Sunday, October 30, 2011

KONSUMERISME

Pengertian Konsumerisme

Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan.

Konsumerisme itu sendiri merupakan gerakan konsumen (consumer movement) yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir). Dalam pengertian lebih luas, istilah konsumerisme, dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha dan negara dan gerakan tidak sekadar hanya melingkupi isu kehidupan sehari-hari mengenai produk harga naik atau kualitas buruk, termasuk hak asasi manusia berikut dampaknya bagi konsumer.

Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kontemporer (Peter Salim, 1996), arti konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya. Selain itu, arti kata ini adalah pemakaian barang dan jasa.

a. Masyarakat konsumerisme

Dalam ranah masyarakat konsumer hasrat direproduksi lewat ide-ide yang terbentuk lewat proses sosial. Baudrillard misalnya melihat bahwa struktur nilai yang tercipta secara diskursif menentukan kehadiran hasrat. Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumer ini menurutnya mengejawantah dalam kode-kode. Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek eksternal, produksi menciptakan materi sebagai kode-kode yang menstimulasi kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi. Dalam nalar Freudian hasrat untuk mengonsumsi secara mendasar adalah sesuatu yang bersifat instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan struktur psikis manusia: yaitu id. Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau didasari oleh prinsip kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan. Adalah jelas bahwa tindakan untuk mencapai kepuasan dan kesenangan spontan ini dalam fase id bersifat irasional. Mengonsumsi pada awalnya terkait dengan tindakan menggapai kepuasan secara irasional, spontan dan temporal – fase id struktur psikis manusia.

b. Proses Gaya Hidup

Dalam masyarakat komoditas atau konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup (Feathersone, 2005). Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup.

Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik disebut oleh Bordieu (1984) sebagai ‘perantara budaya baru’. Dalam wacana kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum “kemajuan” dan “kebaruan”. Dan karena dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan oleh media (Piliang dalam Ibrahim, 1997, hal. 200).

Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati posisi strategis sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen.

Masalah ini dikaji secara reflektif-akademik oleh seorang cendikiawan Prancis terkemuka, Jean Baudrillard. Secara umum, menurutnya, media berperan sebagai agen yang menyebar imaji-imaji kepada khalayak luas. Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak, benar-benar dipengaruhi oleh kekuatan imaji tersebut. Jadi motivasi untuk membeli tidak lagi berangkat dari dalam diri seseorang berdasarkan kebutuhannya yang riil, namun lebih karena adanya otoritas lain di luar dirinya yang "memaksa" untuk membeli. Hasrat belanja masyarakat merupakan hasil konstruksi yang disengaja. Jauh hari sebelum hari-hari besar itu, media terutama televisi telah memoles-moles dirinya untuk bersiap bergumul ke dalam kancah persaingan merebut hati para pemirsa. Berbagai program, dari mulai sinetron, kuis, sandiwara komedi, sampai musik, disediakan sebagai persembahan spesial untuk menyambut hari spesial. Semakin cantik acara yang disajikan akan semakin mengundang banyak penonton. Selanjutnya, rating-pun tinggi sehingga merangsang kalangan produsen untuk memasang iklan. Iklan merupakan proses persuasi yang sangat efektif dalam memengaruhi keputusan masyarakat dalam mengonsumsi.

Bagaimana menghindar dari konsumerisme? Mengonsumsi sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar dilakukan. Namun, dewasa ini disadari bahwa masyarakat tidak hanya mengonsumsi, tapi telah terjebak ke dalam budaya konsumerisme. Budaya ini dikatakan berbahaya karena berekses negatif terhadap lingkungan hidup, juga meluruhnya hubungan sosial dan bertahtanya kesadaran palsu di benak masyarakat. Sekarang sudah saatnya menjadi konsumen yang cerdas dan kritis, bukan lagi saatnya menjadi -- dalam istilah Bre Redana -- mindless consumer, konsumen yang tidak berotak, pasif, dan gampang dibodohi. Mulailah mengendalikan diri dan membelanjakan uang hanya untuk barang yang benar-benar kita perlukan, jangan mudah terpengaruh dengan rayuan untuk membeli dan mulai mempertanyakan proses di balik pembuatan barang yang akan kita beli. Sebagai konsumen, kita berhak melakukannya karena kita adalah raja

c. Budaya konsumerisme

Dalam ranah masyarakat konsumer hasrat direproduksi lewat ide-ide yang terbentuk lewat proses sosial. Baudrillard misalnya melihat bahwa struktur nilai yang tercipta secara diskursif menentukan kehadiran hasrat. Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumer ini menurutnya mengejawantah dalam kode-kode. Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek eksternal, produksi menciptakan materi sebagai kode-kode yang menstimulasi kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi. Dalam nalar Freudian hasrat untuk mengonsumsi secara mendasar adalah sesuatu yang bersifat instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan struktur psikis manusia: yaitu id. Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau didasari oleh prinsip kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan. Adalah jelas bahwa tindakan untuk mencapai kepuasan dan kesenangan spontan ini dalam fase id bersifat irasional. Mengkonsumsi pada awalnya terkait dengan tindakan menggapai kepuasan secara irasional, spontan dan temporal – fase id struktur psikis manusia.


