proses kognitif dimana komponen perilaku dipraktikan dengan konsisten dan dilakukan dengan cepat, dengan usaha minimal atau dengan alokasi perhatian pada pengolahan stimulus.
Solso, Maclin & Maclin (2007) mengatakan agar pemrosesan otomatis dapat terjadi, informasi harus dapat mengalir bebas dari memori ke kendali seseorang atas tindakan-tindakannya (latihan dapat memudahkan hal itu).
Ciri-ciri Automatic Processing :
1. Lebih cepat dibandingkan Consciousness Processing
2. Effortless
3. No Awareness
4. Unavoidable, di- Tringger oleh external atau internal stimuli
Pemrosesan informasi secara otomatis diteliti secara mendalam oleh Posner dan Snyder (dalam Solso, Maclin & Maclin, 2007) yang menyebutkan tiga karakteristik pemrosesan otomatis:
1. Pemrosesan otomatis terjadi tanpa ada niat sadar. Dalam eksperimen-eksperimen priming, dampak terjadi tanpa adanya niat atau tujuan sadar dari partisipan penelitian. Sebagai contoh, partisipan lebih mudah mengenali kata NURSE (perawat) setelah sebelumnya melihat kata DOCTOR (dokter), kata dokter ini ini berfungsi sebagai pemicu. Dalam eksperimen priming, kata pemicu atau prime ini sitayangkan dengan sangat cepat sehingga partisipan tidak menyadarinya. Kata-kata pemicu ternyata terbukti mampu membuat partisipan mengenali kata-kata pemicu tersebut, meskipun partisipan mengaku pernah “melihat” katata-kata tersebut.
2. Pemrosesan otomatis tersembunyi dari kesadaran. Sebagaimana ditunjukan dalam contoh sebelumnya, dampak-dampak priming sebagian besar tidak disadari. Ita tidak “berpikir” mengenai pemrosesan otomatis. Gagasan ini memunculkan karakteristik ketiga dibawah ini.
3. Pemrosesan otomatis menggunakan hanya sedikit sumber daya sadar (atau bahkan tidak menggunakan sumber daya sadar sama sekali). Kita dapat membaca kata-kata atau mengikat tali sepatu kita tanpa berpikir. Tindakan-tindakan tersebut terjadi secara otomatis dan tanpa memerlukan usaha.
Studi-studi tentang otomatis penting karena mengajari kita bahwa dalam aktivitas kognitif kita yang rumit, terdapat suatu proses yang berlangsung di luar pengalaman sadar. Lebih lanjut lagi, keterampilan seperti mengetik, menyelam, memainkan biola, mengemudikan mobil bermain tenis, dan bahkan menggunakan bahasa bahasa dengan tepat dan membuat penilaian sosial tentang orang lain, adalah aktivitas-aktivitas yang telah terlatih dengan baik, sehingga data berlangsung secara otomatis. Penampilan atau kinerja yang terampil dalam aktivitas-aktivitas tersebut mungin membebaskan kita untuk lebih memusatkan kesadaran kita pada aktivitas-aktivitas sulit dan menantang yang memerlukan atensi (Solso, Maclin & Maclin 2007).
Dua aspek dalam Automatic processing menurut Fiedenberg & Silverman (2006):
1. Interference
Dalam interfence theory atau Teori interferensi (sebuah teori yang menyatakan bahwa manusia lupa bukan karena kehilangan memori tetapi karena informasi lainnya menghalangi hal yang ingin diingati), gangguan konflik ini terbagi menjadi dua macam,yaitu :
a. Proactive interference; terjadi ketika informasi yang dipelajari sebelumnya mengganggu pengingatan kembali suatu hal yang dipelajari kemudian. Ini dapat menjadi bermasalah ketika informasi yang baru tidak dapat digunakan dengan benar akibat diganggu informasi lama
b. Retroactive interference ; terjadi ketika informasi yang baru dipelajari mengganggu pengingatan/pemanggilan memori yang lama.
