1. IPK JADI 3.5
2. SEMUA MATA KULIAH DAPAT NILAI A
3. PSIKOLOGI KOGNITIF DAPAT NILAI A
4. TEST GRAFIS DAPAT NILAI A
5. PSIKOLOGI KOGNITIF SAINS DAPAT NILAI A
6. SISTEM INFORMASI PSIKOLOGI DAPAT NILAI A
7. PENYUSUNAN SKALA PSIKOLOGI DAPAT NILAI A
8. ANALISIS JABATAN DAPAT NILAI A
9. KONSTRUKSI ALAT UKUR DAPAT NILAI A
10. KERJAAN ASISTEN LABORATORIUM PSIKOLOGI LANCAR
11. SEMUA TUGAS KULIAH LANCAR DIKERJAKAN DAN DAPAT NILAI BAGUS
12. SEMUA ILMU YANG SUDAH DIDAPAT BISA BERGUNA BAGI MASYARAKAT
13. NILAI ILMU BUDAYA DASAR DAPAT NILAI A
14. NILAI PENGANTAR STATISTIKA DAPAT NILAI A
AAAAAMMMMMMMMIIIIIIIIIINNNNNNNN.........
Monday, November 19, 2012
ATENSI
Seluruh pengalaman sensorik (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa/pengecap, dan peraba dikendalikan oleh peraturan atensi (Solso, Maclin & Maclin, 2007).
Menurut James (dalam Solso, Maclin & Maclin, 2007), atensi adalah pemusatan pikiran, dalam bentuk yang jernih dan gamblang, terhadap sejumlah objek simultan atau sekelompok pikiran. Pemusatan (focalization) kesadaran adalah intisari atensi. Atensi mengimplikasikan adanya pengabaian objek-objek lain agar kita sanggup menangani objek-objek tertentu secara selektif. Menurut Solso (dalam Solso, Maclin & Maclin, 2007), atensi adalah pemusatan upaya mental pada peristiwa-peristiwa sensorik atau peristiwa-peristiwa mental. Penelitian terhadap atensi mencakup lima aspek utama: kapasitas pemrosesan dan atensi selektif, tingkat rangsangan, pengendalian atensi kesadaran, dan neurosains kognitif.
Dari sudut pandang psikologi kognitif atensi mengacu pada proses kognitif yang menyeleksi informasi penting dari dunia di sekeliling kita (melalui pancaindera), sehingga otak kita tidak secara berlebihan dipenuhi informasi yang tidak terbatas jumlahnya.
Lima isu terkait atensi diilustrasikan dalam contoh-contoh di bawah ini:
1. Kapasitas pemrosesan dan selektivitas
Kita dapat memperhatikan sejumlah stimuli eksternall dari dunia eksternal, namun kita tidak dapat memperhatikan seluruh stimuli yang ada.
2. Kendali
Kita memiliki kendali terhadap pilihan stimuli yang kita perhatikan.
3. Pemrosesan otomatis
Sejumlah besar proses rutin (seperti mengemudikan mobil) telah menjadi proses yang amat familiar sehingga memerlukan hanya sedikit atensi sadar dan dapat dilakukan secara otomatis.
4. Neurosains cognitive
Otak dan sisten saraf pusat (CNS; central nervous system) adalah pendukung anatomis bagi atensi, sebagaimana kognisi.
5. Kesadaran
Atensi membawa peristiwa-peristiwa ke alam kesadaran.
Menurut Barsalou (1992) Ada 2 tipe attention yaitu:
1. Focused Attention (selective attention), kita memilih satu aliran informasi diantara banyak informasi yang perlu kita perhatikan.
2. Divided Attention (atensi terbagi), mengikuti percakapan sambil mengamati orang yang berbicara menyetir mobil sambil menelepon Tingkah laku para ahli (expert) memungkinkan devided attention
Proses stimulus dalam mendapatkan atensi manusia dibagi 2 yaitu (Barsalou, 1992):
1. Voluntary: ada usaha untuk memperhatikan sesuatu
2. Involuntary: beberapa rangsangan (stimuli) menarik perhatian kita, memaksa masuk dalam kesadaran kita.
Dari pendekatan pemrosesan informasi, kita dapat mengkonsepkan perhatian selektif sebagai serangkaian tahap atau proses yang dimulai dengan pengenalan indrawi kejadian visual (input), kemudian melalui jalur kapasitas terbatas memutuskan informasi apa yang akan disaring keluar, dan berakhir pada pengalaman sadar kita akan kejadian visual tersebut.