Daftar Pustaka

Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
eprints.undip.ac.id/.../POSMODERNISME_DAN_BUDAYA_KONSUMEN.doc ( diunduh pada 13 oktober 2011, pukul 22.00 wib)
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)

KONSUMTIF

Pengertian Konsumtif



Kata “ konsumtif “ ( sebagai kata sifat, lihat akhiran if ) sering diartikan sama dengan “ konsumerisme “. Sebenanya kata yang terakhir ini mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang - barang yang kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal.
Dalam era globalisasi ini dan di tengah kondisi insibilitas ekonomi yang mengakibatkan terus melonjaknya harga komoditas bahan pokok saat ini, pengendalian diri sangatlah penting. Sedini mungkin hendaknya menghindari pola hidup konsumtif. Kebiasaan konsumtif ini biasanya didasari oleh faktor gengsi(banyak orang merasa tidak puas, iri, ingin mendapat sesuatu dengan cara yang mudah).

Perilaku konsumtif, biasanya kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang sangat potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut – ikutan teman, tidak realistis dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat - sifat remaja inilah yang sering dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja.
Dikalangan remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama di kota - kota besar, mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga membuat para remaja merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Contohnya saja dengan berbagai merk hp dan serinya sampai- sampai ada yang membuat tiruannya dengan harga yang fantastis murahnya. Alhasil, muncullah perilaku konsumtif.




Dari sejumlah penelitian, ada perbedaan dalam pola konsumtif antara pria dan wanita. Juga terdapat sifat yang berbeda antara pria dan wanita dalam perilaku membeli.

Perbedaan tersebut adalah:
a. Pria
• mudah terpengaruh bujukan penjual
• sering tertipu karena tidak sabar dalam memilih barang
• mempunyai perasaan kurang enak bila tidak membeli sesuatu setelah memasuki toko
• kurang menikmati kegiatan berbelanja sehingga sering terburu-buru mengambil suatu keputusan membeli.
b. Wanita
• lebih tertarik pada warna dan bentuk bukan pada hal yang teknis
• tidak mudah terbawa arus bujukan penjual
• menyenangi hal- hal yang romantis daripada obyektif
• cepat merasakan suasana toko
• senang melakukan kegiatan belanja walau hanya “window shopping" (melihat saja tetapi tidak membeli)

Remaja dalam perkembangan kognitif dan emosinya masih memandang bahwa atribut yang superficial itu sama penting ( bahkan lebih penting ) dengan substansi.Akan menjadi masalah ketika kecenderungan yang seharusnya wajar pada remaja ini dilakukan secara berlebihan.
Ada pepatah “Lebih besar pasak daripada tiang “, terkadang apa yang dituntut diluar kemampuan yang kita miliki. Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar dalam gaya hidup sekelompok remaja yang dalam perkembangannya mereka akan menjadi dewasa dengan gaya hidup konsumtif.


Daftar Pustaka

Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2011/08/01/bulan-puasa-setan-konsumtif-itu-terbebaskan/
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)

Konsep - Konsep Produksi Dan Marketing, Dan Cara Memuaskan Konsumen

Konsep - konsep produksi dan marketing :

Production concept

Konsumen pada umumnya lebih tertarik dengan produk-produk yang harganya lebih murah. Mutlak diketahui bahwa objek marketing tersebut murah, produksi yang efisien dan distribusi yang intensif.

Product concept

Konsumen akan menggunakan atau membeli produk yang ditawarkan tersebut memiliki kualitas yang tinggi, performa yang terbaik dan memiliki fitur-fitur yang lengkap.

Selling concept

Marketer memiliki tujuan utama yaitu menjual produk yang diputuskan secara sepihak untuk diproduksi.

Marketing concept

Perusahaan mengetahui keinginan konsumen melalui riset yang telah dilakukan sebelumnya, kemudian memproduksi produk yang diinginkan konsumen. Konsep ini disebut marketing concept.

Market segmentation

Membagi kelompok pasar yang heterogen ke kelompok pasar yang homogen.

Market targeting

Memilih satu atau lebih segmen yang mengidentifikasikan perusahaan untuk menentukan.
Positioning

Memuaskan Konsumen

Mengembangkan pemikiran yang berbeda untuk barang dan jasa yang ada dalam pikiran konsumen.
Menyediakan nilai pelanggan didefinisikan sebagai rasio antara keuntungan yang dirasakan sumber-sumber (ekonomi, fungsional dan psikologi) digunakan untuk menghasilkan keuntungan-keuntungan tersebut. Keuntungan yang telah dirasakan berupa relative dan subjektif.
Kepuasan pelanggan adalah persepsi individu dari performa produk atau jasa dalam hubungannya dengan harapan-harapan.
Mempertahankan konsumen adalah bagaimana mempertahankan supaya konsumen tetap loyal dengan satu perusahaan dibandingkan dengan perusahaan lain, hampir dalam semua situasi bisnis, lebih mahal untuk mencari pelanggan baru dibandingkan mempertahankan yang sudah ada

Cara agar memuaskan konsumen

Dalam kaitannya dengan kepuasan Konsumen/pelanggan, kualitas memiliki beberapa dimensi pokok, tergantung pada konteksnya. Dalam kasus pemasaran barang, ada delapan dimensi utama yang biasanya digunakan (menurut Gregorius Chandra 2002), yaitu:

1. Kinerja (performance): Karakteristik operasi dasar dari suatu produk, misalnya kecepatan pengiriman barang, serta jaminan keselamatan barang.