2. Facilitation
Mekanisme respon-stimulus sederhana sering dapat mengontrol seluruh sistem kognitif secara sadar atau tidak. Mekanisme respon-stimulus yang menghasilkan respon otomatis disebut sebagai aturan produksi atau produksi. Produksi adalah aturan pemrosesan yang direpresentasikan di memori jangka panjang. Innate automatic processing :
a. Bawaan manusia: gerakan refleks sederhana sebagai mekanisme untuk menghindari stimuli yang berbahaya.
b. Berhubungan juga dengan memori manusia, manusia lebih sensitif terhadap info yang berkaitan dengan frekuensi, lokasi dan waktu kejadian
Tiga level processing menurut Solso, Maclin & Maclin (2007) yaitu:
1. Fully automatic processing
2. Partially automatic processing → beberapa tugas otomatis dilakukan bersamaan
Eksperimen mengenai pemrosesan otomatis dilakukan oleh Stroop melalui kegiatan penamaan warna yang disebut reverse stroop effect (dalam Barsalou, 1992). Stroop mempelajari interference melalui membaca dan pengenalan warna. Stroop bereksperimen dengan membandingkan waktu untuk membaca kata nama-nama warna yang dicetak dengan tinta hitam (facilitation) dan waktu yang digunakan utnuk membaca nama-nama warna yang dicetak dengan tinta dengan warna yang tidak sesuai (interference). Lalu Stroop membandingkan juga waktu yang dibutuhkan untuk memberi nama-nama warna yang dicetak dengan tinta dengan warna yang tidak sesuai (interference) kata “hijau” di cetak dengan warna merah, jawaban yang benar adalah merah dengan waktu yang dibutuhkan untuk memberi nama warna pada kotak kotak (facilitation).
DAFTAR PUSTAKA :
Barsalou, L. (1992). Cognitive Psychology An Overview for Cognitive Scientists. Lawrence Erlbaum Association: New Jersey.
Fiedenberg, F & Silverman, G. (2006). Cognitive Sains : An Introduction to the Study of Mind. United States of America: Hazelden.
Solso, L. R., Maclin, H. O. & Maclin M. K. (2007). Psikologi Kognitif Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Manusia Dan Keadilan
Dalam tugas ini saya Rizky Fajar dan teman saya Fadil Wahyu Aditama akan menulis sebuah tulisan mengenai Manusia dan Keadilan dan sekaligus ini adalah tugas dari mata kuliah "Ilmu Budaya Dasar" atau yang lebih dikenal dengan IBD. pertama saya dan teman saya akan menjelaskan mengenai manusia selanjutnya mengenai keadilan dan kemudian mengaitkan antara keduanya, pertama-tama saya dan teman saya akan menjelaskan mengenai manusia itu sendiri.
A. MANUSIA
Dalam ilmu eksakta, manusia dipandng sebagai kumpulan dari partikel-partikel atom yang membentuk jaringan-jaringan sistem yang dimiliki oleh manusia (ilmu kimia), manusia merupakan kumpulan dari berbagai sistem fisik yang saling terkait satu sama lain dan merupakan kumpulan dari energi (ilmu fisika), manusia merupakan makhluk biologisyang tergolong dalam golongan makhluk mamalia (biologi). Dalam ilmu-ilmu sosial manusia merupakanmakhluk yang ingin memperoleh keuntungan atau selalu memperhitungkan setiap kegiatan, sering disebut homo economicus (ilmu ekonomi), manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri (sosiologi), makhluk yang selalu ingin mempunyai kekuasaan (politik) makhluk yang berbudaya, sering disebut homo-humanus (filsafat), dan lain sebagainya.
Ada dua pandangan yang akan kita jadikan acuan untuk menjelaskan tentang unsur-unsur yang membangun manusia
1) Manusia terdiri dari empat unsur terkait, yaitu
a. Jasad,
b. Hayat.
c. Ruh,
d. Nafs.
2) Manusia sebagai satu kepribadian mengandung tiga unsur, yaitu :
a. Id, merupakan libido murni,atau energi psikis yang menunjukkan ciri alami yang irrasional dan terkait dengan sex, yang secara instingtual menentukan proses-proses ketidaksadaran (unconcious). Terkurung dari realitas dan pengaruh sosial, Id diatur oleh prinsip kesenangan, mencari kepuasan instingsual libidinal yang harus dipenuhi baik secara langsung melalui pengalaman seksual, atau tidak langsung melalui mimpi atau khayalan.
b. Ego, merupakan bagian atau struktur kepribadian yang pertama kali dibedakan dari Id, seringkali disebut sebagai kepribadian “eksekutif” karena peranannya dalam menghubungkan energi Id ke dalam saluran sosial yang dapat dimengerti oleh orang lain.
c. Superego, merupakan kesatuan standar-standar moral yang diterima oleh ego dari sejumlah agen yang mempunyai otoritas di dalam lingkungan luar diri, biasanya merupakan asimilasi dari pandangan-pandangan orang tua.
