Hal-hal yang Penting dalam Tahap Perkembangan Kepribadian
1. Infancy (masa kelahiran sampai usia 18 tahun)
Bayi merupakan manusia yang baru lahir sampai umur 1 tahun. Pada masa ini manusia sangat lucu dan menggemaskan tetapi juga rentan terhadap kematian. Kematian bayi dibagi menjadi 2 yaitu kematian neonatal (kematian di 27 hari pertama hidup) dan post neonatal (setelah 27 hari).
Daerah oral merupakan daerah utama dalam interaksi antara bayi dan lingkungannya. Segi lingkungan yang menonjol pada masa bayi adalah benda yang menyediakan makanan kepada bayi yang lapar, putting susu ibu atau dot dari botol
Ciri khas dari tahap infantile adalah :
a. Munculnya dinamisme apati dan pelepasan dan pelepasan diri dengan cara mengantuk.
b. Peralihan dari cara prototaksik ke parataksik.
c. Organisasi personifikasi-personifikasi seperti ibu yang baik, tenang, menerima dan memberi kepuasan.
d. Organisasi pengalaman melalui belajar dan munculnya dasar-dasar sistem diri.
e. Diferensiensi tubuh bayi sendiri sehingga bayi belajar memuaskan tegangannya terlepas dari ibu missal menghisap ibu jari.
f. Belajar melakukan gerakan-gerakan terkoordinasi yang melibatkan tangan dan mata, tangan dan mulut serta telinga dan suara.
2. Childhood (usia 18 bulan sampai 5 tahun)
Periode ini disebut juga usia prasekolah. Ciri khas perkembangan balita :
a. Pertambahan berat badan menurun, sebab balita menggunakan banyak energi untuk bergerak.Perkembangan fisik
b. Terjadi pembedaan diri dengan orang lain.Perkembangan psikologis
c. Semakin baiknya penguasaan terhadap tangan dan kakinya.Perkembangan psikomotor.
Cara belajar pada usia ini melalui bermain dan rangsangan dari lingkungannya terutama lingkungan rumah. Ada pula pendidikan di luar rumah yang terprogram dan terstruktur.
Contoh permainan yang bisa dilakukan :
a. Permainan peran untuk melatih kemampuan pemahaman sosial. Contoh dokter-dokteran.
b. Permainan imajinasi untuk melatih kemampuan kreativitas anak.
c. Permainan motorik untuk melatih kemampuan motorik kasar dan halus.
permainan palang, permainan keseimbanganMotorik kasar mewarnaiMotorik halus
3. Juvenile (usia 5-11 tahun)
Pada masa ini anak-anak mulai membandingkan segala sesuatu yang diterima di rumahnya dengan yang ia temui di luar. Norma-norma moral yang tadinya absolut di rumah kini menjadi relatif.
4. Preadolescence (antara 11-13 tahun)
Ditandai dengan masaknya organ-organ produksi sehingga secara fisik-biologis remaja siap untuk beranak pinak. Daya tarik heteroseksual menjadi lebih kuat.
Ciri-ciri utama pada periode ini adalah :
a. Tumbuh tanda-tanda seksual.
b. Tubuh mengalami pertumbuhan yang sangat cepat.
c. Perilaku ditandai dengan negativisme yaitu sering menyendiri, bosan dengan berbagai aktivitas, hidup seenaknya antagonistik.
5. Early Adolescence (Masa dewasa awal, antara 14-17 tahun)
Masa remaja adalah masa peralihan manusia dari anak-anak menuju dewasa. Remaja adalah idealis, ia memandang dunia seperti apa yang dia inginkan bukan sebagaimana adanya. Pada masa ini disebut juga periode pemantapan identitas diri, namun hal tersebut tidak selalu berjalan mulus, tetapi sering mengalami proses yang panjang dan bergejolak. Ciri-ciri perilaku yang menonjol terutama pada perilaku sosialnya.
6. Late Adolescence (Masa dewasa akhir antara 18-20 tahun)
Secara umum dapat disebut sebagai umur pemantapan diri terhadap pola hidup baru. Mulai serius belajar demi karir di masa yang akan datang, mulai memilih-milih pasangan yang lebih serius dan cita-citanya menjadi lebih realistis.
7. Adulthood (Masa dewasa)
Menggambarkan segala organisme yang telah matang. Seseorang dapat saja dewasa secara biologis, dan memiliki karakteristik perilaku dewasa, tetapi tetap diperlakukan sebagai anak kecil jika berada di bawah umur dewasa secara hukum. Sebaliknya, seseorang dapat secara legal dianggap dewasa, tetapi tidak memiliki kematangan dan tanggung jawab yang mencerminkan karakter dewasa. Dengan demikian kedewasaan dapat diartikan dari aspek biologi, hukum, karakter pribadi atau status sosial.
Daftar Pustaka
Mavis hetherington, E. Ross D. Parke. 1991. Child Psychology A cotemporary View Point. Boston : Mcgraw – Hill College.
Soemadi, S. Pengantar Psikologi Sosial 1. Jajasan Penerbit Fak. Psikologi, Yogyakarta, 1968.
www.wikipedia.com/sullivan . di akses pada : 26 November 2010.
www.edpsycinteractive.org/topics/intimacy/sullian.html . di akses pada : 26 November 2010.
Wednesday, December 28, 2011
Levels of Cognition - Harry Stack Sullivan
Levels of Cognition
Sullivan membagi kognisi menjadi tiga level atau model pengalaman: prototaxic, parataxic dan syntaxic. Level kognisi menunjukkan cara menerima, berimajinasi, dan mengarang. Pengalaman pada level protaxic tidak bisa dikomunikasikan. Pengalaman partaxic adalah personal, pralogikal, dan dikomunikasikan hanya dalam bentuk yang terdistorsi; dan kognisi syntaxic adalah komunikasi interpersonal yang berarti.
a) Prototaxic Level
Pengalaman yang paling awal dan primitif seorang bayi terjadi pada level protaxic. Karena pengalaman ini tidak bisa dikomunikasikan dengan orang lain, pengalaman ini sulit dijelaskan atau didefinisikan. Satu cara untuk mengerti isitilah ini adalah dengan membayangkan pengalaman subjektif dari seorang bayi yang baru lahir. Pengalaman ini harus, dengan suatu cara, berhubungan dengan beberapa zona yang berbeda pada tubuh. Seorang bayi yang baru lahir merasa lapar dan sakit, dan pengalaman prototaxic ini menghasilkan tindakan yang bisa dilihat, contohnya, menkemot dan menangis. Bayi tidak tahu alasan untuk tindakan ini dan tidak melihat hubungan tindakan ini dengan diberi makan. Sebagai pengalaman yang tidak terdeferensiasi, kejadian prototaxic melampaui daya ingat sadar.
Pada orang dewasa, pengalaman prototaxic mengambil bentuk dalam sensasi sementara, gambar-gambar, perasaan, mood, dan impression. Gambaran mimpi primitif ini dan kehidupan sadar secara redup dimengerti atau secara penuh tidak sadar. Walau orang tidak mampu mengkomunikasikan gambaran ini pada orang lain, mereka kadang bisa memberi tahu orang lain bahwa mereka baru saja mendapat sensasi yang aneh, yang tidak bisa mereka sampaikan dalam bentuk kata-kata.
b) Parataxic Level
Pengalaman parataxic adalah pralogis dan biasanya terjadi ketika seseorang menganggap hubungan relasi sebab-akibat antara dua kejadian yang terjadi secara bersamaan. Kognisi parataxic lebih terdifferensiasikan daripada pengalaman prototaxic, tapi artinya tetap privat. Maka dari itu, pengalaman ini hanya bisa dikomunikasikan dengan orang lain dalam bentuk yang terdistorsi.
Contoh pemikiran parataxic terjadi ketika seorang anak dikondisikan untuk mengatakan "please" ketika menerima permen. Kalau "permen" dan "please" terjadi bersama berkali-kali, si anak mungkin mencapai kesimpulan tidak logis bahwa ucapannya membuat permen muncul. Kesimpulan ini adalah parataxic distortion, atau sebuah kepercayaan tidak logis bahwa hubungan sebab-akibat terjadi antara dua kejadian dalam kedekatan waktu yang dekat. Tapi, mengatakan kata "please" tidak , dengan sendirinya, menyebabkan permen muncul. Seseorang yang mengeluarkan permen harus hadir yang mendengar kata itu dan mampu dan bisa memenuhi permintaan tersebut. Ketika tidak seorangpun muncul, seorang anak bisa meminta tuhan atau orang imajiner untuk memberikan permen. Perilaku dewasa yang baik datang dari pemikiran parataxic yang mirip.
c) Syntaxic Level
Pengalaman yang secara konsensus divalidasikan dan bisa dikomunikasikan terjadi pada level sintaktik. Pengalaman yang divalidasi secara konsensual adalah yang memiliki arti yang disetujui oleh dua orang atau lebih. Kata-kata, contohnya, secara konsensual divalidasi karena orang yang berbeda kurang lebih setuju dengan artinya. Simbol yang paling sering digunakan oleh seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain adalah yang berbentuk bahasa, termasuk kata-kata dan bahasa tubuh.
Sullivan menghipotesiskan bahwa kognisi syntaxic muncul ketika suara atau gesture mulai memiliki arti yang sama untuk orang tua seperti untuk anak. Level kognisi syntaxic menjadi lebih meluas sementara anak mulai membentuk bahasa formal, tapi tidak pernah secara penuh mengganti kognisi prototaxic dan parataxic. Pengalaman dewasa mengambil di ketiga level itu.
Tahapan Perkembangan Menurut Sullivan
Menurut Sullivan, kepribadian berkembang dalam tahap-tahap perkembangan tertentu. Ada tujuh tahapan perkembangan yaitu :
1. Infancy (masa kelahiran sampai mampu berbicara, usia 18 bulan)
2. Childhood (masa kanak-kanak, usia 18 bulan sampai 5 tahun)
3. Juvenile (usia 5-11 tahun)
4. Preadolescence (masa pradewasa, antara 11-13 tahun)
5. Early adolescence (masa dewasa awal, antara 14-17 tahun)
6. Late adolescence (masa dewasa akhir, antara 18-20 akhir)
7. Adulthood (masa dewasa / sebagai orang tua, setelah usia 20 sampai 30 tahun).
Daftar Pustaka
Mavis hetherington, E. Ross D. Parke. 1991. Child Psychology A cotemporary View Point. Boston : Mcgraw – Hill College.
Soemadi, S. Pengantar Psikologi Sosial 1. Jajasan Penerbit Fak. Psikologi, Yogyakarta, 1968.
www.wikipedia.com/sullivan . di akses pada : 26 November 2010.
www.edpsycinteractive.org/topics/intimacy/sullian.html . di akses pada : 26 November 2010.
Sullivan membagi kognisi menjadi tiga level atau model pengalaman: prototaxic, parataxic dan syntaxic. Level kognisi menunjukkan cara menerima, berimajinasi, dan mengarang. Pengalaman pada level protaxic tidak bisa dikomunikasikan. Pengalaman partaxic adalah personal, pralogikal, dan dikomunikasikan hanya dalam bentuk yang terdistorsi; dan kognisi syntaxic adalah komunikasi interpersonal yang berarti.
a) Prototaxic Level
Pengalaman yang paling awal dan primitif seorang bayi terjadi pada level protaxic. Karena pengalaman ini tidak bisa dikomunikasikan dengan orang lain, pengalaman ini sulit dijelaskan atau didefinisikan. Satu cara untuk mengerti isitilah ini adalah dengan membayangkan pengalaman subjektif dari seorang bayi yang baru lahir. Pengalaman ini harus, dengan suatu cara, berhubungan dengan beberapa zona yang berbeda pada tubuh. Seorang bayi yang baru lahir merasa lapar dan sakit, dan pengalaman prototaxic ini menghasilkan tindakan yang bisa dilihat, contohnya, menkemot dan menangis. Bayi tidak tahu alasan untuk tindakan ini dan tidak melihat hubungan tindakan ini dengan diberi makan. Sebagai pengalaman yang tidak terdeferensiasi, kejadian prototaxic melampaui daya ingat sadar.
Pada orang dewasa, pengalaman prototaxic mengambil bentuk dalam sensasi sementara, gambar-gambar, perasaan, mood, dan impression. Gambaran mimpi primitif ini dan kehidupan sadar secara redup dimengerti atau secara penuh tidak sadar. Walau orang tidak mampu mengkomunikasikan gambaran ini pada orang lain, mereka kadang bisa memberi tahu orang lain bahwa mereka baru saja mendapat sensasi yang aneh, yang tidak bisa mereka sampaikan dalam bentuk kata-kata.
b) Parataxic Level
Pengalaman parataxic adalah pralogis dan biasanya terjadi ketika seseorang menganggap hubungan relasi sebab-akibat antara dua kejadian yang terjadi secara bersamaan. Kognisi parataxic lebih terdifferensiasikan daripada pengalaman prototaxic, tapi artinya tetap privat. Maka dari itu, pengalaman ini hanya bisa dikomunikasikan dengan orang lain dalam bentuk yang terdistorsi.
Contoh pemikiran parataxic terjadi ketika seorang anak dikondisikan untuk mengatakan "please" ketika menerima permen. Kalau "permen" dan "please" terjadi bersama berkali-kali, si anak mungkin mencapai kesimpulan tidak logis bahwa ucapannya membuat permen muncul. Kesimpulan ini adalah parataxic distortion, atau sebuah kepercayaan tidak logis bahwa hubungan sebab-akibat terjadi antara dua kejadian dalam kedekatan waktu yang dekat. Tapi, mengatakan kata "please" tidak , dengan sendirinya, menyebabkan permen muncul. Seseorang yang mengeluarkan permen harus hadir yang mendengar kata itu dan mampu dan bisa memenuhi permintaan tersebut. Ketika tidak seorangpun muncul, seorang anak bisa meminta tuhan atau orang imajiner untuk memberikan permen. Perilaku dewasa yang baik datang dari pemikiran parataxic yang mirip.
c) Syntaxic Level
Pengalaman yang secara konsensus divalidasikan dan bisa dikomunikasikan terjadi pada level sintaktik. Pengalaman yang divalidasi secara konsensual adalah yang memiliki arti yang disetujui oleh dua orang atau lebih. Kata-kata, contohnya, secara konsensual divalidasi karena orang yang berbeda kurang lebih setuju dengan artinya. Simbol yang paling sering digunakan oleh seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain adalah yang berbentuk bahasa, termasuk kata-kata dan bahasa tubuh.
Sullivan menghipotesiskan bahwa kognisi syntaxic muncul ketika suara atau gesture mulai memiliki arti yang sama untuk orang tua seperti untuk anak. Level kognisi syntaxic menjadi lebih meluas sementara anak mulai membentuk bahasa formal, tapi tidak pernah secara penuh mengganti kognisi prototaxic dan parataxic. Pengalaman dewasa mengambil di ketiga level itu.