2. Fitur (features): karakteristik pelengkap khusus yang dapat menarik pembeli pada saat transaksi.

3. Reliabilitas, yaitu probabilitas terjadinya kegagalan atau kerusakan produk dalam periode waktu tertentu. Semakin kecil kemungkinan terjadinya kerusakan, semakin andal produk bersangkutan.

4. Konformasi (conformance), yaitu tingkat kesesuaian produk dengan standar yang telah ditetapkan,

5. Daya Tahan (Durability), yaitu jumlah pemakaian produk sebelum produk bersangkutan harus diganti. Semakin besar frekuensi pemakaian normal yang dimungkinkan, semakin besar pula daya tahan produk.

6. Serviceablility, yaitu kecepatan dan kemudahan untuk direparasi, serta kompetensi dan keramahtamahan staf layanan.

7. Estetika (aesthetics), menyangkut penampilan produk yang bisa dinilai dengan panca indrea (rasa, bau, suara dst).

8. Persepsi terhadap kualitas (perceived quality), yaitu kulitas yang dinilai berdasarkan reputasi penjual.misal BMW, SONY dll.



Daftar Pustaka

Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
eprints.undip.ac.id/.../POSMODERNISME_DAN_BUDAYA_KONSUMEN.doc ( diunduh pada 13 oktober 2011, pukul 22.00 wib)
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)

KONSUMEN

PENGERTIAN KONSUMEN

Konsumen adalah orang yang memakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali, maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh karena itu produsen yang memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen.
Gregorius Chandra (2002) menyatakan bahwa konsep pemasaran dan pemasaran sosial menekankan pentingnya kepuasan pelanggan dalam menunjang keberhasilan organisasi untuk mewujudkan tujuannya. Secara sederhana, tingkat kepuasan seorang pelanggan terhadap produk tertentu merupakan hasil dari perbandingan yang dilakukan oleh pelanggan bersangkutan atas tingkat manfaat yang dipersepsikan (perceived) telah diterimanya setelah mengkonsumsi atau menggunakan produk dan tingkat manfaat yang diharapkan (expected) sebelum pembelian jasa. Jika persepsi sama atau lebih besar dibandingkan harapan, maka pelanggan akan puas. Secara garis besar, kepuasan pelanggan memberikan dua menfaat utama bagi perusahaan, yaitu berupa loyalitas pelanggan dan gethok tular (Word of mouth) positif.
Pengertian Konsumen menurut Philip Kotler (2000) dalam bukunya Prinsiples Of Marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi.

PRILAKU KONSUMEN

Perilaku konsumen adalah studi mengenai individu, kelompok atau organisasi dan proses-proses yang dilakukan dalam memilih, menentukan, mendapatkan, menggunakan, dan menghentikan pemakaian produk, jasa, pengalaman, atau ide untuk memuaskan kebutuhan serta dampak proses-proses tersebut terhadap konsumen dan masyarakat (Hawkins, Best & Coney, 2001)
Perilaku konsumen adalah Aktivitas mental dan fisik yang dilakukan oleh pelanggan rumah tangga (konsumen akhir) dan pelanggan bisnis yang menghasilkan keputusan untuk membayar, membeli, dan menggunakan produk dan jasa tertentu (Sheth & Mittal,2004)

Pengaruh digital revolution telah menimbulkan perubahan yang drastis terhadap lingkungan bisnis, hal ini dapat dilihat sebagai berikut :

1. Konsumen lebih memiliki kekuatan dibandingkan sebelumnya.
2. Konsumen memiliki akses untuk mendapakan informasi yang lebih dibandingkan sebelumnya.
3. Para marketer dapat menawarkan produk dan jasa yang lebih dibandingkan sebelumnya.
4. Pertukaran antara marketer dan konsumen akan lebih interaktif dan spontan.
5. Marketer dapat mengumpulkan lebih banyak informasi tentang konsumen dengan cepat dan mudah.

Perilaku konsumen :

Adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Focus dari perilaku konsumen adalah bagaimana individu membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya mereka yang telah tersedia untuk mengkonsumsi suatu barang.

Dua wujud konsumen

1. Personal Consumer : konsumen ini membeli atau menggunakan barang atau jasa untuk penggunaannya sendiri.
2. Organizational Consumer : konsumen ini membeli atau menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan dan menjalankan organisasi tersebut.