Keterbatasan kapasitas dan atensi selektif mengimplikasikan adanya kemacetan (bottleneck) structural dalam pemrosesan informasi. Sebuah model menempatan kemacetan itu pada, atau persis sebelum analisis perseptual.
Model atenuasi tentang atensi selektif mengajukan gagasan mengenai keberadaan penyaring (filter) perceptual, yang terletak di antara sinyal dan analisis verbal yang berfungsi menyaring input dengan secara selektif mengendalikan volume pesan. Stimuli memiliki ambang aktivitasi yang berbeda-beda, sebuah gagasan yang menjelasakan mengapa kita dapat mendengar suatu percakapan meskipun tidak memusatkan perhatian kepada percakapan itu.
referensi
Barsalou, L. (1992). Cognitive Psychology An Overview for Cognitive Scientists. Lawrence Erlbaum Association: New Jersey.
Solso, L. R., Maclin, H. O. & Maclin M. K. (2007). Psikologi Kognitif Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Menurut James (dalam Solso, Maclin & Maclin, 2007), atensi adalah pemusatan pikiran, dalam bentuk yang jernih dan gamblang, terhadap sejumlah objek simultan atau sekelompok pikiran. Pemusatan (focalization) kesadaran adalah intisari atensi. Atensi mengimplikasikan adanya pengabaian objek-objek lain agar kita sanggup menangani objek-objek tertentu secara selektif. Menurut Solso (dalam Solso, Maclin & Maclin, 2007), atensi adalah pemusatan upaya mental pada peristiwa-peristiwa sensorik atau peristiwa-peristiwa mental. Penelitian terhadap atensi mencakup lima aspek utama: kapasitas pemrosesan dan atensi selektif, tingkat rangsangan, pengendalian atensi kesadaran, dan neurosains kognitif.
Dari sudut pandang psikologi kognitif atensi mengacu pada proses kognitif yang menyeleksi informasi penting dari dunia di sekeliling kita (melalui pancaindera), sehingga otak kita tidak secara berlebihan dipenuhi informasi yang tidak terbatas jumlahnya.
Lima isu terkait atensi diilustrasikan dalam contoh-contoh di bawah ini:
1. Kapasitas pemrosesan dan selektivitas
Kita dapat memperhatikan sejumlah stimuli eksternall dari dunia eksternal, namun kita tidak dapat memperhatikan seluruh stimuli yang ada.
2. Kendali
Kita memiliki kendali terhadap pilihan stimuli yang kita perhatikan.
3. Pemrosesan otomatis
Sejumlah besar proses rutin (seperti mengemudikan mobil) telah menjadi proses yang amat familiar sehingga memerlukan hanya sedikit atensi sadar dan dapat dilakukan secara otomatis.
4. Neurosains cognitive
Otak dan sisten saraf pusat (CNS; central nervous system) adalah pendukung anatomis bagi atensi, sebagaimana kognisi.
5. Kesadaran
Atensi membawa peristiwa-peristiwa ke alam kesadaran.
Menurut Barsalou (1992) Ada 2 tipe attention yaitu:
1. Focused Attention (selective attention), kita memilih satu aliran informasi diantara banyak informasi yang perlu kita perhatikan.
2. Divided Attention (atensi terbagi), mengikuti percakapan sambil mengamati orang yang berbicara menyetir mobil sambil menelepon Tingkah laku para ahli (expert) memungkinkan devided attention
Proses stimulus dalam mendapatkan atensi manusia dibagi 2 yaitu (Barsalou, 1992):
1. Voluntary: ada usaha untuk memperhatikan sesuatu
2. Involuntary: beberapa rangsangan (stimuli) menarik perhatian kita, memaksa masuk dalam kesadaran kita.
Dari pendekatan pemrosesan informasi, kita dapat mengkonsepkan perhatian selektif sebagai serangkaian tahap atau proses yang dimulai dengan pengenalan indrawi kejadian visual (input), kemudian melalui jalur kapasitas terbatas memutuskan informasi apa yang akan disaring keluar, dan berakhir pada pengalaman sadar kita akan kejadian visual tersebut.