Tahapan Perkembangan Menurut Sullivan
Menurut Sullivan, kepribadian berkembang dalam tahap-tahap perkembangan tertentu. Ada tujuh tahapan perkembangan yaitu :
1. Infancy (masa kelahiran sampai mampu berbicara, usia 18 bulan)
2. Childhood (masa kanak-kanak, usia 18 bulan sampai 5 tahun)
3. Juvenile (usia 5-11 tahun)
4. Preadolescence (masa pradewasa, antara 11-13 tahun)
5. Early adolescence (masa dewasa awal, antara 14-17 tahun)
6. Late adolescence (masa dewasa akhir, antara 18-20 akhir)
7. Adulthood (masa dewasa / sebagai orang tua, setelah usia 20 sampai 30 tahun).
Daftar Pustaka
Mavis hetherington, E. Ross D. Parke. 1991. Child Psychology A cotemporary View Point. Boston : Mcgraw – Hill College.
Soemadi, S. Pengantar Psikologi Sosial 1. Jajasan Penerbit Fak. Psikologi, Yogyakarta, 1968.
www.wikipedia.com/sullivan . di akses pada : 26 November 2010.
www.edpsycinteractive.org/topics/intimacy/sullian.html . di akses pada : 26 November 2010.
Personifications - Harry Stack Sullivan
Personifications
Pada awal infancy dan berlanjut pada tahap perkembangan lainnya, orang memiliki berbagai gambaran akan diri mereka dan lainnya. Gambaran ini, disebut personifikasi, mungkin cukup akurat, atau karena diwarnai oleh kebutuhan dan anxiety orang, personifikasi ini mungkin sangat terdistorsi. Sullivan (1953b) mendeskripsika tiga personifikasi dasar yang berkembang pada masa bayi - bad-mother, good mother, dan me. Selain itu beberapa anak mendapat personifikasi iedetik (teman bermain imajiner) pada masa kecilnya.
a) Bad-Mother, Good-Mother
Setelah personifikasi bad-mother terbentuk, seorang bayi akan mencapat personifikasi good-mother berdasarkan perilaku sayang dan kooperatif dari the mothering one. Kedua personifikasi ini, satu berdasarkan persepsi bayi akan ibu yang anxious dan malevolent dan yang satu lagi berdasarkan ibu yang tenang, sayang, bergabung untuk membentuk personifikasi kompleks yang terdiri dari kualitas yang berkontras yang terprojeksi pada seorang yang sama. Hingga si anak mengembangkan bahasa, kedua gambaran ibu ini bisa saling koeksis.
b) Me Personifications
Pada tahap midinfancy, seorang anak mendapat tiga personifikasi me (bad-me, good-me, dan not-me) yang membentuk bahan bangunan dari self personification. Masing-masing terkait dengan konsep aku dan tubuhku yang berevolusi. Personifikasi bad-me dibentuk pada konsepsi yang berevolusi tentang aku atau tubuhku. Personifikasi bad-me dibentuk dari pengalaman hukuman dan ketidak setuuan dari bayi yang menerima dari mothering one mereka. Anxiety yang dihasilkan cukup kuat untuk mengajar bayi bahwa mereka nakal, tapi tidak cukup parah untuk menyebabkan pengalaman tersebut tersebut didisosiasikan atau selectively inattended. Seperti personifikasi lainnya, bad-me dibentuk dari situasi interpersonal. Yaitu, bayi bisa belajar bahwa mereka nakal dari orang lain, biasanya dari bad-mother.
Personifikasi good-me menghasilkan pengalaman bayi dengan penghargaan dan persetujuan. Bayi merasa baik tentang diri mereka sendiri ketika mereka menerima ekspresi tenderness dari ibu mereka. Pengalaman seperti ini mengurangi anxiety dan memupuk personifikasi good-me. Anxiety yang demikian parah, mungkin menyebabkan bayi untuk membentuk personifikasi not-me dan mendisosiasikan atau selectively inattend pengalaman yang berhubungan dengan anxiety tersebut. Seorang bayi menoak pengalaman tersebut terhadap image me sehingga mereka menjadi bagian dari personifikasi not-me. Personifikasi bayangan not-me ini juga ditemukan oleh banyak orang dewasa dan diekspresikan dalam mimpi, episode schizophrenic dan reaksi disosiasi lainnya. Sullivan percaya bahwa pengalaman mimpi buruk ini selalu diawali dengan peringatan. Ketika orang dewasa diserang oleh anxiety yang mendadak dan kuat, mereka menjadi terkuasai oleh uncanny emotion. Walau pengalaman ini menghalangi seseorang dalam relasi interpersonal mereka, hal ini berlaku sebagai signal yang berharga dalam mendekati reaksi schizophrenic. uncanny emotion mungkin dialami dalam mimpi atau mengambil bentuk rasa kagum, horor, jijik atau rasa "merinding" (Sullivan, 1953b).
c) Eidetic personifications
Tidak semua relasi interpersonal adalah dengan orang yang nyata; beberapa relasi dijalin dengan iedetic personifications: Yaitu perilaku realistik atau teman imajiner yang diciptakan oleh banyak anak demi melindungi rasa percaya diri mereka. Sullivan (1964) percaya bahwa teman imajiner ini mungkin signifikan untuk perkembangan anak sebagai teman bermain yang nyata.
Personifikasi Eidetic, tidak terbatas pada anak-anak; banyak orang dewasa melihat sifat fiktif dengan orang lain. Personifikasi Eidetic bisa menciptakan kolflik dalam relasi interpersonal ketika seseorang memproyeksikan pada orang lain sifat imajiner yang merupakan sisa-sisa dari relasi sebelumnya. Eidetic personifications juga menghalangi komunikasi dan menghalangi orang-orang dari berfungsi pada level kognisi yang sama.
Daftar Pustaka
Mavis hetherington, E. Ross D. Parke. 1991. Child Psychology A cotemporary View Point. Boston : Mcgraw – Hill College.
Soemadi, S. Pengantar Psikologi Sosial 1. Jajasan Penerbit Fak. Psikologi, Yogyakarta, 1968.
www.wikipedia.com/sullivan . di akses pada : 26 November 2010.
www.edpsycinteractive.org/topics/intimacy/sullian.html . di akses pada : 26 November 2010.
GAMBAR :
theglaringfacts.com
Pada awal infancy dan berlanjut pada tahap perkembangan lainnya, orang memiliki berbagai gambaran akan diri mereka dan lainnya. Gambaran ini, disebut personifikasi, mungkin cukup akurat, atau karena diwarnai oleh kebutuhan dan anxiety orang, personifikasi ini mungkin sangat terdistorsi. Sullivan (1953b) mendeskripsika tiga personifikasi dasar yang berkembang pada masa bayi - bad-mother, good mother, dan me. Selain itu beberapa anak mendapat personifikasi iedetik (teman bermain imajiner) pada masa kecilnya.
a) Bad-Mother, Good-Mother
Setelah personifikasi bad-mother terbentuk, seorang bayi akan mencapat personifikasi good-mother berdasarkan perilaku sayang dan kooperatif dari the mothering one. Kedua personifikasi ini, satu berdasarkan persepsi bayi akan ibu yang anxious dan malevolent dan yang satu lagi berdasarkan ibu yang tenang, sayang, bergabung untuk membentuk personifikasi kompleks yang terdiri dari kualitas yang berkontras yang terprojeksi pada seorang yang sama. Hingga si anak mengembangkan bahasa, kedua gambaran ibu ini bisa saling koeksis.
b) Me Personifications
Pada tahap midinfancy, seorang anak mendapat tiga personifikasi me (bad-me, good-me, dan not-me) yang membentuk bahan bangunan dari self personification. Masing-masing terkait dengan konsep aku dan tubuhku yang berevolusi. Personifikasi bad-me dibentuk pada konsepsi yang berevolusi tentang aku atau tubuhku. Personifikasi bad-me dibentuk dari pengalaman hukuman dan ketidak setuuan dari bayi yang menerima dari mothering one mereka. Anxiety yang dihasilkan cukup kuat untuk mengajar bayi bahwa mereka nakal, tapi tidak cukup parah untuk menyebabkan pengalaman tersebut tersebut didisosiasikan atau selectively inattended. Seperti personifikasi lainnya, bad-me dibentuk dari situasi interpersonal. Yaitu, bayi bisa belajar bahwa mereka nakal dari orang lain, biasanya dari bad-mother.
Personifikasi good-me menghasilkan pengalaman bayi dengan penghargaan dan persetujuan. Bayi merasa baik tentang diri mereka sendiri ketika mereka menerima ekspresi tenderness dari ibu mereka. Pengalaman seperti ini mengurangi anxiety dan memupuk personifikasi good-me. Anxiety yang demikian parah, mungkin menyebabkan bayi untuk membentuk personifikasi not-me dan mendisosiasikan atau selectively inattend pengalaman yang berhubungan dengan anxiety tersebut. Seorang bayi menoak pengalaman tersebut terhadap image me sehingga mereka menjadi bagian dari personifikasi not-me. Personifikasi bayangan not-me ini juga ditemukan oleh banyak orang dewasa dan diekspresikan dalam mimpi, episode schizophrenic dan reaksi disosiasi lainnya. Sullivan percaya bahwa pengalaman mimpi buruk ini selalu diawali dengan peringatan. Ketika orang dewasa diserang oleh anxiety yang mendadak dan kuat, mereka menjadi terkuasai oleh uncanny emotion. Walau pengalaman ini menghalangi seseorang dalam relasi interpersonal mereka, hal ini berlaku sebagai signal yang berharga dalam mendekati reaksi schizophrenic. uncanny emotion mungkin dialami dalam mimpi atau mengambil bentuk rasa kagum, horor, jijik atau rasa "merinding" (Sullivan, 1953b).
c) Eidetic personifications
Tidak semua relasi interpersonal adalah dengan orang yang nyata; beberapa relasi dijalin dengan iedetic personifications: Yaitu perilaku realistik atau teman imajiner yang diciptakan oleh banyak anak demi melindungi rasa percaya diri mereka. Sullivan (1964) percaya bahwa teman imajiner ini mungkin signifikan untuk perkembangan anak sebagai teman bermain yang nyata.
Personifikasi Eidetic, tidak terbatas pada anak-anak; banyak orang dewasa melihat sifat fiktif dengan orang lain. Personifikasi Eidetic bisa menciptakan kolflik dalam relasi interpersonal ketika seseorang memproyeksikan pada orang lain sifat imajiner yang merupakan sisa-sisa dari relasi sebelumnya. Eidetic personifications juga menghalangi komunikasi dan menghalangi orang-orang dari berfungsi pada level kognisi yang sama.
Daftar Pustaka
Mavis hetherington, E. Ross D. Parke. 1991. Child Psychology A cotemporary View Point. Boston : Mcgraw – Hill College.
Soemadi, S. Pengantar Psikologi Sosial 1. Jajasan Penerbit Fak. Psikologi, Yogyakarta, 1968.
www.wikipedia.com/sullivan . di akses pada : 26 November 2010.
www.edpsycinteractive.org/topics/intimacy/sullian.html . di akses pada : 26 November 2010.
GAMBAR :
theglaringfacts.com
Teori Energy Transformations Dan Dynamisms Harry Stack Sullivan
Energy transformations
Tension yang dirubah menjadi tindakan, apakah overt ataupun covert, disebut transformasi energi. Ini adalah istilah yang rancu yang mengacu pada perilaku kita yang diarahkan pada pemenuhan need dan mengurangi anxiety - dua tension utama. Tidak semua transformasi energi adalah tindakan yang jelas dan overt; banyak mengambil bentuk emosi, pikiran atau perilaku covert yang bisa disembunyikan dari orang lain.
Dynamisms
Transformasi energi menjadi terorganisir sebagai pola perilaku tipikal yang mengkarakteristikan seorang sepanjang hidupnya. Sullivan (1953b) menyebut perilaku ini sebagai dynamism, sebuah istilah yang berarti sama dengan sifat atau pola kebiasaan. Dynamism memiliki dua kelas utama: pertama, yang berhubungan dengan zona spesifik dalam tubuh, termasuk mulut, anus, dan alat kelamin; dan kedua, yang berhubungan dengan tension. Kelas kedua ini terdiri dari tiga kategori - Disjunctive, Isolating, Conjunctive. Dinamisme disjungtif mencakup pola perilaku yang destruktif yang berhubungan dengan konsep malevolence; Dynamisme isolating mencakup pola perilaku (seperti nafsu) yang tidak berhubungan dengan relasi interpersonal; dan dinamisme konjunctive mencakup pola perilaku yag menguntungkan, seperti keintiman dan self-system.
a) Malevolence
Malevolence adalah dinamisme disjunktif tentang kejahatan dan kebencian, yang dikarakterisasikan oleh perasaan dari hidup diantara musuh seseorang. (Sullivan, 1953b). Malevolence berawal pada umur 2 atau 3 tahun ketika tindakan anak yang pada walanya membawa tenderness maternal dihilangkan, dihiraukan atau mendapat respon anxiety dan sakit. Ketika orang tua berupaya untuk mengendalikan perilaku anak mereka dengan memberikan rasa sakit fisik atau perkataaan yang menghentikan perilaku tersebut, beberapa anak akan belajar untuk menahan ekspresi akan kebutuhan tendernes dan melindungi diri dengan mangadopsi perilaku malevolent. Orang tua dan rekan sebaya kemudian menemukan bahwa akan lebih sulit untuk bereaksi dengan tenderness, yang akhirnya mensolidifikasi perilaku negatif si anak terhadap dunia.
Perilaku malevolent sering kali mengambil bentuk minder, mencari masalah, kekejaman atau perilaku asosial atau antisosial lainnya. Sullivan mengekspresikan perilaku malevolent dengan pernyataan ini: "Pada suatu waktu semuanya indah, tapi itu sebelum aku harus berurusan dengan orang lain." (p. 216)
b) Intimacy
Intimacy tumbuh dari kebutuhan untuk tenderness tapi lebih spesifik dan melibatkan hubuntan interpersonal yang dekat antara dua orang yang lebih atau kurang memiliki status yang sama. intimasi tidak boleh dibingungkan dengan ketertarikan seksual. Bahkan intimacy berkembang sebelum pubertas, secara ideal pada masa preadolescence ketika intimacy biasanya ada antara dua anak, yang masing-masing saling memandang satu sama lain dengan nilai yang sama. Karena intimacy adalah dinamisme yang membutuhkan partnership yang seimbang, intimacy tidak biasanya eksis dalam relasi orang tua-anak kecuali keduanya sama-sama dewasa dan memandang satu sama lain sebagai individu yang sebanding.