Faktor faktor yang mempengaruhi konsumen

Konsumen adalah individu yang mempunyai warna tersendiri tiap-tiap individunya, sebagai pemasar kita perlu memahami konsep pemikiran mereka dengan mereka faktor yang mempengaruhi konsumen, seperti faktor :

Faktor-faktor kebudayaan

Faktor-faktor kebudayaan berpengaruh luas dan mendalam terhadap perilaku konsumen. Kita akan membahas peranan yang dimainkan oleh kebudayaan, sub budaya, dan kelas sosial pembeli.
Kebudayaan
Adalah faktor penentu keinginan dan perilaku seseorang yang paling mendasar. Jika makhluk yang lebih rendah perilakunya sebagian besar diatur oleh naluri, maka perilaku manusia sebagian besar adalah dipelajari.
Anak yang dibesarkan dalam sebuah masyarakat mempelajari seperangkat nilai dasar, persepsi, preferensi, dan perilaku melalui sebuah proses sosialisasi yang melibatkan keluarga dan berbagai lembaga penting lainnya. Karena itu, seseorang anak yang dibesarkan dalam kebudayaan tertentu akan mempunyai nilai-nilai kebudayaan tertentu pula (seperti nilai prestasi dan keberhasilan, aktivitas, efisiensi, dan kepraktisan, kemajuan, kenyataan, kenyamanan material, individualisme, kebebasan, kenikmatan eksternal, kemanusiaan dan sikap serta jiwa muda).

Sub Budaya

Setiap budaya mempunyai kelompok-kelompok sub budaya yang lebih kecil yang merupakan identifikasi dan sosialisasi yang khas untuk perilaku anggotanya.


Kelas Sosial

Sebenarnya, semua masyarakat manusia menampilkan lapisan-lapisan sosial. Lapisan-lapisan sosial ini kadang-kadang berupa sebuah sistem kasta dimana para anggota kasta yang berbeda memikul peranan tertentu dan mereka tak dapat mengubah keanggotaan kastanya. Malah lebih sering lapisan sosial itu berbentuk kelas sosial. Kelas sosial adalah sebentuk kelompok yang relatif homogen dan bertahan lama dalam sebuah masyarakat yang tersusun dalam sebuah urutan jenjang dan para anggota dalam setiap jenjang itu memiliki nilai, minat dan tingkah laku sama.

Faktor-Faktor Sosial

Perilaku seorang konsumen juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, seperti kelompok referensi keluarga, status, dan peranan sosial.
Kelompok Referensi
Perilaku seseorang amat dipengaruhi oleh berbagai kelompok-kelompok yang memberikan pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang.

Keluarga

Para anggota keluarga dapat mempengaruhi dengan kuat terhadap perilaku membeli. Kita dapat membedakan dua maaca keluarga dalam kehidupan pembeli. Pertama, keluarga sebagai sumber orientasi yang terdiri dari orangtua. Kedua, keluarga sebagai sumber keturunan, disani adanya hubungan yang saling mempengaruhi (suami-istri dan anak).

Peranan dan Status

Sepanjang kehidupan, seseorang terlibat dalam beberapa kelompok, yaitu : keluarga, klub dan organisasi. Kedudukan seseorang dalam setiap kelompok dapat diartikan sebagai Peranan dan Status.

Faktor Pribadi

Keputusan seorang pembeli juga dipengaruhi oleh ciri-ciri kepribadiannya, termasuk usia dan daur hidupnya, pekerjaannya, kondisi ekonomi, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri.

Faktor Psikologis

Pilihan seseorang membeli juga dipengaruhi oleh empat faktor psikologis utama, yaitu : motivasi, persepsi belajar, kepercayaan dan sikap.

Motivasi

Seperti yang diterangkan oleh teori Robert Maslow: Dimulai dengan kebutuhan-kebutuhan fisiologis (lapar, haus), disusul kebutuhan-kebutuhan keselamatan (perasaan aman, perlindungan), kemudian kebutuhan-kebutuhan sosial (perasaan menjadi anggota lingkungan dan dicintai), selanjutnya kebutuhan-kebutuhan untuk dihargai (harga diri, pengakuan, status) dan mengkerucut ke kebutuhan-kebutuhan pernyataan diri (pengembangan dan perwujudan diri).

Persepsi

Fenomena yang ditangkap oleh panca indera dan dimaknai oleh pikiran.
Belajar
Sewaktu orang berbuat, mereka belajar. Belajar menggambarkan perubahan dalam perilaku seseorang individu yang bersumber dari pengalaman.

Kepercayaan dan Sikap

Melalui perbuatan dan belajar, orang memperoleh kepercayaan dan sikap. Kepercayaan adalah gagasan deskriptif yang dianut oleh seseorang tentang sesuatu. Sebuah sikap, menggambarkan penilaian kognitif yang baik maupun tidak baik, perasaan-perasaan emosional dan kecenderungan berbuat yang bertahan selama waktu tertentu terhadap beberapa obyek atau gagasan.


Daftar Pustaka


Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.

Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.

eprints.undip.ac.id/.../POSMODERNISME_DAN_BUDAYA_KONSUMEN.doc ( diunduh pada 13 oktober 2011, pukul 22.00 wib)

http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)

KONSUMSI

Pengertian Konsumsi


Konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.
Tujuan dari konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia dan memperoleh kepuasan dari pemenuhan tersebut.
Tingkat konsumsi seseorang dipengaruhi oleh banyak hal yang berkaitan. Seseorang membelanjakan uang yang dimiliki sebelumnya dipengaruhi oleh banyak pertimbangan akibat adanya kalangkaan. Berikut ini dipaparkan penyebab perubahan tingkat pengeluaran atau konsumsi dalam rumah tangga :

a. Penyebab Faktor Ekonomi:

1. Pendapatan
Pendapatan yang meningkat tentu saja biasanya otomatis diikuti dengan peningkatan pengeluaran konsumsi. Contoh : Orang yang tadinya hanya beli baju dan keperluan lainnya saat baju atau barangnya akan dipakai, beralih menjadi shopaholic hanya karena mendapat gaji yang lebih.

2. Kekayaan
Orang kaya yang punya banyak aset riil biasanya memiliki pengeluaran konsumsi yang besar. Contohnya seperti seseorang yang memiliki beberapa perusahaan atau toko biasanya akan memiliki banyak uang tanpa harus banyak bekerja. Dengan demikian orang tersebut dapat membeli banyak barang dan jasa karena punya banyak pemasukan dari hartanya.

3. Tingkat Bunga
Bunga bank yang tinggi akan mengurangi tingkat konsumsi yang tinggi karena orang lebih tertarik menabung di bank dengan bunga tetap tabungan atau deposito yang tinggi dibanding dengan membelanjakan banyak uang.

4. Perkiraan Masa Depan
Orang yang was-was tentang nasibnya di masa yang akan datang akan menekan konsumsi. Biasanya seperti orang yang mau pensiun, punya anak yang butuh biaya sekolah, ada yang sakit butuh banyak biaya perobatan, dan lain sebagainya

b. Penyebab Faktor Demografi

1. Komposisi Penduduk
Dalam suatu wilayah jika jumlah orang yang usia kerja produktif banyak maka konsumsinya akan tinggi. Bila yang tinggal di kota ada banyak maka konsumsi suatu daerah akan tinggi juga. Bila tingkat pendidikan sumber daya manusia di wilayah itu tinggi-tinggi maka biasanya pengeluaran wilayah tersebut menjadi tinggi.

2. Jumlah Penduduk
Jika suatu daerah jumlah orangnya sedikit sekali maka biasanya konsumsinya sedikit. Jika orangnya ada sangat banyak maka konsumsinya sangat banyak pula

c. Penyebab / Faktor Lain

1. Kebiasaan Adat Sosial Budaya
Suatu kebiasaan di suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang. Di daerah yang memegang teguh adat istiadat untuk hidup sederhana biasanya akan memiliki tingkat konsumsi yang kecil. Sedangkan daerah yang memiliki kebiasaan gemar pesta adat biasanya memiliki pengeluaran yang besar.

2. Gaya Hidup Seseorang
Seseorang yang berpenghasilan rendah dapat memiliki tingkat pengeluaran yang tinggi jika orang itu menyukai gaya hidup yang mewah dan gemar berhutang baik kepada orang lain maupun dengan kartu kredit.


Daftar Pustaka

Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
eprints.undip.ac.id/.../POSMODERNISME_DAN_BUDAYA_KONSUMEN.doc ( diunduh pada 13 oktober 2011, pukul 22.00 wib)
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)

Friday, October 7, 2011

Kebudayaan Indis

Kebudayaan Indis
Materi 1
Andreas Anthony (11509408)
Ma'ruf Purwo Pujasera (10509666)
Rezi Dwi Saputra (16509726)
Riefa Amanda (10509254)
Rizky Fajar (16509521)

Psikologi Lintas Budaya


Pendahuluan

Kolonialisme yang dibuat oleh Belanda pada nusantara Indonesia ini menyebabkan suatu proses enkulturasi, lebih daripada itu bahkan menciptakan/melahirkan sebuah kebudayaan baru yang bercirikan kebudayaan Belanda dan pribumi Jawa kebudayaan baru yang terbentuk ini biasa dikenal orang dengan kebudayaan Indis.
Tujuh unsur universal budaya yang telah ada dalam masyarakat pribumi Jawa terpengaruh oleh kebudayaan Belanda dan terbentuk kebudayaan baru kemudian budaya tersebut mencirikan keunikkannya sendiri. Jadi dalam hal ini faktor budaya yang mempengaruhi perilaku manusia. Yang terdapat paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang didalamnya tercakup budaya