B. HAKEKAT MANUSIA
1) Makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan yang utuh.
2) Makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Terdiri dari dua hal,yaitu perasaan inderawi dan perasaan rohani. Perasaan rohani adalah perasaan luhur yang hanya terdapat pada manusia,misalnya:
a. Perasaan intelektual,
b. Perasaan estetis,
c. Perasaan etis,
d. Perasaan diri,
e. Perasaan sosial,
f. Perasaan religius.
3) Makhluk biokultural, yaitu makhluk hayati yang budayawi.
4) Makhluk ciptaan Tuhan yang terikat dengan lingkungan (ekologi), mempunyai kualitas dan martabat karena kemampuan bekerja dan berkarya.
C. KEADILAN
Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak, bagaimana mewujudkan suatu keadilan jika tidak mengetahui apa arti keadilan. Untuk itu perlu dirumuskan definisi yang paling tidak mendekati dan dapat memberi gambaran apa arti keadilan. Definisi mengenai keadilan sangat beragam, dapat ditunjukkan dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum yang memberikan definisi berbeda-beda mengenai keadilan.
1) Keadilan menurut Aristoteles (filsuf yang termasyur) dalam tulisannya Retorica membedakan keadilan dalam dua macam :
a. Keadilan distributif atau justitia distributiva; Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antara masyarakat dengan perorangan.
b. Keadilan kumulatif atau justitia cummulativa; Keadilan kumulatif adalah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa mempedulikan jasa masing-masing. Keadilan ini didasarkan pada transaksi (sunallagamata) baik yang sukarela atau tidak. Keadilan ini terjadi pada lapangan hukum perdata, misalnya dalam perjanjian tukar-menukar.
2) Keadilan menurut Thomas Aquinas (filsuf hukum alam), membedakan keadilan dalam dua kelompok :
a. Keadilan umum (justitia generalis); Keadilan umum adalah keadilan menururt kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.
b. Keadilan khusus; Keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan ini debedakan menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Keadilan distributif (justitia distributiva) adalah keadilan yang secara proporsional yang diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum.
2. Keadilan komutatif (justitia cummulativa) adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dengan kontraprestasi.
3. Keadilan vindikativ (justitia vindicativa) adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.
3) Keadilan menurut Notohamidjojo (1973: 12), yaitu :
a. Keadilan keratif (iustitia creativa); Keadilan keratif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang untuk bebas menciptakan sesuatu sesuai dengan daya kreativitasnya.
b. Keadilan protektif (iustitia protectiva); Keadilan protektif adalah keadilan yang memberikan pengayoman kepada setiap orang, yaitu perlindungan yang diperlukan dalam masyarakat.
4) Keadilan menurut John Raws (Priyono, 1993: 35), adalah ukuran yang harus diberikan untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Ada tiga prinsip keadilan yaitu : (1) kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, (2) perbedaan, (3) persamaan yang adil atas kesempatan 8. Pada kenyataannya, ketiga prinsip itu tidak dapat diwujudkan secara bersama-sama karena dapat terjadi prinsip yang satu berbenturan dengan prinsip yang lain. John Raws memprioritaskan bahwa prinsip kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya secara leksikal berlaku terlebih dahulu dari pada prinsip kedua dan ketiga.
5) Keadilan dari sudut pandang bangsa Indonesia disebut juga keadilan sosial, secara jelas dicantumkan dalam pancasila sila ke-2 dan ke-5 9, serta UUD 1945. Keadilan adalah penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proposional dan tidak melanggar hukum. Keadilan berkaitan erat dengan hak, dalam konsepsi bangsa Indonesia hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Dalam konteks pembangunan bangsa Indonesia keadilan tidak bersifat sektoral tetapi meliputi ideologi, EKPOLESOSBUDHANKAM. Untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
6) Keadilan menurut Ibnu Taymiyyah (661-728 H) adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperolehnya tanpa diminta; tidak berat sebelah atau tidak memihak kepada salah satu pihak; mengetahui hak dan kewajiban, mengerti mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tetap menurut peraturan yang telah ditetapkan. Keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi berbagai aspek kehidupan, baik individual, keluarga, dan masyarakat. Keadilan tidak hanya menjadi idaman setiap insan bahkan kitab suci umat Islam menjadikan keadilan sebagai tujuan risalah samawi.