Keterbatasan kapasitas dan atensi selektif mengimplikasikan adanya kemacetan (bottleneck) structural dalam pemrosesan informasi. Sebuah model menempatan kemacetan itu pada, atau persis sebelum analisis perseptual.
Model atenuasi tentang atensi selektif mengajukan gagasan mengenai keberadaan penyaring (filter) perceptual, yang terletak di antara sinyal dan analisis verbal yang berfungsi menyaring input dengan secara selektif mengendalikan volume pesan. Stimuli memiliki ambang aktivitasi yang berbeda-beda, sebuah gagasan yang menjelasakan mengapa kita dapat mendengar suatu percakapan meskipun tidak memusatkan perhatian kepada percakapan itu.
referensi
Barsalou, L. (1992). Cognitive Psychology An Overview for Cognitive Scientists. Lawrence Erlbaum Association: New Jersey.
Solso, L. R., Maclin, H. O. & Maclin M. K. (2007). Psikologi Kognitif Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Sunday, November 4, 2012
Feature Detection
Pengenalan pola dan kemampuan mengenali objek adalah sebuah kemampuan kognitif yang pada umumnya kita laksanakan dengan mulus, cepat, dan tanpa banyak usaha. pengenalan pola (pattern recognition) sehari-hari melibatkan sebuah interaksi rumit antara sensasi, persepsi, memori, dan pencarian kognitif dengan tujuan pengenalan terhadap pola tersebut. Seberapapun rumitnya proses pengenalan suatu objek, sesungguhnya proses tersebut diselesaikan kurang dari sedetik (Solso, Maclin & Maclin, 2007).
Feature detection adalah kemampuan visual korteks yang terdapat pada indera penglihatan manusia untuk menerima atau mendeteksi suatu stimulus tertentu yang masuk melalui indra penglihatan kita. Dengan model feature detection, stimulus diterima, kemudian dicocokkan secara keseluruhan, yang terpecah menjadi feature componen, dimana fitur tersebut merupakan bagian dari stimulus tersebut. Inti dari penentuan fitur ini adalah setiap komponen bagian fitur yang berbeda berarti bukan merupakan dari stimulus awal yang diterima. Contohnya saja huruf “ A”, huruf “ A” memiliki bagian yang tegak lurus dan bagian yang horizontal. Berbeda halnya dengan huruf “B”, huruf “B” memiliki bagian tegak lurus, dan beberapa bagian lengkung. Apabila fitur yang diterima adalah garis lengkung maka dapat dikatakan ini bukan merupakan bagian dari stimulus “A” .
Feature detection yang paling dikenal disebut dengan Pandemonium, Pandemonium berasal dari kata Demons, Pandemonium merupakan salah satu sistem atau metode dalam rekognisi pola (pattern recognition) yang menggunakan analisis tampang (feature analysis). Sistem ini merupakan salah satu cara untuk menggambarkan bagaimana terjadinya proses rekognisi (pengenalan kembali) atas pola-pola yang diindera oleh manusia. Sistem ini mengimajinasikan adanya serangkaian hantu (demon) yang berperan menganalisis pola-pola yang diindera. Masing-masing demon memiliki tugas yg berbeda-beda.yang berperan dalam menganalisis pola-pola yang diterima oleh indera atau disebut juga mewakili pengolahan dari unit-unit stimulus yang diterima oleh indera. Demon tersebut akan bekerja pada saat proses recognition.
Contohnya: penerimaan stimulus “R” . Tahapan pertama, stimulus “R” diberikan. Kemudian oleh yang namanya Image demons, stimulus “R“ tersebut di terima dan dikenali keseluruhan bagian dari stimulus tersebut. Tahapan berikutnya adalah feature demons, bagian dari demons ini yang akan mencoba mengenali setiap bagian yang dimunculkan, misalnya bagian dari stimulus “R” tegak lurus, vertikal, siku-siku dan lain sebagainya.