Intimacy adalah dinamisme yang mengintegrasikan yang biasanya menarik keluar reaksi saling mengasihi dari pihak yang lain, sehingga mengurangi anxiety dan kesepian, dua pengalaman yang sangat menyakitkan. Karena intimacy membantu menghindari anxiety dan kesepian, intimacy adalah pengalaman yang rewarding yang diinginkan oleh kebanyakan orang yang sehat. (Sullivan, 1953b).
c) Lust
Di pihak lain, lust adalah tendensi yang mengisolasi, tidak membutuhkan orang lain untuk memuaskan lust. Lust memanifestasikan diri sebagai perilaku autoerotik bahkan ketika orang lain menjadi objek lust seseorang. Lust adalah dinamisme yang sangat kuat pada masa adolescence, dimana pada masa itu, lust sering mengarah pada pengurangan rasa percaya-diri. Upaya akan aktivitas yang bernafsu sering ditolak oleh orang lain, yang meningkatkan anxiety dan mengurangi perasaan harga diri. Bahkan, lust sering kali menghindari relasi intim, terutama ketika masa adolescence awal ketika lust sering kali disalah artikan dengan ketertarikan seksual.
d) Self-System
Yang paling kompleks dan inklusif dari semua dinamisme adalah self-system, sebuah pola perilaku yang konsisten yang mempertahankan keamanan interpersonal seseorang dengan melindungi mereka dari anxiety. Seperti intimacy, self-system adalah dinamisme yang konjungtif yang timbul dari situasi interpersonal. Tapi, hal tersebut berkembang lebih awal dari intimasi, pada sekitar umur 12 hingga 18 bulan. Semasa anak mengembangkan intelejen dan foresight, mereka menjadi bisa mempelajari perilaku mana yang berhubungan dengan peningkatan atau penuruan anxiety. Kemampuan untuk mendeteksi peningkatan atau penurunan anxiety ini menyediakan self-system dengan sebuah alat peringatan.
Peringatan ini, namun, adalah buah simalakama. Di satu pihak, peringatan ini berlaku sebagai sinyal, yang memperingati seseorang terhadap tingkat anxiety yang meningkat dan memberikan kesempatan pada mereka untuk melindungi diri. Di pihak lain, keinginan untuk perlindungan terhadap anxiety membuat self-system bebal terhadap perubahan dan menghalangi orang dari menarik keuntungan dari pengalaman yang memenuhi diri mereka dengan anxiety. Karena tugas utama self-system adalah untuk melindungi orang terhadap anxiety, hal ini adalah "batu sandungan utama terhadap perubahan yang menguntungkan dalam kepribadian" (Sullivan, 1953b, p.169). Namun, Sullivan (1964) percaya bahwa kepribadian tidaklah statik dan pada dasarnya terbuka terhadap perubahan pada awal berbagai tahap perkembangan.
Selama self-system berkembang, orang-orang mulai membentuk gambaran yang konsisten tentang diri mereka. Kemudian, pengalaman interpersonal apapun yang dianggap berlawanan terhadap self-regard mereka mengancam keamanan mereka. Sebagai akibatnya, orang berupaya untuk melindungi diri mereka dari tension antipersonal dengan cara security operations, yang bertujuan untuk mengurangi perasaan tidak aman atau anxiety yang muncul dari rasa percaya diri yang terancam. Orang-orang kadang menolak atau memanipulasi pengalaman interpersonal yang berlawanan dengan self-regard mereka. Contohnya, ketika orang-orang yang menganggap dirinya tinggi disebut inkompeten, mereka bisa memilih untuk menganggap orang yang menghina mereka adalah bodoh, atau, mungkin hanya bercanda. Sullivan (1953b) menyebut security operations sebagai "rem yang kuat akan kemajuan pribadi dan manusia." (p. 374)
Dua security operations yang penting adalah dissociation dan selective inattention.
Dissociation mencakup impuls, keinginan dan need yang oleh seseorang tidak diijinkan untuk muncul ke kesadaran mereka. Beberapa pengalaman pada masa bayi menjadi terdisosiasikan ketika perilaku seorang bayi tidak dihargai atau dihukum, maka pengalaman tersebut tidak menjadi bagian dari self-system. Pengalaman dewasa pun terlalu asing pada standar perilaku seseorang bisa menjadi terdisosiasikan. Pengalaman ini tidak berhenti eksis tapi terus mempengaruhi kepribadian pada tahap yang tidak sadar. Gambaran terdisosiasikan memanifestasikan diri dalam mimpi, angan-angan dan aktivitas tidak sengaja lainnya diluar kesadaran dan diarahkan pada mempertahankan keamanan interpersonal. (Sullivan, 1953b)
Pengendalian focal awareness, disebut selective inattention, adalah penolakan untuk melihat hal-hal yang tidak ingin kita lihat. Hal tersebut berbeda dari disosiasi dalam tingkatan dan asal muasalnya. Pengalaman yang tidak dihadiri secara selektif lebih aksesibel pada kesadaran dan lebih terbatas dalam cakupannya. Pengalaman tersebut berawal setelah kita mendirikan self-system dan dipacu oleh upaya kita untuk menghentikan pengalaman yang tidak konsisten dengan self-esteem kita yang ada. Contohnya, orang yang menganggap dirinya sebagai pengemudi yang sangat taat hukum mungkin "Lupa" bahwa mereka kadang melewati batas kecepatan atau pada saat tertentu mereka tidak berhenti secara total pada tanda stop. Seperti dissociated experience, selectively inattendet perceptions tetap aktif walaupun mereka tidak sadar secara penuh. Hal ini sangatlah penting dalam menentukan elemen mana dari sebuah pengalaman yang akan dihadiri dan yang mana akan dihiraukan atau ditolak (Sullivan, 1953b)
Daftar Pustaka
Mavis hetherington, E. Ross D. Parke. 1991. Child Psychology A cotemporary View Point. Boston : Mcgraw – Hill College.
Soemadi, S. Pengantar Psikologi Sosial 1. Jajasan Penerbit Fak. Psikologi, Yogyakarta, 1968.
www.wikipedia.com/sullivan . di akses pada : 26 November 2010.
www.edpsycinteractive.org/topics/intimacy/sullian.html . di akses pada : 26 November 2010.
Tension yang dirubah menjadi tindakan, apakah overt ataupun covert, disebut transformasi energi. Ini adalah istilah yang rancu yang mengacu pada perilaku kita yang diarahkan pada pemenuhan need dan mengurangi anxiety - dua tension utama. Tidak semua transformasi energi adalah tindakan yang jelas dan overt; banyak mengambil bentuk emosi, pikiran atau perilaku covert yang bisa disembunyikan dari orang lain.
Dynamisms
Transformasi energi menjadi terorganisir sebagai pola perilaku tipikal yang mengkarakteristikan seorang sepanjang hidupnya. Sullivan (1953b) menyebut perilaku ini sebagai dynamism, sebuah istilah yang berarti sama dengan sifat atau pola kebiasaan. Dynamism memiliki dua kelas utama: pertama, yang berhubungan dengan zona spesifik dalam tubuh, termasuk mulut, anus, dan alat kelamin; dan kedua, yang berhubungan dengan tension. Kelas kedua ini terdiri dari tiga kategori - Disjunctive, Isolating, Conjunctive. Dinamisme disjungtif mencakup pola perilaku yang destruktif yang berhubungan dengan konsep malevolence; Dynamisme isolating mencakup pola perilaku (seperti nafsu) yang tidak berhubungan dengan relasi interpersonal; dan dinamisme konjunctive mencakup pola perilaku yag menguntungkan, seperti keintiman dan self-system.
a) Malevolence
Malevolence adalah dinamisme disjunktif tentang kejahatan dan kebencian, yang dikarakterisasikan oleh perasaan dari hidup diantara musuh seseorang. (Sullivan, 1953b). Malevolence berawal pada umur 2 atau 3 tahun ketika tindakan anak yang pada walanya membawa tenderness maternal dihilangkan, dihiraukan atau mendapat respon anxiety dan sakit. Ketika orang tua berupaya untuk mengendalikan perilaku anak mereka dengan memberikan rasa sakit fisik atau perkataaan yang menghentikan perilaku tersebut, beberapa anak akan belajar untuk menahan ekspresi akan kebutuhan tendernes dan melindungi diri dengan mangadopsi perilaku malevolent. Orang tua dan rekan sebaya kemudian menemukan bahwa akan lebih sulit untuk bereaksi dengan tenderness, yang akhirnya mensolidifikasi perilaku negatif si anak terhadap dunia.
Perilaku malevolent sering kali mengambil bentuk minder, mencari masalah, kekejaman atau perilaku asosial atau antisosial lainnya. Sullivan mengekspresikan perilaku malevolent dengan pernyataan ini: "Pada suatu waktu semuanya indah, tapi itu sebelum aku harus berurusan dengan orang lain." (p. 216)
b) Intimacy
Intimacy tumbuh dari kebutuhan untuk tenderness tapi lebih spesifik dan melibatkan hubuntan interpersonal yang dekat antara dua orang yang lebih atau kurang memiliki status yang sama. intimasi tidak boleh dibingungkan dengan ketertarikan seksual. Bahkan intimacy berkembang sebelum pubertas, secara ideal pada masa preadolescence ketika intimacy biasanya ada antara dua anak, yang masing-masing saling memandang satu sama lain dengan nilai yang sama. Karena intimacy adalah dinamisme yang membutuhkan partnership yang seimbang, intimacy tidak biasanya eksis dalam relasi orang tua-anak kecuali keduanya sama-sama dewasa dan memandang satu sama lain sebagai individu yang sebanding.
Intimacy adalah dinamisme yang mengintegrasikan yang biasanya menarik keluar reaksi saling mengasihi dari pihak yang lain, sehingga mengurangi anxiety dan kesepian, dua pengalaman yang sangat menyakitkan. Karena intimacy membantu menghindari anxiety dan kesepian, intimacy adalah pengalaman yang rewarding yang diinginkan oleh kebanyakan orang yang sehat. (Sullivan, 1953b).
c) Lust
Di pihak lain, lust adalah tendensi yang mengisolasi, tidak membutuhkan orang lain untuk memuaskan lust. Lust memanifestasikan diri sebagai perilaku autoerotik bahkan ketika orang lain menjadi objek lust seseorang. Lust adalah dinamisme yang sangat kuat pada masa adolescence, dimana pada masa itu, lust sering mengarah pada pengurangan rasa percaya-diri. Upaya akan aktivitas yang bernafsu sering ditolak oleh orang lain, yang meningkatkan anxiety dan mengurangi perasaan harga diri. Bahkan, lust sering kali menghindari relasi intim, terutama ketika masa adolescence awal ketika lust sering kali disalah artikan dengan ketertarikan seksual.
d) Self-System
Yang paling kompleks dan inklusif dari semua dinamisme adalah self-system, sebuah pola perilaku yang konsisten yang mempertahankan keamanan interpersonal seseorang dengan melindungi mereka dari anxiety. Seperti intimacy, self-system adalah dinamisme yang konjungtif yang timbul dari situasi interpersonal. Tapi, hal tersebut berkembang lebih awal dari intimasi, pada sekitar umur 12 hingga 18 bulan. Semasa anak mengembangkan intelejen dan foresight, mereka menjadi bisa mempelajari perilaku mana yang berhubungan dengan peningkatan atau penuruan anxiety. Kemampuan untuk mendeteksi peningkatan atau penurunan anxiety ini menyediakan self-system dengan sebuah alat peringatan.
Peringatan ini, namun, adalah buah simalakama. Di satu pihak, peringatan ini berlaku sebagai sinyal, yang memperingati seseorang terhadap tingkat anxiety yang meningkat dan memberikan kesempatan pada mereka untuk melindungi diri. Di pihak lain, keinginan untuk perlindungan terhadap anxiety membuat self-system bebal terhadap perubahan dan menghalangi orang dari menarik keuntungan dari pengalaman yang memenuhi diri mereka dengan anxiety. Karena tugas utama self-system adalah untuk melindungi orang terhadap anxiety, hal ini adalah "batu sandungan utama terhadap perubahan yang menguntungkan dalam kepribadian" (Sullivan, 1953b, p.169). Namun, Sullivan (1964) percaya bahwa kepribadian tidaklah statik dan pada dasarnya terbuka terhadap perubahan pada awal berbagai tahap perkembangan.
Selama self-system berkembang, orang-orang mulai membentuk gambaran yang konsisten tentang diri mereka. Kemudian, pengalaman interpersonal apapun yang dianggap berlawanan terhadap self-regard mereka mengancam keamanan mereka. Sebagai akibatnya, orang berupaya untuk melindungi diri mereka dari tension antipersonal dengan cara security operations, yang bertujuan untuk mengurangi perasaan tidak aman atau anxiety yang muncul dari rasa percaya diri yang terancam. Orang-orang kadang menolak atau memanipulasi pengalaman interpersonal yang berlawanan dengan self-regard mereka. Contohnya, ketika orang-orang yang menganggap dirinya tinggi disebut inkompeten, mereka bisa memilih untuk menganggap orang yang menghina mereka adalah bodoh, atau, mungkin hanya bercanda. Sullivan (1953b) menyebut security operations sebagai "rem yang kuat akan kemajuan pribadi dan manusia." (p. 374)
Dua security operations yang penting adalah dissociation dan selective inattention.
Dissociation mencakup impuls, keinginan dan need yang oleh seseorang tidak diijinkan untuk muncul ke kesadaran mereka. Beberapa pengalaman pada masa bayi menjadi terdisosiasikan ketika perilaku seorang bayi tidak dihargai atau dihukum, maka pengalaman tersebut tidak menjadi bagian dari self-system. Pengalaman dewasa pun terlalu asing pada standar perilaku seseorang bisa menjadi terdisosiasikan. Pengalaman ini tidak berhenti eksis tapi terus mempengaruhi kepribadian pada tahap yang tidak sadar. Gambaran terdisosiasikan memanifestasikan diri dalam mimpi, angan-angan dan aktivitas tidak sengaja lainnya diluar kesadaran dan diarahkan pada mempertahankan keamanan interpersonal. (Sullivan, 1953b)
Pengendalian focal awareness, disebut selective inattention, adalah penolakan untuk melihat hal-hal yang tidak ingin kita lihat. Hal tersebut berbeda dari disosiasi dalam tingkatan dan asal muasalnya. Pengalaman yang tidak dihadiri secara selektif lebih aksesibel pada kesadaran dan lebih terbatas dalam cakupannya. Pengalaman tersebut berawal setelah kita mendirikan self-system dan dipacu oleh upaya kita untuk menghentikan pengalaman yang tidak konsisten dengan self-esteem kita yang ada. Contohnya, orang yang menganggap dirinya sebagai pengemudi yang sangat taat hukum mungkin "Lupa" bahwa mereka kadang melewati batas kecepatan atau pada saat tertentu mereka tidak berhenti secara total pada tanda stop. Seperti dissociated experience, selectively inattendet perceptions tetap aktif walaupun mereka tidak sadar secara penuh. Hal ini sangatlah penting dalam menentukan elemen mana dari sebuah pengalaman yang akan dihadiri dan yang mana akan dihiraukan atau ditolak (Sullivan, 1953b)
Daftar Pustaka
Mavis hetherington, E. Ross D. Parke. 1991. Child Psychology A cotemporary View Point. Boston : Mcgraw – Hill College.
Soemadi, S. Pengantar Psikologi Sosial 1. Jajasan Penerbit Fak. Psikologi, Yogyakarta, 1968.
www.wikipedia.com/sullivan . di akses pada : 26 November 2010.
www.edpsycinteractive.org/topics/intimacy/sullian.html . di akses pada : 26 November 2010.