Demikianlah beberapa rangkuman pengertian “keadilan” dari berbagai ahli. Semoga bermanfaat bagi siapa saja yang sedang mencari dan memahami arti “keadilan”.
D. MANUSIA DAN KEADILAN
Dari beberapa definisi di atas bahwa manusia ialah suatu partikel-partikel dari sekumpulan atom yang membentuk suatu system yang dimiliki manusia serta memiliki energy dan hasrat kebutuhan dasar secara biologis dan sesuatu yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat bertahan apabila saling berpangku tangan sesama manusia dan memiliki perhitungan dalam setiap pergerakannya dan manusia itu sendiri memiliki jasad, hajat, ruh dan nafs dan juga manusia memiliki struktur kepribadian dilihat dari sudut pandang Sigmund freud yaitu Id, Ego dan Superego yang mengendalikan perilakunya serta yang mempengaruhi perkembangan dalam kerpribadiannya.
Sedangkan keadilan apabila dilihat dari definisi-definisi di atas ialah suatu hal yang abstrak dan bagaimana cara kita mewujudkan keadilan di mulai dengan mengerti dulu apa arti dari keadilan tersebut dan banyak definisi-definisi yang di ungkapkan oleh para ahli di atas dan akan saya dan teman simpulkan supaya definisi-definisi di atas akan menjadi lebih sederhana, dan dari definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang serta mengenai hak setiap individu baik berdasarkan jasa yang pernah diberikan atau tidak melihat dari segi jasa yang telah diberikan dan keadilan setiap individu sudah di atur dalam suatu undang-undang atau hokum yang berlaku berdasarkan hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap individu
Dari dua kesimpulan mengenai manusia dan kewajiban di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia dan keadilan adalah suatu keterkaitan yang berkesinambungan yang dimana setiap manusia harus diperlakukan secara adil dalam hidupnya dan harus mendapatkan apa yang menjadi haknya dan menjalankan apa yang telah menjadi kewajibannya baik itu yang sudah di atur dalam undang-undang atau hukum yang berlaku atau mendapatkan hak dengan apa yang telah diberikan selama ini serta mendapatkan kehidupan secara layak dan sejahtera dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari,
Demikian penjelasan dari saya dan teman saya dalam materi Manusia dan Keadilan semoga dapat bermanfaat bagi kita semua dan menambah wawasan kita dalam memandang suatu kedilan bagi setiap individu, maaf apabila ada kesalahan akibat keterbatasan kamu, terimakasih.
Daftar Pustaka
http://jamaluddinmahasari.wordpress.com/2012/04/22/pengertian-keadilan-diambil-dari-pendapat-para-ahli/
http://smileandsprit.blogspot.com/2012/10/manusia-dan-kebudayaan-dikaitkan-dengan.html
A. MANUSIA
Dalam ilmu eksakta, manusia dipandng sebagai kumpulan dari partikel-partikel atom yang membentuk jaringan-jaringan sistem yang dimiliki oleh manusia (ilmu kimia), manusia merupakan kumpulan dari berbagai sistem fisik yang saling terkait satu sama lain dan merupakan kumpulan dari energi (ilmu fisika), manusia merupakan makhluk biologisyang tergolong dalam golongan makhluk mamalia (biologi). Dalam ilmu-ilmu sosial manusia merupakanmakhluk yang ingin memperoleh keuntungan atau selalu memperhitungkan setiap kegiatan, sering disebut homo economicus (ilmu ekonomi), manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri (sosiologi), makhluk yang selalu ingin mempunyai kekuasaan (politik) makhluk yang berbudaya, sering disebut homo-humanus (filsafat), dan lain sebagainya.
Ada dua pandangan yang akan kita jadikan acuan untuk menjelaskan tentang unsur-unsur yang membangun manusia
1) Manusia terdiri dari empat unsur terkait, yaitu
a. Jasad,
b. Hayat.
c. Ruh,
d. Nafs.