Feature demons akan mengingat bagian tersebut. Selanjutnya oleh bagian yang namanya Cognitive demons, ia akan mengamati setiap respon dari feature demons, jadi apa bila pola dari yang datang menyerupai stimulus “R” misalnya pola yang muncul adalah “B” dan apabila pola tersebut memiliki kesamaan dengan stimulus “R” maka ia akan memberi isyarat. Kemudian oleh tahapan yang terakhir yang disebut dengan desicion demons akan mendengar isyarat yang diberikan oleh cognitive demons tersebut, sebagai huruf dengan pola yang sama dengan yang dikenali sebelumnya. Inilah yang merupakan tugas dari masing-masing tahapan demon dalam mendeteksi bagian stimulus tertentu yang masuk melalui indera.
DAFTAR PUSTAKA
Fiedenberg, F & Silverman, G. (2006). Cognitive Sains : An Introduction to the Study of Mind. United States of America: Hazelden.
Solso, L. R., Maclin, H. O. & Maclin M. K. (2007). Psikologi Kognitif Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Feature detection adalah kemampuan visual korteks yang terdapat pada indera penglihatan manusia untuk menerima atau mendeteksi suatu stimulus tertentu yang masuk melalui indra penglihatan kita. Dengan model feature detection, stimulus diterima, kemudian dicocokkan secara keseluruhan, yang terpecah menjadi feature componen, dimana fitur tersebut merupakan bagian dari stimulus tersebut. Inti dari penentuan fitur ini adalah setiap komponen bagian fitur yang berbeda berarti bukan merupakan dari stimulus awal yang diterima. Contohnya saja huruf “ A”, huruf “ A” memiliki bagian yang tegak lurus dan bagian yang horizontal. Berbeda halnya dengan huruf “B”, huruf “B” memiliki bagian tegak lurus, dan beberapa bagian lengkung. Apabila fitur yang diterima adalah garis lengkung maka dapat dikatakan ini bukan merupakan bagian dari stimulus “A” .
Feature detection yang paling dikenal disebut dengan Pandemonium, Pandemonium berasal dari kata Demons, Pandemonium merupakan salah satu sistem atau metode dalam rekognisi pola (pattern recognition) yang menggunakan analisis tampang (feature analysis). Sistem ini merupakan salah satu cara untuk menggambarkan bagaimana terjadinya proses rekognisi (pengenalan kembali) atas pola-pola yang diindera oleh manusia. Sistem ini mengimajinasikan adanya serangkaian hantu (demon) yang berperan menganalisis pola-pola yang diindera. Masing-masing demon memiliki tugas yg berbeda-beda.yang berperan dalam menganalisis pola-pola yang diterima oleh indera atau disebut juga mewakili pengolahan dari unit-unit stimulus yang diterima oleh indera. Demon tersebut akan bekerja pada saat proses recognition.
Contohnya: penerimaan stimulus “R” . Tahapan pertama, stimulus “R” diberikan. Kemudian oleh yang namanya Image demons, stimulus “R“ tersebut di terima dan dikenali keseluruhan bagian dari stimulus tersebut. Tahapan berikutnya adalah feature demons, bagian dari demons ini yang akan mencoba mengenali setiap bagian yang dimunculkan, misalnya bagian dari stimulus “R” tegak lurus, vertikal, siku-siku dan lain sebagainya.
Feature demons akan mengingat bagian tersebut. Selanjutnya oleh bagian yang namanya Cognitive demons, ia akan mengamati setiap respon dari feature demons, jadi apa bila pola dari yang datang menyerupai stimulus “R” misalnya pola yang muncul adalah “B” dan apabila pola tersebut memiliki kesamaan dengan stimulus “R” maka ia akan memberi isyarat. Kemudian oleh tahapan yang terakhir yang disebut dengan desicion demons akan mendengar isyarat yang diberikan oleh cognitive demons tersebut, sebagai huruf dengan pola yang sama dengan yang dikenali sebelumnya. Inilah yang merupakan tugas dari masing-masing tahapan demon dalam mendeteksi bagian stimulus tertentu yang masuk melalui indera.
DAFTAR PUSTAKA
Fiedenberg, F & Silverman, G. (2006). Cognitive Sains : An Introduction to the Study of Mind. United States of America: Hazelden.