TEORI TENSIONS Harry Stack Sullivan
Tensions
Seperti Freud dan Jung, Sullivan (1953b) melihat kepribadian sebagai sistem energi. Energi bisa eksis sebagai Tension (secara potensial sebagai tindakan) atau sebagai tindakan itu sendiri (Energy Transformation). Energy Transformation merubah tension menjadi perilaku covert atau overt dan bertujuan memuaskan kebutuhan dan mengurangi anxiety. Tension adalah potensialitas untuk action yang mungkin atau tidak mungkin dialami dalam kesadaran. maka, tidak semua tension dirasakan secara sadar. Banyak tension, seperti anxiety, premonitions, drowsiness, kelaparan dan sexual excitement adalah setidaknya distorsi parsial dari kenyataan. Sullivan mengenali dua macam tension: need dan anxiety. Need biasanya adalah hasil dari action yang produktif, dimana anxiety mengarah ke perilaku nonproduktif atau disintegratif.
a) Needs
Need adalah tension yang dibawa oleh ketidakseimbangan biologikal antara seseorang dan lingkungan physiochemical, di dalam dan diluar organisme. Kebutuhan adalah episodik - begitu dipuaskan, mereka secara sementara kehilangan kekuatan, tapi setelah beberapa waktu, mungkin muncul lagi. Walau kebutuhan-kebutuhan ini awalnya memiliki komponen biologis, banyak yang berawal dari situasi interpersonal.
Interpersonal need paling dasar adalah tenderness. Seorang bayi mengembangkan kebutuhan untuk menerima tenderness dari perawat utamanya (disebut oleh Sullivan sebagai "the mothering one"). Tidak seperti beberapa kebutuhan lainnya, tenderness membutuhkan tindakan dari setidaknya dua orang. Contohnya, kebutuhan seorang bayi untuk menerima tenderness mungkin diekspresikan sebagai tangisan, senyuman, atau coo, dimana kebutuhan sang ibu untuk memberikan tenderness mungkin dirubah menjadi sentuhan, fondling, atau holding. Dalam contoh ini, kebutuhan untuk tenderness dipenuhi melalui penggunaan mulut bayi dan tangan ibunya.
Tenderness adalah general need karena berhubungan dengan kebaikan hidup seseorang. General need, yang mungkin mencakup oksigen, makanan dan air, berlawanan dengan zonal needs, yang muncul dari area tertentu dalam tubuh. Beberapa area dalam tubuh sangatlah instrumental untuk memuaskan general need dan zonal need. Contohnya, mulut memuaskan general need dengan mengkonsumsi makanan dan oksigen tapi juga memenuhi zonal need untuk aktivitas oral. juga, tangan mungkin dipakai untuk memenuhi general need untuk tenderness, tapi bisa juga digunakan untuk memenuhi zonal need untuk aktivitas manual. juga, zona tubuh lainnya, seperti anus dan alat kelamin, bia dipakai untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut.
Pada awal kehidupan, berbagai zona dalam tubuh mulai memiliki peran yang signifikan dan berkesinambungan dalam relasi interpersonal. Sambil memenuhi kebutuhan untuk makanan, air dan lainnya, seorang bayi mengeluarkan lebih banyak energi dari yang diperlukan, dan kelebihan energi ini dirubah menjadi model karakteristik perilaku yang konsisten, yang disebut dynamism oleh Sullivan.
b) Anxiety
Jenis kedua dari Tension, Anxiety, berbeda dari tension need dalam arti bahwa anxiety adalah disjunctive, lebih diffuse dan rancu, dan tidak membutuhkan tindakan konstan untuk memenuhi kebutuhannya. Kalau seorang bayi kekurangan makanan (sebuah need), tindakannya pun jelas; tapi kalau mereka anxious, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membebaskan dari anxiety tersebut.
Dari manakah asal mula anxiety? Sullivan (1953b) mempostulasikan bahwa anxiety dintransfer dari orang tua ke bayi melalui proses yang disebut empati. Anxiety dalam the mothering one pasti menyebabkan anxiety pada bayinya. Karena semua ibu memiliki sejumlah anxiety ketika mengurus bayinya, semua bayi menjadi anxious hingga tingkat tertentu.
Seperti seorang bayi yang tidak bisa mengurangi anxiety, orang tua juga tidak memiliki kemampuan efektif untuk mengurangi anxiety si bayi. Berbagai tanda anxiety atau insecurity oleh bayi kemungkinan berujung dengan upaya orang tua untuk memenuhi kebutuhan bayi. Contohnya, seorang ibu mungkin memberi makan bayinya yang anxious dan menangis karena ia menyalah artikan anxiety dengan kelaparan. Kalau bayi ragu untuk menerima susu, ibunya mungkin menjadi lebih anxious sendirinya, yang kemudian menghasilkan lebih banyak anxiety di dalam bayi. Akhirnya, anxiety bayi tersebut mencapai tahap dimana ia mengganggu dengan mengenyot dan menelan. Anxiety, kemudian, beroperasi berlawanan dengan tension need dan sebagai akibatnya, menghalangi need dari terpuaskan.
Anxiety memiliki efek delesi pada orang dewasa juga. Anxiety adalah kekuatan disruptif paling utama yang menghalangi perkembangan relasi interpersonal yang sehat. Sullivan (1953b) menghubungkan anxiety yang parah dengan hantaman di kepala. Anxiety membuat orang tidak mampu belajar, menghalangi ingatan, menyempitkan persepsi dan menghasilkan amnesia lengkap. Anxiety unik diantara tension dalam arti bahwa anxiety mempertahankan status quo bahkan pada keseluruhan kekurangan orang. Dimana Tension lainnya menghasilkan tindakan yang mengarah pada peredaan, anxiety menghasilkan perilaku yang (1) menghindari orang dari belajar dari kesalahan, (2) membuat orang mengejar keinginan yang kekanak-kanakan untuk perasaan aman, dan (3) secara umum menjamin bahwa orang tidak akan belajar dari pengalaman.
Sullivan mengatakan bahwa anxiety dan kesepian adalah unik diantara semua pengalaman karena bersifat tidak diinginkan dan tidak diharapkan. Karena anxiety bersifat menyakitkan, orang-orang memiliki tendensi alami untuk menghindari hal tersebut, dan akhirnya memilih keadaan euphoria, atau keadaan dimana tidak ada tension sama sekali Sullivan (1954) merangkum konsep ini dengan mengatakan secara sederhana bahwa "Adanya anxiety jauh lebih parah daripada ketiadaan anxiety."
Sullivan membedakan anxiety dari rasa takut dalam beberapa cara yang penting. Pertama, Anxiety biasanya berawal dari situasi interpersonal yang kompleks dan hanya diwakili secara rancu dalam kesadaran; rasa takut bisa dengan lebih jelas diidentifikasi dan sumbernya dapat ditentukan dengan jelas. Kedua, anxiety tidak memiliki nilai positif. Hanya bila dirubah menjadi tension lain (amarah, atau takut contohnya) baru bisa dirubah menjadi tindakan yang menguntungkan. Ketiga, anxiety menghalangi pemenuhan need, dimana rasa takut kadang membantu orang memenuhkan beberapa jenis needs. Oposisi terhadap pemenuhan pemuasaan need diekspresikan dalam kata-kata yang bisa dianggap sebagai definisi Sullivan tentang anxiety: "Anxiety adalah sebuah tension yang berlawanan dengan tension need dan berlawanan dengan tindakan yang sesuai untuk meredakannya." (Sullivan, 1953b, P.44).
Daftar Pustaka
Mavis hetherington, E. Ross D. Parke. 1991. Child Psychology A cotemporary View Point. Boston : Mcgraw – Hill College.
Soemadi, S. Pengantar Psikologi Sosial 1. Jajasan Penerbit Fak. Psikologi, Yogyakarta, 1968.
www.wikipedia.com/sullivan . di akses pada : 26 November 2010.
www.edpsycinteractive.org/topics/intimacy/sullian.html . di akses pada : 26 November 2010.
Seperti Freud dan Jung, Sullivan (1953b) melihat kepribadian sebagai sistem energi. Energi bisa eksis sebagai Tension (secara potensial sebagai tindakan) atau sebagai tindakan itu sendiri (Energy Transformation). Energy Transformation merubah tension menjadi perilaku covert atau overt dan bertujuan memuaskan kebutuhan dan mengurangi anxiety. Tension adalah potensialitas untuk action yang mungkin atau tidak mungkin dialami dalam kesadaran. maka, tidak semua tension dirasakan secara sadar. Banyak tension, seperti anxiety, premonitions, drowsiness, kelaparan dan sexual excitement adalah setidaknya distorsi parsial dari kenyataan. Sullivan mengenali dua macam tension: need dan anxiety. Need biasanya adalah hasil dari action yang produktif, dimana anxiety mengarah ke perilaku nonproduktif atau disintegratif.
a) Needs
Need adalah tension yang dibawa oleh ketidakseimbangan biologikal antara seseorang dan lingkungan physiochemical, di dalam dan diluar organisme. Kebutuhan adalah episodik - begitu dipuaskan, mereka secara sementara kehilangan kekuatan, tapi setelah beberapa waktu, mungkin muncul lagi. Walau kebutuhan-kebutuhan ini awalnya memiliki komponen biologis, banyak yang berawal dari situasi interpersonal.
Interpersonal need paling dasar adalah tenderness. Seorang bayi mengembangkan kebutuhan untuk menerima tenderness dari perawat utamanya (disebut oleh Sullivan sebagai "the mothering one"). Tidak seperti beberapa kebutuhan lainnya, tenderness membutuhkan tindakan dari setidaknya dua orang. Contohnya, kebutuhan seorang bayi untuk menerima tenderness mungkin diekspresikan sebagai tangisan, senyuman, atau coo, dimana kebutuhan sang ibu untuk memberikan tenderness mungkin dirubah menjadi sentuhan, fondling, atau holding. Dalam contoh ini, kebutuhan untuk tenderness dipenuhi melalui penggunaan mulut bayi dan tangan ibunya.
Tenderness adalah general need karena berhubungan dengan kebaikan hidup seseorang. General need, yang mungkin mencakup oksigen, makanan dan air, berlawanan dengan zonal needs, yang muncul dari area tertentu dalam tubuh. Beberapa area dalam tubuh sangatlah instrumental untuk memuaskan general need dan zonal need. Contohnya, mulut memuaskan general need dengan mengkonsumsi makanan dan oksigen tapi juga memenuhi zonal need untuk aktivitas oral. juga, tangan mungkin dipakai untuk memenuhi general need untuk tenderness, tapi bisa juga digunakan untuk memenuhi zonal need untuk aktivitas manual. juga, zona tubuh lainnya, seperti anus dan alat kelamin, bia dipakai untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut.
Pada awal kehidupan, berbagai zona dalam tubuh mulai memiliki peran yang signifikan dan berkesinambungan dalam relasi interpersonal. Sambil memenuhi kebutuhan untuk makanan, air dan lainnya, seorang bayi mengeluarkan lebih banyak energi dari yang diperlukan, dan kelebihan energi ini dirubah menjadi model karakteristik perilaku yang konsisten, yang disebut dynamism oleh Sullivan.
b) Anxiety
Jenis kedua dari Tension, Anxiety, berbeda dari tension need dalam arti bahwa anxiety adalah disjunctive, lebih diffuse dan rancu, dan tidak membutuhkan tindakan konstan untuk memenuhi kebutuhannya. Kalau seorang bayi kekurangan makanan (sebuah need), tindakannya pun jelas; tapi kalau mereka anxious, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membebaskan dari anxiety tersebut.
Dari manakah asal mula anxiety? Sullivan (1953b) mempostulasikan bahwa anxiety dintransfer dari orang tua ke bayi melalui proses yang disebut empati. Anxiety dalam the mothering one pasti menyebabkan anxiety pada bayinya. Karena semua ibu memiliki sejumlah anxiety ketika mengurus bayinya, semua bayi menjadi anxious hingga tingkat tertentu.
Seperti seorang bayi yang tidak bisa mengurangi anxiety, orang tua juga tidak memiliki kemampuan efektif untuk mengurangi anxiety si bayi. Berbagai tanda anxiety atau insecurity oleh bayi kemungkinan berujung dengan upaya orang tua untuk memenuhi kebutuhan bayi. Contohnya, seorang ibu mungkin memberi makan bayinya yang anxious dan menangis karena ia menyalah artikan anxiety dengan kelaparan. Kalau bayi ragu untuk menerima susu, ibunya mungkin menjadi lebih anxious sendirinya, yang kemudian menghasilkan lebih banyak anxiety di dalam bayi. Akhirnya, anxiety bayi tersebut mencapai tahap dimana ia mengganggu dengan mengenyot dan menelan. Anxiety, kemudian, beroperasi berlawanan dengan tension need dan sebagai akibatnya, menghalangi need dari terpuaskan.
Anxiety memiliki efek delesi pada orang dewasa juga. Anxiety adalah kekuatan disruptif paling utama yang menghalangi perkembangan relasi interpersonal yang sehat. Sullivan (1953b) menghubungkan anxiety yang parah dengan hantaman di kepala. Anxiety membuat orang tidak mampu belajar, menghalangi ingatan, menyempitkan persepsi dan menghasilkan amnesia lengkap. Anxiety unik diantara tension dalam arti bahwa anxiety mempertahankan status quo bahkan pada keseluruhan kekurangan orang. Dimana Tension lainnya menghasilkan tindakan yang mengarah pada peredaan, anxiety menghasilkan perilaku yang (1) menghindari orang dari belajar dari kesalahan, (2) membuat orang mengejar keinginan yang kekanak-kanakan untuk perasaan aman, dan (3) secara umum menjamin bahwa orang tidak akan belajar dari pengalaman.
Sullivan mengatakan bahwa anxiety dan kesepian adalah unik diantara semua pengalaman karena bersifat tidak diinginkan dan tidak diharapkan. Karena anxiety bersifat menyakitkan, orang-orang memiliki tendensi alami untuk menghindari hal tersebut, dan akhirnya memilih keadaan euphoria, atau keadaan dimana tidak ada tension sama sekali Sullivan (1954) merangkum konsep ini dengan mengatakan secara sederhana bahwa "Adanya anxiety jauh lebih parah daripada ketiadaan anxiety."
Sullivan membedakan anxiety dari rasa takut dalam beberapa cara yang penting. Pertama, Anxiety biasanya berawal dari situasi interpersonal yang kompleks dan hanya diwakili secara rancu dalam kesadaran; rasa takut bisa dengan lebih jelas diidentifikasi dan sumbernya dapat ditentukan dengan jelas. Kedua, anxiety tidak memiliki nilai positif. Hanya bila dirubah menjadi tension lain (amarah, atau takut contohnya) baru bisa dirubah menjadi tindakan yang menguntungkan. Ketiga, anxiety menghalangi pemenuhan need, dimana rasa takut kadang membantu orang memenuhkan beberapa jenis needs. Oposisi terhadap pemenuhan pemuasaan need diekspresikan dalam kata-kata yang bisa dianggap sebagai definisi Sullivan tentang anxiety: "Anxiety adalah sebuah tension yang berlawanan dengan tension need dan berlawanan dengan tindakan yang sesuai untuk meredakannya." (Sullivan, 1953b, P.44).
Daftar Pustaka
Mavis hetherington, E. Ross D. Parke. 1991. Child Psychology A cotemporary View Point. Boston : Mcgraw – Hill College.