2) Manusia sebagai satu kepribadian mengandung tiga unsur, yaitu :
a. Id, merupakan libido murni,atau energi psikis yang menunjukkan ciri alami yang irrasional dan terkait dengan sex, yang secara instingtual menentukan proses-proses ketidaksadaran (unconcious). Terkurung dari realitas dan pengaruh sosial, Id diatur oleh prinsip kesenangan, mencari kepuasan instingsual libidinal yang harus dipenuhi baik secara langsung melalui pengalaman seksual, atau tidak langsung melalui mimpi atau khayalan.
b. Ego, merupakan bagian atau struktur kepribadian yang pertama kali dibedakan dari Id, seringkali disebut sebagai kepribadian “eksekutif” karena peranannya dalam menghubungkan energi Id ke dalam saluran sosial yang dapat dimengerti oleh orang lain.
c. Superego, merupakan kesatuan standar-standar moral yang diterima oleh ego dari sejumlah agen yang mempunyai otoritas di dalam lingkungan luar diri, biasanya merupakan asimilasi dari pandangan-pandangan orang tua.
B. HAKEKAT MANUSIA
1) Makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan yang utuh.
2) Makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Terdiri dari dua hal,yaitu perasaan inderawi dan perasaan rohani. Perasaan rohani adalah perasaan luhur yang hanya terdapat pada manusia,misalnya:
a. Perasaan intelektual,
b. Perasaan estetis,
c. Perasaan etis,
d. Perasaan diri,
e. Perasaan sosial,
f. Perasaan religius.
3) Makhluk biokultural, yaitu makhluk hayati yang budayawi.
4) Makhluk ciptaan Tuhan yang terikat dengan lingkungan (ekologi), mempunyai kualitas dan martabat karena kemampuan bekerja dan berkarya.
C. KEADILAN
Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak, bagaimana mewujudkan suatu keadilan jika tidak mengetahui apa arti keadilan. Untuk itu perlu dirumuskan definisi yang paling tidak mendekati dan dapat memberi gambaran apa arti keadilan. Definisi mengenai keadilan sangat beragam, dapat ditunjukkan dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum yang memberikan definisi berbeda-beda mengenai keadilan.
1) Keadilan menurut Aristoteles (filsuf yang termasyur) dalam tulisannya Retorica membedakan keadilan dalam dua macam :
a. Keadilan distributif atau justitia distributiva; Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antara masyarakat dengan perorangan.
b. Keadilan kumulatif atau justitia cummulativa; Keadilan kumulatif adalah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa mempedulikan jasa masing-masing. Keadilan ini didasarkan pada transaksi (sunallagamata) baik yang sukarela atau tidak. Keadilan ini terjadi pada lapangan hukum perdata, misalnya dalam perjanjian tukar-menukar.
2) Keadilan menurut Thomas Aquinas (filsuf hukum alam), membedakan keadilan dalam dua kelompok :
a. Keadilan umum (justitia generalis); Keadilan umum adalah keadilan menururt kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.
b. Keadilan khusus; Keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan ini debedakan menjadi tiga kelompok yaitu :
1. Keadilan distributif (justitia distributiva) adalah keadilan yang secara proporsional yang diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum.
2. Keadilan komutatif (justitia cummulativa) adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dengan kontraprestasi.
3. Keadilan vindikativ (justitia vindicativa) adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.
3) Keadilan menurut Notohamidjojo (1973: 12), yaitu :
a. Keadilan keratif (iustitia creativa); Keadilan keratif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang untuk bebas menciptakan sesuatu sesuai dengan daya kreativitasnya.
b. Keadilan protektif (iustitia protectiva); Keadilan protektif adalah keadilan yang memberikan pengayoman kepada setiap orang, yaitu perlindungan yang diperlukan dalam masyarakat.
4) Keadilan menurut John Raws (Priyono, 1993: 35), adalah ukuran yang harus diberikan untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Ada tiga prinsip keadilan yaitu : (1) kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, (2) perbedaan, (3) persamaan yang adil atas kesempatan 8. Pada kenyataannya, ketiga prinsip itu tidak dapat diwujudkan secara bersama-sama karena dapat terjadi prinsip yang satu berbenturan dengan prinsip yang lain. John Raws memprioritaskan bahwa prinsip kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya secara leksikal berlaku terlebih dahulu dari pada prinsip kedua dan ketiga.