Tinjauan Pustaka


Bagaimana kita suka / tidak suka terhadap sesuatu dan pada akhirnya menentukan perilaku kita. Sikap kita berorientasi kepada respon sikap adalah suatu bentuk dari perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (Unfavourable) pada suatu objek. Sikap juga berorientasi kepada kesiapan respon, sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Sikap merupakan suatu pola perilaku, tendenasi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial yang telah terkondisikan.
Komponen atau Struktur Sikap
Menurut Mar’at (1984):
1. Komponen kognisi yang berhubungan dengan belief (kepercayaan atau keyakinan), ide, konsep yaitu persepsi, stereotipe, opini yang dimiliki individu mengenai sesuatu
2. Komponen Afeksi yang berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang misalnya menyangkut perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi
3. Komponen Kognisi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku seperti ”kecenderungan” : belum berperilaku.
- Interaksi antara komponen sikap: seharusnya membentuk pola sikap yang seragam ketika dihadapkan pada objek sikap. Apabila salah satu komponen sikap tidak konsisten satu sama lain, maka akan terjadi ketidakselarasan akibatnya terjadi perubahan sikap .
Dalam hal akulturasi budaya hingga menciptakan suatu kebudayaan yang baru, maka generasi baru yang muncul mempergunakan persepinya untuk membandingkan keadaan akar budaya Belanda dan budaya pribumi Jawa, ini tidak berhenti sampai disitu saja namun terus berlanjut hingga terbentuk suatu sikap

Pembentukan Sikap

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap:
1. Pengalaman pribadi
§ Dasar pembentukan sikap: pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat
§ Sikap mudah terbentuk jika melibatkan faktor emosional
2. Kebudayaan
§ Pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut dibesarkan
§ Contoh pada sikap orang kota dan orang desa terhadap kebebasan dalam pergaulan
3. Orang lain yang dianggap penting (Significant Otjhers)
§ yaitu: orang-orang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah laku dan opini kita, orang yang tidak ingin dikecewakan, dan yang berarti khusus
§ Misalnya: orangtua, pacar, suami/isteri, teman dekat, guru, pemimpin
§ Umumnya individu tersebut akan memiliki sikap yang searah (konformis) dengan orang yang dianggap penting.
Hal-hal yang dipandang oleh para keturunan adalah ketidak nyamanan ketika harus menjadi salah seorang pribumi yang harus bekerja keras untuk memperoleh sesuatu, namun karena adanya kesempatan sebagai seorang keturunan Indo-Belanda maka mereka membuat dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada pribumi asli Jawa dengan memanfaatkan garis keturunan campuran, sehingga mereka tidak pernah mau untuk menyebut dirinya pribumi namun mencirikan diri mereka sendiri sebagai suatu kebudayaan baru.

Awal kehadiran orang Belanda

Pada abad ke-16, bangsa Belanda datang ke nusantara Indonesia untuk melakukan perdagangan dengan membeli rempah-rempah kepada orang-orang pribumi setempat, tapi kemudian tujuan organisasi perdagangan Belanda (VOC) berkembang. Mereka ingin menetap, yang selanjutnya digunakan pertahanan dan konsolidasi kekuatan, memonopoli perdagangan hingga menjadi penguasa terhadap seluruh nusantara. Akhir dari semunya adalah kolonialisme yang diterapkan oleh Belanda atas seluruh Indonesia (Hindia Belanda)
Politik liberal serta struktur feodal yang diberlakukan oleh Belanda mengakibatkan semakin luas dan berkembangnya perusahaan swasta, hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah tenaga kerja (buruh dan birokrasi). Tenaga buruh yang dapat diambil dari rakyat/pribumi jelata yang tidak berpendidikan kemudian untuk tenaga birokrasi perkantoran golongan rendah dan menengah diambil dari rakyat/pribumi Indonesia (suku jawa) yang berpendidikan sekolah, sedangkan pemegang kendali –kendali perusahaan langsung dipegang oleh orang Belanda yang banyak datang ke Indonesia
Kebudayaan baru pun muncul. Karena adanya larangan bagi orang-orang Belanda untuk membawa istri atau mendatangkan perempuan Belanda ke Hindia Belanda (Indonesia). Maka daripada itu lelaki Belanda terdorong untuk menikahi penduduk setempat. Maka, terjadilah percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran, dan menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-pribumi yang kita sebut gaya indis. Kemudian, pada tahun 1870 ketika terusan suez dibuka, hal itu berarti memperpendek jarak tempuh antara negeri Belanda dengan Hindia Belanda, hingga menyebabakan arus kehadiran perempuan semakin banyak, kehadiran perempuan Eropa ke nusantara pun memperluas percampuran kebudayaan yang telah terbentuk.