Soemadi, S. Pengantar Psikologi Sosial 1. Jajasan Penerbit Fak. Psikologi, Yogyakarta, 1968.
www.wikipedia.com/sullivan . di akses pada : 26 November 2010.
www.edpsycinteractive.org/topics/intimacy/sullian.html . di akses pada : 26 November 2010.
TEORI PSIKOLOGI KEPRIBADIAN Harry Stack Sullivan
Proses akulturasi merupakan kerangka dari konsep Sullivan mengenai perkembangan kepribadian. Sullivan mengemukakan suatu pandangan yang lebih bersifat psikologi-sosial tentang perkembangan kepribadian yaitu suatu pandangan dimana pengaruh-pengaruh yang unik dari hubungan-hubungan manusia diberi peran yang semestinya, yang menempatkan faktor sosial menentukan perkembangan psikologis. Sullivan tidak menolak faktor-faktor fisiologis sebagai hal yang menentukan perkembangan kepribadian, sebab ia berpendapat bahwa kadang-kadang pengaruh-pengaruh sosial yang berlawanan dengan kebutuhan fisiologis seseorang bisa menyebabkan pengaruh yang merugikan kepribadiannya.
Tema sentral teori Sullivan berkisar pada anxietas dan menekankan bahwa masyarakat sebagai pembentuk kepribadian. Sullivan mengemukakan bahwa setiap pribadi membutuhkan adanya hubungan antar pribadi. Hubungan antar pribadi ini merupakan sumber perkembangan pribadi. Maka, salah satu ciri dari kepribadian yang sehat adalah kemampuannya untuk menjalin hubungan antar pribadi. Ciri lainnya yaitu kemampuan untuk mengadakan personifikasi diri secara tepat yang dibangun atas dasar relasi-relasi antar pribadi. Setiap pribadi memiliki konsep diri yang terbentuk berdasarkan pengalaman-pengalaman khasnya dalam hubungan relasinya dengan orang-orang atau dengan dirinya sendiri. Pengalaman-pengalaman tersebut adalah :
1. Pengalaman prototasik yaitu rangkaian peristiwa yang terpisah-pisah yang tidak berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Contoh : pengalaman pada bayi.
2. Pengalaman parataksik yaitu pengalaman yang tampaknya mempunyai hubungan kausal (sebab-akibat) tetapi tidak mengalami hubungan yang logis.Contoh : supir yang mengendarai mobil dan menabrak kucing akan mengalami nasib sial.
3. Pengalaman sintaksik yaitu pengalaman yang melahirkan bentuk pemikiran tertinggi yang dapat dicapai individu manusia dengan kesepakatan kelompok orang dan berdasarkan susunan logis melahirkan sesuatu. Contoh : kesepakatan masyarakat terhadap huruf-huruf dan angka angka.
Sullivan mengemukakan bahwa diri adalah isi dari kesadaran pada setiap saat jika orang benar-benar senang dengan perasaan harga dirinya, prestise yang diperolehnya di antara sesamanya, serta penghargaan dan hormat yang diberikan mereka kepadanya.
Daftar Pustaka
Mavis hetherington, E. Ross D. Parke. 1991. Child Psychology A cotemporary View Point. Boston : Mcgraw – Hill College.
Soemadi, S. Pengantar Psikologi Sosial 1. Jajasan Penerbit Fak. Psikologi, Yogyakarta, 1968.
www.wikipedia.com/sullivan . di akses pada : 26 November 2010.
www.edpsycinteractive.org/topics/intimacy/sullian.html . di akses pada : 26 November 2010.
GAMBAR :
GOOGLE.COM
Friday, December 16, 2011
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN OBSERVASI
KELEBIHAN OBSERVASI
Kelebihan dari observasi, antara lain:
1. Pengamat mempunyai kemungkinan untuk langsung mencatat hal-hal, perilaku pertumbuhan, dan sebagainya, sewaktu kejadian tersebut masih berlaku, atau sewaktu perilaku sedang terjadi sehingga pengamat tidak menggantungkan data-data dari ingatan seseorang.
2. Pengamat dapat memperoleh data dan subjek, baik dengan berkomunikasi verbal ataupun tidak, misalnya dalam melakukan penelitian. Sering subjek tidak mau berkomunikasi secara verbal dengan peneliti karena takut, tidak punya waktu atau enggan. Namun, hal ini dapat diatasi dengan adanya pengamatan (observasi) langsung.
BEBERAPA KELEMAHAN DALAM OBSERVASI:
1. Hallow effect
Pengaruh kesan pertama dan kesan luarnya saja saat menilai subjek.
2. Hawthron effect
Suatu tedensi tingkah laku akan di atur menjadi Nampak berbeda dari kondisi yang alamiah dan Nampak menjadi lebih baik.
3. Refleksi observer
Struktur kepribadian observer turut berpengaruh dan bermain dalam hasil pengamatannya terhadap objek yang di observasi. Misal pengalaman pengalaman emosional observer dapat tampil pada waktu observasi berlangsung
ALAT-ALAT PENGAMATAN
Untuk menambah ketepatan pengamatan, selain dilengkapi dengan alat-alat untuk mencatat, biasanya peneliti juga dilengkapi dengan alat-alat sebagai berikut.
• Tape recorder, untuk merekam pembicaraan.
• Kamera, untuk merekam berbagai kegiatan secara visual.
• Film atau video, untuk merekam kegiatan objek penelitian secara audio-visual.
• Buku dan pulpen, untuk mencatat hasil penelitian.
Referensi :
Drs. M. Ngalim Purwanto. M.P. 2008. Prinsip-prinsip evaluasi pengajaran.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Fudyartanta, Ki. 2005. Pengatar psikodiagnostik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Basuki, Heru. 2006. Penelitian kualitatif untuk ilmu – ilmu kemanusian dan budaya. Jakarta : Penerbit Gunadarma.
Kelebihan dari observasi, antara lain:
1. Pengamat mempunyai kemungkinan untuk langsung mencatat hal-hal, perilaku pertumbuhan, dan sebagainya, sewaktu kejadian tersebut masih berlaku, atau sewaktu perilaku sedang terjadi sehingga pengamat tidak menggantungkan data-data dari ingatan seseorang.
2. Pengamat dapat memperoleh data dan subjek, baik dengan berkomunikasi verbal ataupun tidak, misalnya dalam melakukan penelitian. Sering subjek tidak mau berkomunikasi secara verbal dengan peneliti karena takut, tidak punya waktu atau enggan. Namun, hal ini dapat diatasi dengan adanya pengamatan (observasi) langsung.
BEBERAPA KELEMAHAN DALAM OBSERVASI:
1. Hallow effect
Pengaruh kesan pertama dan kesan luarnya saja saat menilai subjek.
2. Hawthron effect
Suatu tedensi tingkah laku akan di atur menjadi Nampak berbeda dari kondisi yang alamiah dan Nampak menjadi lebih baik.
3. Refleksi observer
Struktur kepribadian observer turut berpengaruh dan bermain dalam hasil pengamatannya terhadap objek yang di observasi. Misal pengalaman pengalaman emosional observer dapat tampil pada waktu observasi berlangsung
ALAT-ALAT PENGAMATAN
Untuk menambah ketepatan pengamatan, selain dilengkapi dengan alat-alat untuk mencatat, biasanya peneliti juga dilengkapi dengan alat-alat sebagai berikut.
• Tape recorder, untuk merekam pembicaraan.
• Kamera, untuk merekam berbagai kegiatan secara visual.
• Film atau video, untuk merekam kegiatan objek penelitian secara audio-visual.
• Buku dan pulpen, untuk mencatat hasil penelitian.
Referensi :
Drs. M. Ngalim Purwanto. M.P. 2008. Prinsip-prinsip evaluasi pengajaran.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Fudyartanta, Ki. 2005. Pengatar psikodiagnostik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Basuki, Heru. 2006. Penelitian kualitatif untuk ilmu – ilmu kemanusian dan budaya. Jakarta : Penerbit Gunadarma.
SYARAT OBSERVASI MENJADI ALAT PENGUMPULAN DATA DAN CARA PENCATATAN OBSERVASI
SYARAT OBSERVASI MENJADI ALAT PENGUMPULAN DATA YANG ILMIAH
1. Diabdikan pada pola dan tujuan penelitian yang sudah ditetapkan.
2. Direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis dan tidak secara kebetulan (accidental) saja.
3. Dicatat secara sistematis dan dikaitkan dengan proposisi – proposisi yang lebih umum dan tidak karena didorong oleh impuls dan rasa ingin tahu belaka.
4. Validitas, realibitas dan ketelitiannya di cek dan di control seperti pada data olmiah lainnya. (Kartono 1980 dalam Heru 2006)
CARA-CARA PENCATATAN
Persoalan-persoalan yang telah dirumuskan secara teliti memungkinkan jawaban-jawaban, respon, atau reaksi yang dapat dicatat secara teliti pula. Ketelitian yang tinggi pada prosedur observasi inilah yang memberikan kemungkinan pada penyelidik untuk mengadakan ‘kuantifikasi’ terhadap hasil-hasil penyelidikannya. Jenis-jenis gejala atau tingkah laku tertentu yang timbul dapat dihitung dan ditabulasikan. Ini akan sangat memudahkan pekerjaan analisa hasilnya nanti.
Berikut observasi jika dilihat dari cara pencatatannya dibagi menjadi dua yaitu :
a. Observasi dengan pencatatan langsung (immediate recording).
Pencatatan hal – hal penting langsung dilakukan saat sedang melakukan observasi, tetapi subjek yang diobservasi tidak sampai mengetahuinya.
b. Observasi pencatatan retrospektif (retrospective recording).
Pencatatan dilalukan setelah observasi selesai. Namun dapat menimbulkan faktor lupa pada observer tentang hal penting apa saja yang ingin dicatat.
Referensi :
Drs. M. Ngalim Purwanto. M.P. 2008. Prinsip-prinsip evaluasi pengajaran.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Fudyartanta, Ki. 2005. Pengatar psikodiagnostik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Basuki, Heru. 2006. Penelitian kualitatif untuk ilmu – ilmu kemanusian dan budaya. Jakarta : Penerbit Gunadarma.
1. Diabdikan pada pola dan tujuan penelitian yang sudah ditetapkan.
2. Direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis dan tidak secara kebetulan (accidental) saja.
3. Dicatat secara sistematis dan dikaitkan dengan proposisi – proposisi yang lebih umum dan tidak karena didorong oleh impuls dan rasa ingin tahu belaka.
4. Validitas, realibitas dan ketelitiannya di cek dan di control seperti pada data olmiah lainnya. (Kartono 1980 dalam Heru 2006)
CARA-CARA PENCATATAN
Persoalan-persoalan yang telah dirumuskan secara teliti memungkinkan jawaban-jawaban, respon, atau reaksi yang dapat dicatat secara teliti pula. Ketelitian yang tinggi pada prosedur observasi inilah yang memberikan kemungkinan pada penyelidik untuk mengadakan ‘kuantifikasi’ terhadap hasil-hasil penyelidikannya. Jenis-jenis gejala atau tingkah laku tertentu yang timbul dapat dihitung dan ditabulasikan. Ini akan sangat memudahkan pekerjaan analisa hasilnya nanti.
Berikut observasi jika dilihat dari cara pencatatannya dibagi menjadi dua yaitu :
a. Observasi dengan pencatatan langsung (immediate recording).
Pencatatan hal – hal penting langsung dilakukan saat sedang melakukan observasi, tetapi subjek yang diobservasi tidak sampai mengetahuinya.
b. Observasi pencatatan retrospektif (retrospective recording).
Pencatatan dilalukan setelah observasi selesai. Namun dapat menimbulkan faktor lupa pada observer tentang hal penting apa saja yang ingin dicatat.
Referensi :
Drs. M. Ngalim Purwanto. M.P. 2008. Prinsip-prinsip evaluasi pengajaran.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Fudyartanta, Ki. 2005. Pengatar psikodiagnostik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Basuki, Heru. 2006. Penelitian kualitatif untuk ilmu – ilmu kemanusian dan budaya. Jakarta : Penerbit Gunadarma.
JENIS OBSERVASI BERDASARKAN MASALAH APA YANG AKAN DIOBSERVASI BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAH LAKU YANG MANA YANG AKAN DIAMATI DAN DICATAT.
JENIS OBSERVASI BERDASARKAN MASALAH APA YANG AKAN DIOBSERVASI BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAH LAKU YANG MANA YANG AKAN DIAMATI DAN DICATAT.
1. Observasi sampel peristiwa (even-sampling).
Hanya mengamati beberapa sampel tingkah laku psuatu saat tertentu. Semua perilaku baik dan buruk dicatat.
Contoh : observasi tingkah laku kerjasama atau agresi pada waktu anak sedang bermainn bersama dengan teman – temannya di rumah atau di sekolah.
2. Observasi sampel waktu (time sampling).
Mengamati dan mencatat apa saja yang dilakukan individu dalam waktu tertentu.
Contoh : perilaku anak sekolah saat 1 jam istirahat sekolah.
OBSERVASI DILIHAT DARI POSISI OBSERVER
1. Observasi non-partisipan.
Posisi observer sebagai penonton atau ada diluar objek yang diamati. Observer tidk ikut serta dalam kegiatan individu yang diobservasi. Observasi benar – benar berfungsi sebagai penonton, pengamat dan pencatat tingkah laku yang di observasi.
2. Observasi partisipan.
Observer turut serta dalam kegiatan individu yang diobservasi. Cara ini untuk memperoleh tingkah laku individu yang tidak dibuat – buat, wajar dan alami, tidak merasa sedang diawasi.
OBSERVASI SISTEMATIS
Observasi sistematik biasa disebut juga observasi berkerangka atau structured observation. Ciri pokok dari observasi ini adalah kerangka yang memuat faktor-faktor yang telah di atur kategorisasinya lebih dulu dan ciri-ciri khusus dari tiap-tiap faktor dalam kategori-kategori itu.
a. Materi Observasi Isi dan luas situasi yang akan diobservasi dalarn observasi sistematik umumnya lebih terbatas. Sebagai alat untuk penelitian desicriptif, peneliti berlandaskan pada perumusan-perumusan yang lebih khusus. Wilayah atau scope observasinya sendiri dibatasi dengan tegas sesuai dengan tujuan dan penelitian, bukan situasi kehidupan masyarakat seperti pada observasi partisipan yang umumnya digunakan dalam penelitian eksploratif.
Perumusan-perurnusan masalah yang hendak diselidikipun sudah dikhususkan, misalnya hubungan antara pengikut, kerjasama dan persaingan, prestasi be1aar, dan sebagainya. Dengan begitu kebebasan untuk memilih apa yang diselidiki sangat terbatas. Ini dijadikan ciri yang membedakan observasi sistematik dan observasi partisipan.
b. Cara-Cara Pencatatan Persoalan-persoalan yang telah dirumuskan secara teliti memungkinkan jawaban-jawaban, respons, atau reaksi yang dapat dicatat secara teliti pula. Ketelitian yang tinggi pada prosedur observasi inilah yang memberikan kemungkinan pada penyelidik untuk mengadakan “kuantifikasi” terhadap hasil-hasil penyelidikannya. Jenis-jenis gejala atau tingkah laku tertentu yang timbul dapat dihitung dan ditabulasikan. Ini nanti akan sangat memudahkan pekerjaan analisis hasil.