5) Keadilan dari sudut pandang bangsa Indonesia disebut juga keadilan sosial, secara jelas dicantumkan dalam pancasila sila ke-2 dan ke-5 9, serta UUD 1945. Keadilan adalah penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proposional dan tidak melanggar hukum. Keadilan berkaitan erat dengan hak, dalam konsepsi bangsa Indonesia hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Dalam konteks pembangunan bangsa Indonesia keadilan tidak bersifat sektoral tetapi meliputi ideologi, EKPOLESOSBUDHANKAM. Untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
6) Keadilan menurut Ibnu Taymiyyah (661-728 H) adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperolehnya tanpa diminta; tidak berat sebelah atau tidak memihak kepada salah satu pihak; mengetahui hak dan kewajiban, mengerti mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tetap menurut peraturan yang telah ditetapkan. Keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi berbagai aspek kehidupan, baik individual, keluarga, dan masyarakat. Keadilan tidak hanya menjadi idaman setiap insan bahkan kitab suci umat Islam menjadikan keadilan sebagai tujuan risalah samawi.
Demikianlah beberapa rangkuman pengertian “keadilan” dari berbagai ahli. Semoga bermanfaat bagi siapa saja yang sedang mencari dan memahami arti “keadilan”.
D. MANUSIA DAN KEADILAN
Dari beberapa definisi di atas bahwa manusia ialah suatu partikel-partikel dari sekumpulan atom yang membentuk suatu system yang dimiliki manusia serta memiliki energy dan hasrat kebutuhan dasar secara biologis dan sesuatu yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat bertahan apabila saling berpangku tangan sesama manusia dan memiliki perhitungan dalam setiap pergerakannya dan manusia itu sendiri memiliki jasad, hajat, ruh dan nafs dan juga manusia memiliki struktur kepribadian dilihat dari sudut pandang Sigmund freud yaitu Id, Ego dan Superego yang mengendalikan perilakunya serta yang mempengaruhi perkembangan dalam kerpribadiannya.
Sedangkan keadilan apabila dilihat dari definisi-definisi di atas ialah suatu hal yang abstrak dan bagaimana cara kita mewujudkan keadilan di mulai dengan mengerti dulu apa arti dari keadilan tersebut dan banyak definisi-definisi yang di ungkapkan oleh para ahli di atas dan akan saya dan teman simpulkan supaya definisi-definisi di atas akan menjadi lebih sederhana, dan dari definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang serta mengenai hak setiap individu baik berdasarkan jasa yang pernah diberikan atau tidak melihat dari segi jasa yang telah diberikan dan keadilan setiap individu sudah di atur dalam suatu undang-undang atau hokum yang berlaku berdasarkan hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap individu
Dari dua kesimpulan mengenai manusia dan kewajiban di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia dan keadilan adalah suatu keterkaitan yang berkesinambungan yang dimana setiap manusia harus diperlakukan secara adil dalam hidupnya dan harus mendapatkan apa yang menjadi haknya dan menjalankan apa yang telah menjadi kewajibannya baik itu yang sudah di atur dalam undang-undang atau hukum yang berlaku atau mendapatkan hak dengan apa yang telah diberikan selama ini serta mendapatkan kehidupan secara layak dan sejahtera dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari,
Demikian penjelasan dari saya dan teman saya dalam materi Manusia dan Keadilan semoga dapat bermanfaat bagi kita semua dan menambah wawasan kita dalam memandang suatu kedilan bagi setiap individu, maaf apabila ada kesalahan akibat keterbatasan kamu, terimakasih.
Daftar Pustaka
http://jamaluddinmahasari.wordpress.com/2012/04/22/pengertian-keadilan-diambil-dari-pendapat-para-ahli/
http://smileandsprit.blogspot.com/2012/10/manusia-dan-kebudayaan-dikaitkan-dengan.html
SISTEM PAKAR PSIKOLOGI TENTANG SOMATOFORM
KLIK GAMBAR UNTUK MELIHAT GAMBAR LEBIH BESAR DAN LEBIH JELAS....
Somatoform Disorders
Somatoform adalah masalah psikologis yang mengambil bentuk fisiologis, berasal dari kata yunani “soma” untuk tubuh dan inggris yaitu “form” yang artinya bentuk.
Individu biasanya mengeluhkan adanya gejala isik yang dianggap sebagai penyakit fisik namun berdasarkan pemeriksaan fisiologis tidak ditemukan adnya kelainan atau gangguan medis.