Kebudayaan Indis

Semakin banyaknya orang-orang Belanda yang datang ke Hindia Belanda dan membentuk koloni sendiri dan selain itu mereka juga ada yang menikahi orang pribumi (jawa) membuat terjadinya proses asimilasi semakin cepat, pertemuan antara budaya Belanda dan budaya jawa disebut dengan kebudayaan indis
Kebudayaan indis merupakan fenomena historis karena menghasilkan/mempengaruhi tujuh unsur-unsur universal budaya yang telah ada dalam masyarakat pribumi jawa sebelumnya.
Masyarakat pendukung kebudayaan Indis
Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di pulau jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan, yaitu budaya barat dan timur. Kebudayaan barat (Belanda) dan kebudayaan timur (jawa) masing-masing didukung oleh etnis dan struktur sosial yang berbeda dan semakin bercampur. Sejak abad ke-18 sampai awal abad kw-20 muncul golongan sosial baru sebagai pendukung kuat kebudayaan campuran (Belanda-jawa) di daerah jajahan Hindia Belanda.
Ketujuh unsur universal yang tepengaruh budaya Belanda ialah Bahasa (lisan dan tertulis), peralatan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi.
Misalnya perkembangan dalam bidang pendidikan dan organisasi menyebabkan modernisasi pada masyarakat Indis. Masyarakat pribumi yang berpendidikan barat menjadi terangkat martabatnya, mereka pun menjadi bersikap kooperatif terhadap Belanda. Dan hal ini menumbuhkan golongan sosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru yang menurut Sartono Kartodirdjo dibagi kedalam lima stratifikasi yaitu (1) Elite birokrasi yang terdiri atas Pangreh Praja Eropa dan Pangreh Praja Pribumi (2) Priyayi birokrasi termasuk priyayi ningrat (3) Priyayi professional (dibagi menjadi dua ada golongan priyayi gedhe dan priyayi cilik (4) Golongan Belanda dan golongan indo yang secara formal masuk status Eropa (5) Orang kecil (wong cilik). Golongan masyarakat tersebut, kecuali wong cilik, merupakan pendukung kuat kebudayaan indis
Aspek kognitif juga ikut mempengaruhi individu masyarakat indis, jika pribumi asli jawa akan canggung dengan suasana tempat tinggal bergaya barat yang modern. Lain halnya dengan masyarakat indis, mereka memodifikasi tempat tinggal dengan sedemikian rupa, jika mereka canggung atau merasa tidak nyaman dengan suasana tempat tinggal, mereka akan hanya menyesuaikan bentuk bangunannya.
Aspek normatif menunjukan keadaan yang dianggap sebagai hal yang berharga, yang menjadi tuntutan dan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih baik dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial. Sebagai contoh seorang pejabat pribumi, jika rumahnya masih bergaya jawa maka akan sulit untuk merundingkan sesuatu yang sifatnya rahasia secara face to face dalam ruangan pendapa, sedang tamu-tamu yang lain ikut hadir mengelilinginya. Oleh karena itu ia harus menyesuaikan ruangan dalam rumah agar tidak bercampur-baur.
Aspek afektif, yaitu tindakan kelompok yang menunjukan situasi. Aspek ini dikaitkan dengan aspek kehidupan berumah tangga, terutama komposisi sebuah keluarga yang tinggal dalam sebuah rumah.
Komposisi sosial. Keturunan kedua golongan masyarakat Belanda dan pribumi yang disebut indo masih tetap menganggap budaya masa lampau perlu untuk dibanggakan, karena perlu menggunakan budaya barat demi karir jabatan dan prestise dalam hidup masyarakat kolonial.
Sejak awal kehadiran bangsa Belanda telah terjadi kontak budaya yang kemudian menghasilkan perpaduan budaya. Kebudayaan campuran yang didukung oleh segolongan masyarakat Hindia Belanda itu disebut kebudayaan Indis. Dalam proses akulturasi dua kebudayaan tersebut, peran penguasa kolonial di Hindia Belanda sangat menentukan. Sementara itu, bangsa Indonesia menerima nasib sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri. Sebelum bangsa Belanda hadir, masyarakat pribumu Jawa sudah mengenal teknologi dengan cukup baik. Mereka sudah mahir mengolah bahan-bahan kayu, batu, logam dan tanah liat. Hal itu tampak dari gaya arsitektur rumah yang berelemen kayu dan bangunan candi yang berelemen batu. Bakat-bakat teknologi ini kemudian mereka padukan dengan pengetahuan dari Eropa-Belanda. Setelah terjadi proses akulturasi, mereka menghasilkan berbagai alat kelengkapan hidup seperti pakaian, arsitektur, dan alat-alat produksi bergaya Indis.

Gaya hidup masyarakat indis

Gaya hidup golongan masyarakat pendukung kebudayaan indis menunjukan perbedaan mencolok dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, terutama dengan kelompok masyarakat tradisiona jawa. Tujuh unsur universal kebudayaan indis, seperti halnya tujuh unsur universal yang dimiliki semua bangsa, mendapatkan bentuk yang berbeda dari akar budaya Belanda ataupun budaya pribumi Jawa. Sebagai golongan penguasa dan keturunan masyarakat yang mendukung dua akar kebudayaan yang berbeda, mereka berupaya untuk menunjukan kebesarannya yang berbeda pula dengan masyarakat kebanyakan. Kehidupan sosial dan ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan dengan kehidupan sosial masyarakat pribumi pada umumnya, memungkinkan mereka memiliki rumah tinggal berukuran besar yang bagus di dalam kompleks yang wilayahnya khusus pula, dalam hal ini, mereka mengacu pada lambang-lambang penguasa jawa dan kebesaran kekuasaan bangsa Eropa. selain itu mereka memulai kehidupan mewah dan boros akibat keberhasilan di bidang ekonomi melalui pengaruhnya sebagai anggota/bagian masyarakat indis. Dengan gaya hidup yang mewah itu mereka memepertahankan martabat dan kekuasaan koloninya. Kedudukan sebagai kelompok penguasa membuat masyarakat indis berupaya menjaga prestise dan kedudukanyaa melalui berbagai cara agar dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat lainnya. Kewibawaan, kekayaan dan kebesarannya ditampilkan agar tampak lebih mewah dan agung. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan kekuasaan mereka di nusantara.