OBSERVASI EKSPERIMENTAL
a. Observasi dapat dilakukan dalam lingkup alamiah/natural ataupun dalam lingkup experimental. Dalam observasi alamiah observer rnengamati kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan perilaku-perilaku observe dalam lingkup natural, yaitu kejadian, peristiwa, atau perilaku murni tanpa adanya usaha untuk menguntrol.
Observasi eksperimental dipandang sebagai cara penyelidikan yang relatif murni, untuk menyeidiki pengaruh kondisi-kondisi tertentu terhadap tingkah laku manusia. Sebab faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkah laku observee telah dikontrol secermat-cermatnya, sehingga tinggal satu-dua faktor untuk diamati bagaimana pengaruhnya terhadap dimensi-dimensi tertentu terhadap tingkah laku.
Ciri-ciri penting dan observasi eksperimental adalah sebagai berikut :
• Observer dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seseragam mungkin untuk semua observee.
• Situasi dibuat sedemikian rupa, untuk memungkinkan variasi timbulnya tingkah laku yang akan diamati oleh observee.
• Situasi dibuat sedemikian rupa, sehingga observee tidak tahu maksud yang sebenannya dan observasi.
• Observer, atau alat pencatat, membuat catatan-catatan dengan teliti mengenai cara-cara observee mengadakan aksi reaksi, bukan hanya jumlah aksi reaksi semata.
Referensi :
Drs. M. Ngalim Purwanto. M.P. 2008. Prinsip-prinsip evaluasi pengajaran.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Fudyartanta, Ki. 2005. Pengatar psikodiagnostik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Basuki, Heru. 2006. Penelitian kualitatif untuk ilmu – ilmu kemanusian dan budaya. Jakarta : Penerbit Gunadarma.
1. Observasi sampel peristiwa (even-sampling).
Hanya mengamati beberapa sampel tingkah laku psuatu saat tertentu. Semua perilaku baik dan buruk dicatat.
Contoh : observasi tingkah laku kerjasama atau agresi pada waktu anak sedang bermainn bersama dengan teman – temannya di rumah atau di sekolah.
2. Observasi sampel waktu (time sampling).
Mengamati dan mencatat apa saja yang dilakukan individu dalam waktu tertentu.
Contoh : perilaku anak sekolah saat 1 jam istirahat sekolah.
OBSERVASI DILIHAT DARI POSISI OBSERVER
1. Observasi non-partisipan.
Posisi observer sebagai penonton atau ada diluar objek yang diamati. Observer tidk ikut serta dalam kegiatan individu yang diobservasi. Observasi benar – benar berfungsi sebagai penonton, pengamat dan pencatat tingkah laku yang di observasi.
2. Observasi partisipan.
Observer turut serta dalam kegiatan individu yang diobservasi. Cara ini untuk memperoleh tingkah laku individu yang tidak dibuat – buat, wajar dan alami, tidak merasa sedang diawasi.
OBSERVASI SISTEMATIS
Observasi sistematik biasa disebut juga observasi berkerangka atau structured observation. Ciri pokok dari observasi ini adalah kerangka yang memuat faktor-faktor yang telah di atur kategorisasinya lebih dulu dan ciri-ciri khusus dari tiap-tiap faktor dalam kategori-kategori itu.
a. Materi Observasi Isi dan luas situasi yang akan diobservasi dalarn observasi sistematik umumnya lebih terbatas. Sebagai alat untuk penelitian desicriptif, peneliti berlandaskan pada perumusan-perumusan yang lebih khusus. Wilayah atau scope observasinya sendiri dibatasi dengan tegas sesuai dengan tujuan dan penelitian, bukan situasi kehidupan masyarakat seperti pada observasi partisipan yang umumnya digunakan dalam penelitian eksploratif.
Perumusan-perurnusan masalah yang hendak diselidikipun sudah dikhususkan, misalnya hubungan antara pengikut, kerjasama dan persaingan, prestasi be1aar, dan sebagainya. Dengan begitu kebebasan untuk memilih apa yang diselidiki sangat terbatas. Ini dijadikan ciri yang membedakan observasi sistematik dan observasi partisipan.
b. Cara-Cara Pencatatan Persoalan-persoalan yang telah dirumuskan secara teliti memungkinkan jawaban-jawaban, respons, atau reaksi yang dapat dicatat secara teliti pula. Ketelitian yang tinggi pada prosedur observasi inilah yang memberikan kemungkinan pada penyelidik untuk mengadakan “kuantifikasi” terhadap hasil-hasil penyelidikannya. Jenis-jenis gejala atau tingkah laku tertentu yang timbul dapat dihitung dan ditabulasikan. Ini nanti akan sangat memudahkan pekerjaan analisis hasil.
OBSERVASI EKSPERIMENTAL
a. Observasi dapat dilakukan dalam lingkup alamiah/natural ataupun dalam lingkup experimental. Dalam observasi alamiah observer rnengamati kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan perilaku-perilaku observe dalam lingkup natural, yaitu kejadian, peristiwa, atau perilaku murni tanpa adanya usaha untuk menguntrol.
Observasi eksperimental dipandang sebagai cara penyelidikan yang relatif murni, untuk menyeidiki pengaruh kondisi-kondisi tertentu terhadap tingkah laku manusia. Sebab faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkah laku observee telah dikontrol secermat-cermatnya, sehingga tinggal satu-dua faktor untuk diamati bagaimana pengaruhnya terhadap dimensi-dimensi tertentu terhadap tingkah laku.
Ciri-ciri penting dan observasi eksperimental adalah sebagai berikut :
• Observer dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seseragam mungkin untuk semua observee.
• Situasi dibuat sedemikian rupa, untuk memungkinkan variasi timbulnya tingkah laku yang akan diamati oleh observee.
• Situasi dibuat sedemikian rupa, sehingga observee tidak tahu maksud yang sebenannya dan observasi.
• Observer, atau alat pencatat, membuat catatan-catatan dengan teliti mengenai cara-cara observee mengadakan aksi reaksi, bukan hanya jumlah aksi reaksi semata.
Referensi :
Drs. M. Ngalim Purwanto. M.P. 2008. Prinsip-prinsip evaluasi pengajaran.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Fudyartanta, Ki. 2005. Pengatar psikodiagnostik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Basuki, Heru. 2006. Penelitian kualitatif untuk ilmu – ilmu kemanusian dan budaya. Jakarta : Penerbit Gunadarma.
INSTRUMEN DAN SETTING OBSERVASI
INSTRUMEN YANG DIGUNAKAN DALAM MELAKUKAN OBSERVASI
Instrumen yang digunakan dalam melakukan observasi, yaitu checklist, rating scale, anecdotal record, catatan berkala, dan mechanical device.
1. Check list, merupakan suatu daftar yang berisikan nama-nama responden dan faktor- faktor yang akan diamati.
2. Rating scale, merupakan instrumen untuk mencatat gejala menurut tingkatan- tingkatannya.
3. Anecdotal record, merupakan catatan yang dibuat oleh peneliti mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh responden.
4. Mechanical device, merupakan alat mekanik yang digunakan untuk memotret peristiwa- peristiwa tertentu yang ditampilkan oleh responden
SETTING DAN SITUASI PELAKSANAAN OBSERVASI
1. Observasi Medan atau Alamiah (field setting).
Observasi di lapangan atau kancah tempat sesungguhnya hal yang akan kita amati.
Contoh : observasi anak dilakukan langsung dirumah, sekolah dan tempat bermain.
2. Observasi Simulatif (simulated setting).
Observasi dengan simulasi situasi. Artinya situasi observasi bila individu mendapat simulasi (tiruan) atau rangsangan untuk memperoleh tingkah laku tertentu.
Contoh : situasi kerja atau tes situasi (tidak seluruhnya dikendalikan).
3. Observasi laboratoris (laboratory setting).
Observasi dengan situasi laboratoriu, sehingga situasinya dapat dikendalikan sepenuhnya oleh observer.
Referensi :
Drs. M. Ngalim Purwanto. M.P. 2008. Prinsip-prinsip evaluasi pengajaran.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Fudyartanta, Ki. 2005. Pengatar psikodiagnostik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Basuki, Heru. 2006. Penelitian kualitatif untuk ilmu – ilmu kemanusian dan budaya. Jakarta : Penerbit Gunadarma.
Instrumen yang digunakan dalam melakukan observasi, yaitu checklist, rating scale, anecdotal record, catatan berkala, dan mechanical device.
1. Check list, merupakan suatu daftar yang berisikan nama-nama responden dan faktor- faktor yang akan diamati.
2. Rating scale, merupakan instrumen untuk mencatat gejala menurut tingkatan- tingkatannya.
3. Anecdotal record, merupakan catatan yang dibuat oleh peneliti mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh responden.
4. Mechanical device, merupakan alat mekanik yang digunakan untuk memotret peristiwa- peristiwa tertentu yang ditampilkan oleh responden
SETTING DAN SITUASI PELAKSANAAN OBSERVASI
1. Observasi Medan atau Alamiah (field setting).
Observasi di lapangan atau kancah tempat sesungguhnya hal yang akan kita amati.
Contoh : observasi anak dilakukan langsung dirumah, sekolah dan tempat bermain.
2. Observasi Simulatif (simulated setting).
Observasi dengan simulasi situasi. Artinya situasi observasi bila individu mendapat simulasi (tiruan) atau rangsangan untuk memperoleh tingkah laku tertentu.
Contoh : situasi kerja atau tes situasi (tidak seluruhnya dikendalikan).
3. Observasi laboratoris (laboratory setting).
Observasi dengan situasi laboratoriu, sehingga situasinya dapat dikendalikan sepenuhnya oleh observer.
Referensi :
Drs. M. Ngalim Purwanto. M.P. 2008. Prinsip-prinsip evaluasi pengajaran.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Fudyartanta, Ki. 2005. Pengatar psikodiagnostik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Basuki, Heru. 2006. Penelitian kualitatif untuk ilmu – ilmu kemanusian dan budaya. Jakarta : Penerbit Gunadarma.
LANGKAH - LANGKAH, TEKNIK, DAN DIMENSI OBSERVASI
LANGKAH-LANGKAH DALAM MELAKUKAN OBSERVASI ADALAH SEBAGAI BERIKUT :
1. Harus diketahui di mana observasi itu dapat dilakukan.
2. Harus ditentukan dengan pasti siapa saja yang akan diobservasi.
3. Harus diketahui dengan jelas data-data apa saja yang diperlukan.
4. Harus diketahui bagaimana cara mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar.
5. Harus diketahui tentang cara mencatat hasil observasi, seperti telah menyediakan buku catatan, kamera, tape recorder, dan alat-alat tulis lainnya.
DIMENSI OBSERVASI
Secara umum setiap observasi yang dilakukan tercakup dalam tiga dimensi, yaitu:
1. Partisipan dan Non partisipan.
2. Overt dan Covert.
3. Alamiah dan Buatan.
Dalam setiap observasi yang dilakukan selalu tercakup ketiga dimensi diatas, denganberbagai kombinasi. Bisa Psrtisipan-Overt-Alamiah (poa), Non partisipan-Overt-Alamniah(noa), Partisipan-Covert-Buatan (pcb), dan lain sebagainya.
TEKNIK OBSERVASI
secara garis besar teknik observasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Structured or controlled observation (observasi yang direncanakan, terkontrol)
pengamat menggunakan blangko-blangko daftar isian yang tersusun, dan didalamnya telah tercantum aspek-aspek ataupun gejala-gejala apa saja yang perlu diperhatikan pada waktu pengamatan itu dilakukan.
2. Unstructure or informal observation (observasi informasi atau tidak terencanakan lebih dahulu).
pada umumnya pengamat belum atau tidak mengetahui sebelumnya apa yang sebenarnya harus dicatat dalam pengamatan itu. Aspek-aspek atau peristiwanya tidak terduga sebelumnya.
1. Harus diketahui di mana observasi itu dapat dilakukan.
2. Harus ditentukan dengan pasti siapa saja yang akan diobservasi.
3. Harus diketahui dengan jelas data-data apa saja yang diperlukan.
4. Harus diketahui bagaimana cara mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar.
5. Harus diketahui tentang cara mencatat hasil observasi, seperti telah menyediakan buku catatan, kamera, tape recorder, dan alat-alat tulis lainnya.
DIMENSI OBSERVASI
Secara umum setiap observasi yang dilakukan tercakup dalam tiga dimensi, yaitu:
1. Partisipan dan Non partisipan.
2. Overt dan Covert.
3. Alamiah dan Buatan.
Dalam setiap observasi yang dilakukan selalu tercakup ketiga dimensi diatas, denganberbagai kombinasi. Bisa Psrtisipan-Overt-Alamiah (poa), Non partisipan-Overt-Alamniah(noa), Partisipan-Covert-Buatan (pcb), dan lain sebagainya.
TEKNIK OBSERVASI
secara garis besar teknik observasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Structured or controlled observation (observasi yang direncanakan, terkontrol)
pengamat menggunakan blangko-blangko daftar isian yang tersusun, dan didalamnya telah tercantum aspek-aspek ataupun gejala-gejala apa saja yang perlu diperhatikan pada waktu pengamatan itu dilakukan.
2. Unstructure or informal observation (observasi informasi atau tidak terencanakan lebih dahulu).
pada umumnya pengamat belum atau tidak mengetahui sebelumnya apa yang sebenarnya harus dicatat dalam pengamatan itu. Aspek-aspek atau peristiwanya tidak terduga sebelumnya.
PENGERTIAN OBSEVASI DAN TUJUAN OBSERVASI BAGI PSIKOLOGI
PENGERTIAN OBSERVASI
“Observasi ialah metode atau cara-cara yang menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung”.
Menurut Prof. Heru (2006) pengamatan atau observasi dalam konteks penelitian ilmiah adalah studi yang disengaja dan dilakukan secara sistematis, terencana, terarah pada suatu tujuan dengan mengamati dan mencatat fenomena atau perilaku satu atau sekelompok orang dalam konteks kehidupan sehari – hari dan memperhatikan syarat – syarat penelitian ilmiah. Dengan demikian hasil pengamatan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
TUJUAN OBSERVASI
Pada dasarnya observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dan perspektif mereka terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi harus kuat, faktual, sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak relevan.
Observasi perlu dilakukan karena beberapa alasan, yaitu:
1. Memungkinan untuk mengukur banyak perilaku yang tidak dapat diukur dengan menggunakan alat ukur psikologis yang lain (alat tes). Hal ini banyak terjadi pada anak-anak.
2. Prosedur Testing Formal seringkali tidak ditanggapi serius oleh anak-anak sebagaimana orang dewasa, sehingga sering observasi menjadi metode pengukur utama.
3. Observasi dirasakan lebih mudah daripada cara peugumpulan data yang lain. Pada anak-anak observasi menghasilkan informasi yang lebih akurat daripada orang dewasa. Sebab, orang dewasa akan memperlihatkan perilaku yang dibuat-buat bila merasa sedang diobservasi.