Jadi somatoform adalah rasa sakit pada tubuh yang dialami individu karena adanya masalah pada psikologisnya seperti cemas, stress, depresi, beban pikiran dan lainnya yang masalah psikologis tersebut kemudian berubah menjadi masalah atau sakit dan nyeri pada tubuhnya
Penyebab somatoform menurut berbagai aliran psikologi adalah sebagai berikut:
1. Faktor Psikolanalisa
Menurut aliran psikoanalisa somatoform disebabkan ketika seseorang mengalai peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran
2. Behavior
Menurut behaviorisme somatoform dikarenakan adanya proses modeling atau meniru orang lain dan lingkungannya, pola asuh dan learning etnis. Jadi somatoform dikarenakan gasil dari belajar dan meniru dari lingkungan maupun orangtua yang sering mengalihkan stress pikirannya menjadi sakit pada badan.
3. Faktor Psikososial
Dikarenakan terdapat factor psikososial berupa konflik psikis dibawah sadar seseorang yang mempunyai tujuan tertentu (menghindari tugas, kewajiban dan ekspresi emosi).
Jadi somatoform menurut psikososial dikarenakan sakit yang dibuat-buat untuk menghindari kewajiban dan tugas-tugasnya. Dan ada juga yang untuk menunjukan ekspresi emosinya, seperti saat orang sedang sedih maka ia akan jatuh sakit.
4. Faktor Biologis
Karena adanya factor genetic dalam transmisi gangguan somatisasi dan adanya penurunan metabolism (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer nondominan.
Jadi somatoform karena adanya penurunan metabolism tubuh yang dipengaruhi oleh pikiran kita, seperti saat kita sedang sedih atau stress kita jadi mudah sekali sakit karena adanya pikiran kita yang pengaruhi biologis.
Jenis- jenis somatoform
1. Gangguan konversi
Yaitu kondisi pancaindra dan otot tidak berfungsi dimana system saraf terganggu karena kondisi psikologis (stress).
Contoh: ketika kita sedang stress maka otot-otot tubuh kita menjadi kaku. Dan dalam sebuah kasus khusus ada seorang yang mengalami kebutaan mendadak karena dia shock melihat istrinya yang sedang selingkuh.
2. Hypochondriasis
Adanya reaksi yang berlebihan terhadap gangguan fisik yang dialaminya.
Contoh: saat seseorang menerima sebuah tugas yang tidak ia sukai maka ia akan menjadi sakit dan melebih-lebihkan sakitnya.
3. Gangguan Somatization
Keluhan fisik yang berulang namun ketika diperiksakan secara medis tidak ada atau tidak ditemukan gangguan medis.
Contoh: selalu merasa sakit namun saat diperiksakan ke dokter tidak ada gangguan medis yang terdeteksi.
4. Gangguan Nyeri
Gangguan dimana individu mengeluhkan adanya rasa nyeri yang berkepanjangan namun rasa sakit itu hanya bersifat subjektif.
Contoh: selalu merasa nyeri pada salah satu anggota tubuh saat sedang stress atau banyak beban pikiran
5. Body Dysmorphic Disorder
Perhatian atau keyakinan yang berlebih akan adanya masalah dalam penampilan (melebih-lebihkan kekurangan)
Contoh: melebih-lebihkan kekurangan yang ada dalam tubuhnya sehingga bagian yang ia anggap kurang tersebut menjadi alasannya untuk merasa sakit.
Treatment Dan Pengobatan Somatoform:
1. Cognitive-behavioral therapy yaitu terapi yang bertujuan untuk mengubah pemikiran dan mengubah perilaku penderita menjadi lebih positif
2. Relaxation training yaitu untuk melatih penderita lebih rileks lagi dalam menghadapi masalah untuk mengurangi transformasi stress kedalam bentuk sakit fisik.
3. Hypnotherapy untuk mengubah pikiran yang ada di alam bawah sadar penderita somatoform
4. Obat anti anxieties dan anti depressant, penggunaan obat ini hanya jika benar-benar sangat diperlukan dan harus dibawah pengawasan dokter atau psikiater (penggunaan obat ini sangat tidak disarankan karena adanya efek samping dan resiko ketergantungan)
Berikut ini cara-cara pencegahan somatoform yang dapat dilakukan adalah:
1. Selalu berpikir positif
2. Selalu merilekskan pikiran
3. Olahraga yang cukup
4. Refreshing
5. Ibadah dan berdoa
REFERENSI:
Handout perkuliahan psikologi abnormal universitas gunadarma
Subscribe to:
Posts (Atom)