Solso, L. R., Maclin, H. O. & Maclin M. K. (2007). Psikologi Kognitif Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Pengenalan Pola Pada Para Pakar
1. Para Pemain Catur
Chase dan Simon (dalam Solso, Maclin & Maclin, 2007), mempelajari problem ini dengan menganalisis pola rumit yang dihasilkan oleh buah-buah catur di atas sebuah papan catur. Selain itu, para peneliti tersebut menganalisis perbedaan antara maestro-maestro catur dengan para pemain amatir. Dalam studi tersebut, pola tersusun dari kumpulan sejumlah objek (jadi bukan fitur-ftur yang membentuk objek). Secara intuitif, kita mengetahui bahwa perbedaan kognitif antara seorang maestro catur dengan Seorang pemain amatir terletak pada seberapa banyak langkah yang dapat direncanakan seorang maestro dibandingkan seorang amatir.
2. Pengenalan Objek—Peran Pengamat
Sejauh ini kita telah mempelajari cukup banyak bidang dalam bab mengenai pengenalan objek ini: pemrosesan bottom-up dan pemrosesan top-down; pencocokan template; simulasi komputer dalam pengenalan objek; analisis ftur; komponen-komponen fisiologis dalam pengenalan objek; pencocokan prototipe; struktur kognitif; identifkasi huruf, bentuk, wajah; dan persoalan catur. Dalam sebagian besar topik tersebut, kita mungkin kesulitan menentukan letak pemrosesan fungsi-fungsi yang sepesifik dalam pengenalan objek di otak, tanpa melibatkan sistem-sistem kognitif yang lain.
3. Pengenalan Pola di Otak
Telah diketahui bahwa kedua hemisfer otak memiliki “keistimewaan” yang berbeda, atau, dengan istilah lain, memiliki ketidaksimetrisan fungsional. Kendali motorik dan pusat bahasa terletak di hemisfer kiri (pada orang nonkidal). Keahlian spasial (yang berhubungan dengan ruang) berpusat di hemisfer kanan.
a. Pengenalan Pola dipengaruhi:
1) Object Superiority Effect
sebuah objek atau gambar lebih mudah dikenali apabila dirangkai dengan objek-objek lain di dalam sebuah peristiwa.
2) Word Superiority Effect
sebuah huruf atau kata akan lebih mudah dikenali apabila dirangkai dalam satu kata bermakna, atau kalimat.
DAFTAR PUSTAKA
Solso, L. R., Maclin, H. O. & Maclin M. K. (2007). Psikologi Kognitif Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Chase dan Simon (dalam Solso, Maclin & Maclin, 2007), mempelajari problem ini dengan menganalisis pola rumit yang dihasilkan oleh buah-buah catur di atas sebuah papan catur. Selain itu, para peneliti tersebut menganalisis perbedaan antara maestro-maestro catur dengan para pemain amatir. Dalam studi tersebut, pola tersusun dari kumpulan sejumlah objek (jadi bukan fitur-ftur yang membentuk objek). Secara intuitif, kita mengetahui bahwa perbedaan kognitif antara seorang maestro catur dengan Seorang pemain amatir terletak pada seberapa banyak langkah yang dapat direncanakan seorang maestro dibandingkan seorang amatir.
2. Pengenalan Objek—Peran Pengamat
Sejauh ini kita telah mempelajari cukup banyak bidang dalam bab mengenai pengenalan objek ini: pemrosesan bottom-up dan pemrosesan top-down; pencocokan template; simulasi komputer dalam pengenalan objek; analisis ftur; komponen-komponen fisiologis dalam pengenalan objek; pencocokan prototipe; struktur kognitif; identifkasi huruf, bentuk, wajah; dan persoalan catur. Dalam sebagian besar topik tersebut, kita mungkin kesulitan menentukan letak pemrosesan fungsi-fungsi yang sepesifik dalam pengenalan objek di otak, tanpa melibatkan sistem-sistem kognitif yang lain.
3. Pengenalan Pola di Otak
Telah diketahui bahwa kedua hemisfer otak memiliki “keistimewaan” yang berbeda, atau, dengan istilah lain, memiliki ketidaksimetrisan fungsional. Kendali motorik dan pusat bahasa terletak di hemisfer kiri (pada orang nonkidal). Keahlian spasial (yang berhubungan dengan ruang) berpusat di hemisfer kanan.
a. Pengenalan Pola dipengaruhi:
1) Object Superiority Effect
sebuah objek atau gambar lebih mudah dikenali apabila dirangkai dengan objek-objek lain di dalam sebuah peristiwa.
2) Word Superiority Effect
sebuah huruf atau kata akan lebih mudah dikenali apabila dirangkai dalam satu kata bermakna, atau kalimat.