Tujuan observasi bagi seorang psikolog pada dasarnya adalah sebagai berikut :
1. Untuk keperluan asesmen awal dilakukan di luar ruang konseling, misalnya: ruang tunggu, halaman, kelas, ruang bermain.
2. Sebagai dasar/titik awal dari kemajuan klien. Dari beberapa kali pertemuan psikolog akan mengetahui kemajuan yang dicapai klien.
3. Bagi anak-anak, untuk mengetahui perkembangan anak-anak pada tahap tertentu.
4. Digunakan dalam memberi laporan pada orangtua, guru, dokter, dan lain-lain.
5. Sebagai informasi status anak/remaja di sekolah untuk keperluan bimbingan dan konseling.
Beberapa Hal yang Menjadi Bahan Pengamatan.
Hal-hal yang biasanya menjadi pengamatan seorang peneliti yang menggunakan metode pengamatan adalah sebagai berikut.
1. Pelaku atau partisipan, menyangkut siapa saja yang terlibat dalam kegiatan yang diamati, apa status mereka, bagaimana hubungan mereka dengan kegiatan tersebut, bagaimana kedudukan mereka dalam masyarakat atau budaya tempat kegiatan tersebut, kegiatan menyangkut apa yang dilakukan oleh partisipan, apa yang mendorong mereka melakukannya, bagaimana bentuk kegiatan tersebut, serta akibat dari kegiatan tersebut.
2. Tujuan, menyangkut apa yang diharapkan partisipan dari kegiatan atau peristiwa yang diamati.
3. Perasaan, menyangkut ungkapan-ungkapan emosi partisipan, baik itu dalam bentuk tindakan, ucapan, ekspresi muka, atau gerak tubuh.
4. Ruang atau tempat, menyangkut lokasi dari peristiwa yang diamati serta pandangan para partisipan tentang waktu.
5. Waktu, menyangkut jangka waktu kegiatan atau peristiwa yang diamati serta pandangan para partisipan tentang waktu.
6. Benda atau alat, menyangkut jenis, bentuk, bahan, dan kegunaan benda atau alat yang dipakai pada saat kegiatan berlangsung.
7. Peristiwa, menyangkut kejadian-kejadian lain yang terjadi bersamaan atau seiring dengan kegiatan yang diamati.
Referensi :
Drs. M. Ngalim Purwanto. M.P. 2008. Prinsip-prinsip evaluasi pengajaran.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Fudyartanta, Ki. 2005. Pengatar psikodiagnostik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Basuki, Heru. 2006. Penelitian kualitatif untuk ilmu – ilmu kemanusian dan budaya. Jakarta : Penerbit Gunadarma.
“Observasi ialah metode atau cara-cara yang menganalisis dan mengadakan pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau kelompok secara langsung”.
Menurut Prof. Heru (2006) pengamatan atau observasi dalam konteks penelitian ilmiah adalah studi yang disengaja dan dilakukan secara sistematis, terencana, terarah pada suatu tujuan dengan mengamati dan mencatat fenomena atau perilaku satu atau sekelompok orang dalam konteks kehidupan sehari – hari dan memperhatikan syarat – syarat penelitian ilmiah. Dengan demikian hasil pengamatan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
TUJUAN OBSERVASI
Pada dasarnya observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dan perspektif mereka terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi harus kuat, faktual, sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak relevan.
Observasi perlu dilakukan karena beberapa alasan, yaitu:
1. Memungkinan untuk mengukur banyak perilaku yang tidak dapat diukur dengan menggunakan alat ukur psikologis yang lain (alat tes). Hal ini banyak terjadi pada anak-anak.
2. Prosedur Testing Formal seringkali tidak ditanggapi serius oleh anak-anak sebagaimana orang dewasa, sehingga sering observasi menjadi metode pengukur utama.
3. Observasi dirasakan lebih mudah daripada cara peugumpulan data yang lain. Pada anak-anak observasi menghasilkan informasi yang lebih akurat daripada orang dewasa. Sebab, orang dewasa akan memperlihatkan perilaku yang dibuat-buat bila merasa sedang diobservasi.
Tujuan observasi bagi seorang psikolog pada dasarnya adalah sebagai berikut :
1. Untuk keperluan asesmen awal dilakukan di luar ruang konseling, misalnya: ruang tunggu, halaman, kelas, ruang bermain.
2. Sebagai dasar/titik awal dari kemajuan klien. Dari beberapa kali pertemuan psikolog akan mengetahui kemajuan yang dicapai klien.
3. Bagi anak-anak, untuk mengetahui perkembangan anak-anak pada tahap tertentu.
4. Digunakan dalam memberi laporan pada orangtua, guru, dokter, dan lain-lain.
5. Sebagai informasi status anak/remaja di sekolah untuk keperluan bimbingan dan konseling.
Beberapa Hal yang Menjadi Bahan Pengamatan.
Hal-hal yang biasanya menjadi pengamatan seorang peneliti yang menggunakan metode pengamatan adalah sebagai berikut.
1. Pelaku atau partisipan, menyangkut siapa saja yang terlibat dalam kegiatan yang diamati, apa status mereka, bagaimana hubungan mereka dengan kegiatan tersebut, bagaimana kedudukan mereka dalam masyarakat atau budaya tempat kegiatan tersebut, kegiatan menyangkut apa yang dilakukan oleh partisipan, apa yang mendorong mereka melakukannya, bagaimana bentuk kegiatan tersebut, serta akibat dari kegiatan tersebut.
2. Tujuan, menyangkut apa yang diharapkan partisipan dari kegiatan atau peristiwa yang diamati.
3. Perasaan, menyangkut ungkapan-ungkapan emosi partisipan, baik itu dalam bentuk tindakan, ucapan, ekspresi muka, atau gerak tubuh.
4. Ruang atau tempat, menyangkut lokasi dari peristiwa yang diamati serta pandangan para partisipan tentang waktu.
5. Waktu, menyangkut jangka waktu kegiatan atau peristiwa yang diamati serta pandangan para partisipan tentang waktu.
6. Benda atau alat, menyangkut jenis, bentuk, bahan, dan kegunaan benda atau alat yang dipakai pada saat kegiatan berlangsung.
7. Peristiwa, menyangkut kejadian-kejadian lain yang terjadi bersamaan atau seiring dengan kegiatan yang diamati.
Referensi :
Drs. M. Ngalim Purwanto. M.P. 2008. Prinsip-prinsip evaluasi pengajaran.Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Fudyartanta, Ki. 2005. Pengatar psikodiagnostik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Basuki, Heru. 2006. Penelitian kualitatif untuk ilmu – ilmu kemanusian dan budaya. Jakarta : Penerbit Gunadarma.
Sunday, October 30, 2011
KONSUMERISME
Pengertian Konsumerisme
Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan.
Konsumerisme itu sendiri merupakan gerakan konsumen (consumer movement) yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir). Dalam pengertian lebih luas, istilah konsumerisme, dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha dan negara dan gerakan tidak sekadar hanya melingkupi isu kehidupan sehari-hari mengenai produk harga naik atau kualitas buruk, termasuk hak asasi manusia berikut dampaknya bagi konsumer.
Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kontemporer (Peter Salim, 1996), arti konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya. Selain itu, arti kata ini adalah pemakaian barang dan jasa.
a. Masyarakat konsumerisme
Dalam ranah masyarakat konsumer hasrat direproduksi lewat ide-ide yang terbentuk lewat proses sosial. Baudrillard misalnya melihat bahwa struktur nilai yang tercipta secara diskursif menentukan kehadiran hasrat. Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumer ini menurutnya mengejawantah dalam kode-kode. Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek eksternal, produksi menciptakan materi sebagai kode-kode yang menstimulasi kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi. Dalam nalar Freudian hasrat untuk mengonsumsi secara mendasar adalah sesuatu yang bersifat instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan struktur psikis manusia: yaitu id. Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau didasari oleh prinsip kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan. Adalah jelas bahwa tindakan untuk mencapai kepuasan dan kesenangan spontan ini dalam fase id bersifat irasional. Mengonsumsi pada awalnya terkait dengan tindakan menggapai kepuasan secara irasional, spontan dan temporal – fase id struktur psikis manusia.
b. Proses Gaya Hidup
Dalam masyarakat komoditas atau konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup (Feathersone, 2005). Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup.
Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik disebut oleh Bordieu (1984) sebagai ‘perantara budaya baru’. Dalam wacana kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum “kemajuan” dan “kebaruan”. Dan karena dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan oleh media (Piliang dalam Ibrahim, 1997, hal. 200).
Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati posisi strategis sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen.
Masalah ini dikaji secara reflektif-akademik oleh seorang cendikiawan Prancis terkemuka, Jean Baudrillard. Secara umum, menurutnya, media berperan sebagai agen yang menyebar imaji-imaji kepada khalayak luas. Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak, benar-benar dipengaruhi oleh kekuatan imaji tersebut. Jadi motivasi untuk membeli tidak lagi berangkat dari dalam diri seseorang berdasarkan kebutuhannya yang riil, namun lebih karena adanya otoritas lain di luar dirinya yang "memaksa" untuk membeli. Hasrat belanja masyarakat merupakan hasil konstruksi yang disengaja. Jauh hari sebelum hari-hari besar itu, media terutama televisi telah memoles-moles dirinya untuk bersiap bergumul ke dalam kancah persaingan merebut hati para pemirsa. Berbagai program, dari mulai sinetron, kuis, sandiwara komedi, sampai musik, disediakan sebagai persembahan spesial untuk menyambut hari spesial. Semakin cantik acara yang disajikan akan semakin mengundang banyak penonton. Selanjutnya, rating-pun tinggi sehingga merangsang kalangan produsen untuk memasang iklan. Iklan merupakan proses persuasi yang sangat efektif dalam memengaruhi keputusan masyarakat dalam mengonsumsi.
Bagaimana menghindar dari konsumerisme? Mengonsumsi sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar dilakukan. Namun, dewasa ini disadari bahwa masyarakat tidak hanya mengonsumsi, tapi telah terjebak ke dalam budaya konsumerisme. Budaya ini dikatakan berbahaya karena berekses negatif terhadap lingkungan hidup, juga meluruhnya hubungan sosial dan bertahtanya kesadaran palsu di benak masyarakat. Sekarang sudah saatnya menjadi konsumen yang cerdas dan kritis, bukan lagi saatnya menjadi -- dalam istilah Bre Redana -- mindless consumer, konsumen yang tidak berotak, pasif, dan gampang dibodohi. Mulailah mengendalikan diri dan membelanjakan uang hanya untuk barang yang benar-benar kita perlukan, jangan mudah terpengaruh dengan rayuan untuk membeli dan mulai mempertanyakan proses di balik pembuatan barang yang akan kita beli. Sebagai konsumen, kita berhak melakukannya karena kita adalah raja
c. Budaya konsumerisme
Dalam ranah masyarakat konsumer hasrat direproduksi lewat ide-ide yang terbentuk lewat proses sosial. Baudrillard misalnya melihat bahwa struktur nilai yang tercipta secara diskursif menentukan kehadiran hasrat. Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumer ini menurutnya mengejawantah dalam kode-kode. Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek eksternal, produksi menciptakan materi sebagai kode-kode yang menstimulasi kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi. Dalam nalar Freudian hasrat untuk mengonsumsi secara mendasar adalah sesuatu yang bersifat instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan struktur psikis manusia: yaitu id. Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau didasari oleh prinsip kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan. Adalah jelas bahwa tindakan untuk mencapai kepuasan dan kesenangan spontan ini dalam fase id bersifat irasional. Mengkonsumsi pada awalnya terkait dengan tindakan menggapai kepuasan secara irasional, spontan dan temporal – fase id struktur psikis manusia.
Daftar Pustaka
Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
eprints.undip.ac.id/.../POSMODERNISME_DAN_BUDAYA_KONSUMEN.doc ( diunduh pada 13 oktober 2011, pukul 22.00 wib)
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)
Konsumerisme adalah paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan atau menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak dapat atau susah untuk dihilangkan.
Konsumerisme itu sendiri merupakan gerakan konsumen (consumer movement) yang mempertanyakan kembali dampak-dampak aktivitas pasar bagi konsumen (akhir). Dalam pengertian lebih luas, istilah konsumerisme, dapat diartikan sebagai gerakan yang memperjuangkan kedudukan yang seimbang antara konsumen, pelaku usaha dan negara dan gerakan tidak sekadar hanya melingkupi isu kehidupan sehari-hari mengenai produk harga naik atau kualitas buruk, termasuk hak asasi manusia berikut dampaknya bagi konsumer.
Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia kontemporer (Peter Salim, 1996), arti konsumerisme (consumerism) adalah cara melindungi publik dengan memberitahukan kepada mereka tentang barang-barang yang berkualitas buruk, tidak aman dipakai dan sebagainya. Selain itu, arti kata ini adalah pemakaian barang dan jasa.
a. Masyarakat konsumerisme
Dalam ranah masyarakat konsumer hasrat direproduksi lewat ide-ide yang terbentuk lewat proses sosial. Baudrillard misalnya melihat bahwa struktur nilai yang tercipta secara diskursif menentukan kehadiran hasrat. Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumer ini menurutnya mengejawantah dalam kode-kode. Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek eksternal, produksi menciptakan materi sebagai kode-kode yang menstimulasi kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi. Dalam nalar Freudian hasrat untuk mengonsumsi secara mendasar adalah sesuatu yang bersifat instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan struktur psikis manusia: yaitu id. Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau didasari oleh prinsip kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan. Adalah jelas bahwa tindakan untuk mencapai kepuasan dan kesenangan spontan ini dalam fase id bersifat irasional. Mengonsumsi pada awalnya terkait dengan tindakan menggapai kepuasan secara irasional, spontan dan temporal – fase id struktur psikis manusia.
b. Proses Gaya Hidup
Dalam masyarakat komoditas atau konsumer terdapat suatu proses adopsi cara belajar menuju aktivitas konsumsi dan pengembangan suatu gaya hidup (Feathersone, 2005). Pembelajaran ini dilakukan melalui majalah, koran, buku, televisi, dan radio, yang banyak menekankan peningkatan diri, pengembangan diri, transformasi personal, bagaimana mengelola kepemilikan, hubungan dan ambisi, serta bagaimana membangun gaya hidup.
Dengan demikian, mereka yang bekerja di media, desain, mode, dan periklanan serta para ‘intelektual informasi’ yang pekerjaannya adalah memberikan pelayanan serta memproduksi, memasarkan dan menyebarkan barang-barang simbolik disebut oleh Bordieu (1984) sebagai ‘perantara budaya baru’. Dalam wacana kapitalisme, semua yang diproduksi oleh kapitalisme pada akhirnya akan didekonstruksi oleh produksi baru berikutnya, berdasarkan hukum “kemajuan” dan “kebaruan”. Dan karena dukungan media, realitas-realitas diproduksi mengikuti model-model yang ditawarkan oleh media (Piliang dalam Ibrahim, 1997, hal. 200).