Daur hidup dan gaya hidup mewah

Daur hidup (Life cycle) adalah suatu rangkaian dalam perkembangan kehidupan seseorang untuk kembali ke status aslinya dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Dalam membahas kemewahan gaya hidup masyarakat indis yang berhubungan dengan daur hidup ada tiga peristiwa penting dalam daur kehidupan manusia yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian.
Upacara kelahiran, kelahiran anggota baru dalam keluarga indis, lazim dirayakan dengan berbagai upacara. Sebelum melahirkan keluarga sufah menyiapkan baju Rajang unruk si bayi dan juga kelengkapan persalinan dan ruang tidur. Upacara penting setelah kelahirna adalah pemberian nama dan pembaptisan. Dari keseluruhan upacara-upacara untuk menyongsong kelahiran anak tidak terlalu banyak menelan biaya.
Upacara Pernikahan. Upacara Pernikahan memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan upacara kelahiran. Kemewahan upacara perkawinan ditentukan oleh kekayaan, tingkat jabatan, serta keberuntungan kedua calon pengantin dan orangtua pengantin
Upacara kematian. Upacara daur kehidupan yang terakhir adalah upacara kematian. Upacara kematian diselanggarakan dengan mewah dan menelan banyak biaya sangat besar. Misalnya untuk upacara kenatian oejabat VOC atau pemerintah Hindia Belanda memerlukan banyak pengerahan tenaga dan pemikiran berbagai pihak. Pengerahan dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari keluarga, rohaniawan, pejabat sipil, militer, sampai serdadu dan pemikul peti jenazah atau penggali kubur. Pada masa kejayaan VOC, upacara yang berhubungan dengan kematian seorang pejabat tinggi justru merupakan ajang pamer kemewahan, kebesaran dan kemegahan.

Kesimpulan

Kebudayaan indis adalah perpaduan antara budaya Belanda dan Indonesia (Jawa) yang mendapatkan bentuk yang berbeda dari akar budaya Belanda ataupun budaya pribumi Jawa. Hal ini disebabkan oleh karena pernikahan yang dilakukan oleh para lelaki Belanda kepada perempuan pribumi Jawa dan juga karena faktor pendidikan yang dapat diakses oleh beberapa/sebagian orang bangsa pribumi Jawa.
Masyarakat Indis tidak mau disamakan menjadi setingkat bangsa pribumi jawa yang lain namun karena mereka mempunyai akses untuk mengidentifikasi diri mereka menjadi warga eropa maka hal itu dimanfaatkan. Sehingga mereka dapat menduduki posisi setingkat diatas para pribumi jawa yang berarti juga mereka memiliki kekhususan dalam kehidupan sosial, ekonomi dibandingkan dengan masyarakat pribumi. Perlahan-lahan mereka mengadopsi budaya Belanda dan jawa, memadukan dua kebudayaan, mengambil yang bermanfaat dan yang berguna bagi kelangsungan masyarakat mereka dimulai dari cara berbahasa, peralatan perlengkapan hidup, mata pencaharian hidup dam sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi. Perubahan budaya ini diawali oleh proses berpikir oleh para keturunan atau masyarakat indis yang tidak mau status sosialnya disamakan atau disederajatkan dengan pribumi lain sehingga mereka terlihat berbeda dari barbagai aspek terhadap budaya bangsa Belanda dan pribumi jawa, seperti bentuk dan fungsi rumah, mata pencaharian, dan kesenian. Jadi diantara seluruh tatanan kebudayaan Belanda dan Kebudayaan Jawa terdapat kebudayaan Indis yang menarik masyarakatnya untuk berperilaku ke Belandaan dan tetap mengakar pada budaya pribumi jawa.
Dengan demikian kebudayaan Indis merupakan produk dari pengaruh kebudayaan barat sekaligus bagian dari kebudayaan modern Indonesia.

Saran


Dilihat dari satu sisi penjajahan/kolonialime yang dibuat bangsa Belanda di nusantara ini bersifat negatif, namun jika kita membuka cakrawala pikiran kita ternyata ada sisi positif yang terbawa dari bangsa Belanda kepada bangsa Indonesia, hal itu tercakup dalam terciptanya masyarakat Indis yang berpendidikan yang lebih menghargai nilai-nilai positif suatu budaya lain.

Daftar Pustaka

Soekiman, Djoko. 2011.Kebudayaan Indis dari zaman kompeni sampai revolusi. Jakarta : komunitas bambu.