DAFTAR PUSTAKA
Solso, L. R., Maclin, H. O. & Maclin M. K. (2007). Psikologi Kognitif Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Prototype Matching
1. Pengertian Prototype Matching
Dilihat dari bahasa sebuah prototipe adalah tipe yang asli, bentuk, atau contoh dari sesuatu yang dipakai sebagai contoh yang khas, dasar, atau standar untuk hal-hal lain dari kategori yang sama. pen.co.cok.an [n] proses, cara, perbuatan mencocokkan. Jika disatukan berarti mencocokan bentuk dasar atau standar.
Pendekatan ini merupakan alternative dari template matching dan feature analysis. Pandangan ini beranggapan bahwa pembentukan prototype adalah lebih mungkin daripada membentuk template khusus atau sejumlah feature dari pola yang berbeda-beda, yang diaktifkan pada waktu merekognisi. Adanya prototype memungkinkan kita untuk mengenali suatu pola meskipun pola tersebut mungkin tidak identik dengan prototype dan hanya serupa (similar).
Diasumsikan bahwa, alih-alih membentuk template yang spesifik atau bahkan membentuk fitur-fitur berbagai ragam pola yang harus kita identifikasi, kita akan menyimpan sejumlah jenis pola-pola abstraksi dalam memori, dan abstraksi tersebut berperan sebagai suatu prototipe. Sebuah pola yang diindera selanjutnya akan dibandingkan dengan prototipe dalam memori, dan jika terdapat kesamaan antara keduanya, pola tersebut akan dikenali.
2. Proses Prototype matching
Beberapa jenis abstraksi disimpan didalam long term memory (LTM) dan abstraksi tersebut berperan sebagai bentuk dasar (prototype). Suatu pola yang diamati akan dicek dengan prototype yang ada, dan jika ditemukan keseuaian, pola tersebut akan dikenali.
Contoh : Kita dapat mengenali mobil VW meskipun memiliki bentuk dan warna yang berbeda dengan yang kita lihat.
Prototype bukan sekedar abstraksi terhadap satu set stimuli, tetapi juga merupakan contoh atau representasi yang terbaik dari suatu pola
3. Prototype Theory
a. -> Ada model ideal/abstrak/prototype dalam memory kita. Ketika kita melihat suatu objek -> membandingkan dengan prototype.
b. -> Tidak harus sama persis (menekankan pada bentuk dasar) -> memungkinkan modifikasi bentuk.
c. -> Orang membentuk prototype berdasarkan kesamaan, tidak identik.
4. Abstraksi Informasi Visual
Pencocokan template dapat terjadi pada satu tahap pengenalan/identifikasi visual, namun pada tahap yang lain, kita mungkin menggunakan pencocokan prototipe. Gagasan ini menyatakan bahwa suatu prototipe adalah sebuah abstraks dari suatu rangkaian stimuli yang mencakup sejumlah besar bentuk-bentuk serupa dari pola yang sama. Sebuah prototipe memungkinkan kita mengenali suatu pola sekalipun pola tersebut tidak identik dengan (artinya, hanya menyerupai) prototipe yang bersangkutan.
5. Pseudomemori
Dalam sebuah eksperimen mengenai pembentukan prototipe dengan menggunakan prosedur Franks dan Bransford, Solso dan McCarthy (1981b) menemukan bahwa para partisipan kerap melakukan suatu kekeliruan, yakni “mengenali” prototipe sebagai suatu bentuk stimulus yang pernah ditampilkan sebelumnya (padahal prototipe belum pernah ditampilkan); bahkan partisipan merasa lebih yakin dibandingkan saat mereka mengidentifikasi bentuk-bentuk yang memang sudah pernah mereka lihat sebelumnya. Fenomena ini disebut pseudomemori (pseudomemory) atau memori semu.
6. Teori-teori Pembentukan Prototipe
Dalam teori tendensi sentral (central-tendency theory), sebuah prototipe dikonseptualisasikan mewakili nilai rata-rata (mean) suatu set eksemplar.
Teori kedua, yang disebut teori frekuensi atribut (attribute-frequency theory), mengajukan gagasan bahwa sebuah prototipe mewakili mode atau kombinasi atribut-atribut yang paling sering dialami seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Solso, L. R., Maclin, H. O. & Maclin M. K. (2007). Psikologi Kognitif Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Dilihat dari bahasa sebuah prototipe adalah tipe yang asli, bentuk, atau contoh dari sesuatu yang dipakai sebagai contoh yang khas, dasar, atau standar untuk hal-hal lain dari kategori yang sama. pen.co.cok.an [n] proses, cara, perbuatan mencocokkan. Jika disatukan berarti mencocokan bentuk dasar atau standar.
Pendekatan ini merupakan alternative dari template matching dan feature analysis. Pandangan ini beranggapan bahwa pembentukan prototype adalah lebih mungkin daripada membentuk template khusus atau sejumlah feature dari pola yang berbeda-beda, yang diaktifkan pada waktu merekognisi. Adanya prototype memungkinkan kita untuk mengenali suatu pola meskipun pola tersebut mungkin tidak identik dengan prototype dan hanya serupa (similar).
Diasumsikan bahwa, alih-alih membentuk template yang spesifik atau bahkan membentuk fitur-fitur berbagai ragam pola yang harus kita identifikasi, kita akan menyimpan sejumlah jenis pola-pola abstraksi dalam memori, dan abstraksi tersebut berperan sebagai suatu prototipe. Sebuah pola yang diindera selanjutnya akan dibandingkan dengan prototipe dalam memori, dan jika terdapat kesamaan antara keduanya, pola tersebut akan dikenali.
2. Proses Prototype matching
Beberapa jenis abstraksi disimpan didalam long term memory (LTM) dan abstraksi tersebut berperan sebagai bentuk dasar (prototype). Suatu pola yang diamati akan dicek dengan prototype yang ada, dan jika ditemukan keseuaian, pola tersebut akan dikenali.
Contoh : Kita dapat mengenali mobil VW meskipun memiliki bentuk dan warna yang berbeda dengan yang kita lihat.
Prototype bukan sekedar abstraksi terhadap satu set stimuli, tetapi juga merupakan contoh atau representasi yang terbaik dari suatu pola
3. Prototype Theory
a. -> Ada model ideal/abstrak/prototype dalam memory kita. Ketika kita melihat suatu objek -> membandingkan dengan prototype.
b. -> Tidak harus sama persis (menekankan pada bentuk dasar) -> memungkinkan modifikasi bentuk.
c. -> Orang membentuk prototype berdasarkan kesamaan, tidak identik.
4. Abstraksi Informasi Visual
Pencocokan template dapat terjadi pada satu tahap pengenalan/identifikasi visual, namun pada tahap yang lain, kita mungkin menggunakan pencocokan prototipe. Gagasan ini menyatakan bahwa suatu prototipe adalah sebuah abstraks dari suatu rangkaian stimuli yang mencakup sejumlah besar bentuk-bentuk serupa dari pola yang sama. Sebuah prototipe memungkinkan kita mengenali suatu pola sekalipun pola tersebut tidak identik dengan (artinya, hanya menyerupai) prototipe yang bersangkutan.
5. Pseudomemori
Dalam sebuah eksperimen mengenai pembentukan prototipe dengan menggunakan prosedur Franks dan Bransford, Solso dan McCarthy (1981b) menemukan bahwa para partisipan kerap melakukan suatu kekeliruan, yakni “mengenali” prototipe sebagai suatu bentuk stimulus yang pernah ditampilkan sebelumnya (padahal prototipe belum pernah ditampilkan); bahkan partisipan merasa lebih yakin dibandingkan saat mereka mengidentifikasi bentuk-bentuk yang memang sudah pernah mereka lihat sebelumnya. Fenomena ini disebut pseudomemori (pseudomemory) atau memori semu.
6. Teori-teori Pembentukan Prototipe
Dalam teori tendensi sentral (central-tendency theory), sebuah prototipe dikonseptualisasikan mewakili nilai rata-rata (mean) suatu set eksemplar.
Teori kedua, yang disebut teori frekuensi atribut (attribute-frequency theory), mengajukan gagasan bahwa sebuah prototipe mewakili mode atau kombinasi atribut-atribut yang paling sering dialami seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
Solso, L. R., Maclin, H. O. & Maclin M. K. (2007). Psikologi Kognitif Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga: Jakarta.
Subscribe to:
Posts (Atom)