Budaya konsumerisme terutama muncul setelah masa industrialisasi ketika barang-barang mulai diproduksi secara massal sehingga membutuhkan konsumen lebih luas. Media dalam hal ini menempati posisi strategis sekaligus menentukan; yaitu sebagai medium yang menjembatani produsen dengan masyarakat sebagai calon konsumen.
Masalah ini dikaji secara reflektif-akademik oleh seorang cendikiawan Prancis terkemuka, Jean Baudrillard. Secara umum, menurutnya, media berperan sebagai agen yang menyebar imaji-imaji kepada khalayak luas. Keputusan setiap orang untuk membeli atau tidak, benar-benar dipengaruhi oleh kekuatan imaji tersebut. Jadi motivasi untuk membeli tidak lagi berangkat dari dalam diri seseorang berdasarkan kebutuhannya yang riil, namun lebih karena adanya otoritas lain di luar dirinya yang "memaksa" untuk membeli. Hasrat belanja masyarakat merupakan hasil konstruksi yang disengaja. Jauh hari sebelum hari-hari besar itu, media terutama televisi telah memoles-moles dirinya untuk bersiap bergumul ke dalam kancah persaingan merebut hati para pemirsa. Berbagai program, dari mulai sinetron, kuis, sandiwara komedi, sampai musik, disediakan sebagai persembahan spesial untuk menyambut hari spesial. Semakin cantik acara yang disajikan akan semakin mengundang banyak penonton. Selanjutnya, rating-pun tinggi sehingga merangsang kalangan produsen untuk memasang iklan. Iklan merupakan proses persuasi yang sangat efektif dalam memengaruhi keputusan masyarakat dalam mengonsumsi.
Bagaimana menghindar dari konsumerisme? Mengonsumsi sebenarnya merupakan kegiatan yang wajar dilakukan. Namun, dewasa ini disadari bahwa masyarakat tidak hanya mengonsumsi, tapi telah terjebak ke dalam budaya konsumerisme. Budaya ini dikatakan berbahaya karena berekses negatif terhadap lingkungan hidup, juga meluruhnya hubungan sosial dan bertahtanya kesadaran palsu di benak masyarakat. Sekarang sudah saatnya menjadi konsumen yang cerdas dan kritis, bukan lagi saatnya menjadi -- dalam istilah Bre Redana -- mindless consumer, konsumen yang tidak berotak, pasif, dan gampang dibodohi. Mulailah mengendalikan diri dan membelanjakan uang hanya untuk barang yang benar-benar kita perlukan, jangan mudah terpengaruh dengan rayuan untuk membeli dan mulai mempertanyakan proses di balik pembuatan barang yang akan kita beli. Sebagai konsumen, kita berhak melakukannya karena kita adalah raja
c. Budaya konsumerisme
Dalam ranah masyarakat konsumer hasrat direproduksi lewat ide-ide yang terbentuk lewat proses sosial. Baudrillard misalnya melihat bahwa struktur nilai yang tercipta secara diskursif menentukan kehadiran hasrat. Struktur nilai dalam realitas masyarakat konsumer ini menurutnya mengejawantah dalam kode-kode. Produksi tidak lagi menciptakan materi sebagai objek eksternal, produksi menciptakan materi sebagai kode-kode yang menstimulasi kebutuhan atau hasrat sebagai objek internal konsumsi. Dalam nalar Freudian hasrat untuk mengonsumsi secara mendasar adalah sesuatu yang bersifat instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan struktur psikis manusia: yaitu id. Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau didasari oleh prinsip kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan. Adalah jelas bahwa tindakan untuk mencapai kepuasan dan kesenangan spontan ini dalam fase id bersifat irasional. Mengkonsumsi pada awalnya terkait dengan tindakan menggapai kepuasan secara irasional, spontan dan temporal – fase id struktur psikis manusia.
Daftar Pustaka
Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
eprints.undip.ac.id/.../POSMODERNISME_DAN_BUDAYA_KONSUMEN.doc ( diunduh pada 13 oktober 2011, pukul 22.00 wib)
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)
KONSUMTIF
Pengertian Konsumtif
Kata “ konsumtif “ ( sebagai kata sifat, lihat akhiran if ) sering diartikan sama dengan “ konsumerisme “. Sebenanya kata yang terakhir ini mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang - barang yang kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal.
Dalam era globalisasi ini dan di tengah kondisi insibilitas ekonomi yang mengakibatkan terus melonjaknya harga komoditas bahan pokok saat ini, pengendalian diri sangatlah penting. Sedini mungkin hendaknya menghindari pola hidup konsumtif. Kebiasaan konsumtif ini biasanya didasari oleh faktor gengsi(banyak orang merasa tidak puas, iri, ingin mendapat sesuatu dengan cara yang mudah).
Perilaku konsumtif, biasanya kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang sangat potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut – ikutan teman, tidak realistis dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat - sifat remaja inilah yang sering dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja.
Dikalangan remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama di kota - kota besar, mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga membuat para remaja merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Contohnya saja dengan berbagai merk hp dan serinya sampai- sampai ada yang membuat tiruannya dengan harga yang fantastis murahnya. Alhasil, muncullah perilaku konsumtif.
Dari sejumlah penelitian, ada perbedaan dalam pola konsumtif antara pria dan wanita. Juga terdapat sifat yang berbeda antara pria dan wanita dalam perilaku membeli.
Perbedaan tersebut adalah:
a. Pria
• mudah terpengaruh bujukan penjual
• sering tertipu karena tidak sabar dalam memilih barang
• mempunyai perasaan kurang enak bila tidak membeli sesuatu setelah memasuki toko
• kurang menikmati kegiatan berbelanja sehingga sering terburu-buru mengambil suatu keputusan membeli.
b. Wanita
• lebih tertarik pada warna dan bentuk bukan pada hal yang teknis
• tidak mudah terbawa arus bujukan penjual
• menyenangi hal- hal yang romantis daripada obyektif
• cepat merasakan suasana toko
• senang melakukan kegiatan belanja walau hanya “window shopping" (melihat saja tetapi tidak membeli)
Remaja dalam perkembangan kognitif dan emosinya masih memandang bahwa atribut yang superficial itu sama penting ( bahkan lebih penting ) dengan substansi.Akan menjadi masalah ketika kecenderungan yang seharusnya wajar pada remaja ini dilakukan secara berlebihan.
Ada pepatah “Lebih besar pasak daripada tiang “, terkadang apa yang dituntut diluar kemampuan yang kita miliki. Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar dalam gaya hidup sekelompok remaja yang dalam perkembangannya mereka akan menjadi dewasa dengan gaya hidup konsumtif.
Daftar Pustaka
Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2011/08/01/bulan-puasa-setan-konsumtif-itu-terbebaskan/
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)
Kata “ konsumtif “ ( sebagai kata sifat, lihat akhiran if ) sering diartikan sama dengan “ konsumerisme “. Sebenanya kata yang terakhir ini mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen. Sedangkan konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang - barang yang kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal.
Dalam era globalisasi ini dan di tengah kondisi insibilitas ekonomi yang mengakibatkan terus melonjaknya harga komoditas bahan pokok saat ini, pengendalian diri sangatlah penting. Sedini mungkin hendaknya menghindari pola hidup konsumtif. Kebiasaan konsumtif ini biasanya didasari oleh faktor gengsi(banyak orang merasa tidak puas, iri, ingin mendapat sesuatu dengan cara yang mudah).
Perilaku konsumtif, biasanya kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang sangat potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut – ikutan teman, tidak realistis dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat - sifat remaja inilah yang sering dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja.
Dikalangan remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama di kota - kota besar, mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga membuat para remaja merasa tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Contohnya saja dengan berbagai merk hp dan serinya sampai- sampai ada yang membuat tiruannya dengan harga yang fantastis murahnya. Alhasil, muncullah perilaku konsumtif.
Dari sejumlah penelitian, ada perbedaan dalam pola konsumtif antara pria dan wanita. Juga terdapat sifat yang berbeda antara pria dan wanita dalam perilaku membeli.
Perbedaan tersebut adalah:
a. Pria
• mudah terpengaruh bujukan penjual
• sering tertipu karena tidak sabar dalam memilih barang
• mempunyai perasaan kurang enak bila tidak membeli sesuatu setelah memasuki toko
• kurang menikmati kegiatan berbelanja sehingga sering terburu-buru mengambil suatu keputusan membeli.
b. Wanita
• lebih tertarik pada warna dan bentuk bukan pada hal yang teknis
• tidak mudah terbawa arus bujukan penjual
• menyenangi hal- hal yang romantis daripada obyektif
• cepat merasakan suasana toko
• senang melakukan kegiatan belanja walau hanya “window shopping" (melihat saja tetapi tidak membeli)
Remaja dalam perkembangan kognitif dan emosinya masih memandang bahwa atribut yang superficial itu sama penting ( bahkan lebih penting ) dengan substansi.Akan menjadi masalah ketika kecenderungan yang seharusnya wajar pada remaja ini dilakukan secara berlebihan.
Ada pepatah “Lebih besar pasak daripada tiang “, terkadang apa yang dituntut diluar kemampuan yang kita miliki. Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar dalam gaya hidup sekelompok remaja yang dalam perkembangannya mereka akan menjadi dewasa dengan gaya hidup konsumtif.
Daftar Pustaka
Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2011/08/01/bulan-puasa-setan-konsumtif-itu-terbebaskan/
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)
Konsep - Konsep Produksi Dan Marketing, Dan Cara Memuaskan Konsumen
Konsep - konsep produksi dan marketing :
Production concept
Konsumen pada umumnya lebih tertarik dengan produk-produk yang harganya lebih murah. Mutlak diketahui bahwa objek marketing tersebut murah, produksi yang efisien dan distribusi yang intensif.
Product concept
Konsumen akan menggunakan atau membeli produk yang ditawarkan tersebut memiliki kualitas yang tinggi, performa yang terbaik dan memiliki fitur-fitur yang lengkap.
Selling concept
Marketer memiliki tujuan utama yaitu menjual produk yang diputuskan secara sepihak untuk diproduksi.
Marketing concept
Perusahaan mengetahui keinginan konsumen melalui riset yang telah dilakukan sebelumnya, kemudian memproduksi produk yang diinginkan konsumen. Konsep ini disebut marketing concept.
Market segmentation
Membagi kelompok pasar yang heterogen ke kelompok pasar yang homogen.
Market targeting
Memilih satu atau lebih segmen yang mengidentifikasikan perusahaan untuk menentukan.
Positioning
Memuaskan Konsumen
Mengembangkan pemikiran yang berbeda untuk barang dan jasa yang ada dalam pikiran konsumen.
Menyediakan nilai pelanggan didefinisikan sebagai rasio antara keuntungan yang dirasakan sumber-sumber (ekonomi, fungsional dan psikologi) digunakan untuk menghasilkan keuntungan-keuntungan tersebut. Keuntungan yang telah dirasakan berupa relative dan subjektif.
Kepuasan pelanggan adalah persepsi individu dari performa produk atau jasa dalam hubungannya dengan harapan-harapan.
Mempertahankan konsumen adalah bagaimana mempertahankan supaya konsumen tetap loyal dengan satu perusahaan dibandingkan dengan perusahaan lain, hampir dalam semua situasi bisnis, lebih mahal untuk mencari pelanggan baru dibandingkan mempertahankan yang sudah ada
Cara agar memuaskan konsumen
Dalam kaitannya dengan kepuasan Konsumen/pelanggan, kualitas memiliki beberapa dimensi pokok, tergantung pada konteksnya. Dalam kasus pemasaran barang, ada delapan dimensi utama yang biasanya digunakan (menurut Gregorius Chandra 2002), yaitu:
1. Kinerja (performance): Karakteristik operasi dasar dari suatu produk, misalnya kecepatan pengiriman barang, serta jaminan keselamatan barang.
2. Fitur (features): karakteristik pelengkap khusus yang dapat menarik pembeli pada saat transaksi.
3. Reliabilitas, yaitu probabilitas terjadinya kegagalan atau kerusakan produk dalam periode waktu tertentu. Semakin kecil kemungkinan terjadinya kerusakan, semakin andal produk bersangkutan.
4. Konformasi (conformance), yaitu tingkat kesesuaian produk dengan standar yang telah ditetapkan,
5. Daya Tahan (Durability), yaitu jumlah pemakaian produk sebelum produk bersangkutan harus diganti. Semakin besar frekuensi pemakaian normal yang dimungkinkan, semakin besar pula daya tahan produk.
6. Serviceablility, yaitu kecepatan dan kemudahan untuk direparasi, serta kompetensi dan keramahtamahan staf layanan.
7. Estetika (aesthetics), menyangkut penampilan produk yang bisa dinilai dengan panca indrea (rasa, bau, suara dst).
8. Persepsi terhadap kualitas (perceived quality), yaitu kulitas yang dinilai berdasarkan reputasi penjual.misal BMW, SONY dll.
Daftar Pustaka
Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
eprints.undip.ac.id/.../POSMODERNISME_DAN_BUDAYA_KONSUMEN.doc ( diunduh pada 13 oktober 2011, pukul 22.00 wib)
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)
Production concept
Konsumen pada umumnya lebih tertarik dengan produk-produk yang harganya lebih murah. Mutlak diketahui bahwa objek marketing tersebut murah, produksi yang efisien dan distribusi yang intensif.
Product concept
Konsumen akan menggunakan atau membeli produk yang ditawarkan tersebut memiliki kualitas yang tinggi, performa yang terbaik dan memiliki fitur-fitur yang lengkap.
Selling concept
Marketer memiliki tujuan utama yaitu menjual produk yang diputuskan secara sepihak untuk diproduksi.
Marketing concept
Perusahaan mengetahui keinginan konsumen melalui riset yang telah dilakukan sebelumnya, kemudian memproduksi produk yang diinginkan konsumen. Konsep ini disebut marketing concept.
Market segmentation
Membagi kelompok pasar yang heterogen ke kelompok pasar yang homogen.
Market targeting
Memilih satu atau lebih segmen yang mengidentifikasikan perusahaan untuk menentukan.
Positioning
Memuaskan Konsumen
Mengembangkan pemikiran yang berbeda untuk barang dan jasa yang ada dalam pikiran konsumen.
Menyediakan nilai pelanggan didefinisikan sebagai rasio antara keuntungan yang dirasakan sumber-sumber (ekonomi, fungsional dan psikologi) digunakan untuk menghasilkan keuntungan-keuntungan tersebut. Keuntungan yang telah dirasakan berupa relative dan subjektif.
Kepuasan pelanggan adalah persepsi individu dari performa produk atau jasa dalam hubungannya dengan harapan-harapan.
Mempertahankan konsumen adalah bagaimana mempertahankan supaya konsumen tetap loyal dengan satu perusahaan dibandingkan dengan perusahaan lain, hampir dalam semua situasi bisnis, lebih mahal untuk mencari pelanggan baru dibandingkan mempertahankan yang sudah ada
Cara agar memuaskan konsumen
Dalam kaitannya dengan kepuasan Konsumen/pelanggan, kualitas memiliki beberapa dimensi pokok, tergantung pada konteksnya. Dalam kasus pemasaran barang, ada delapan dimensi utama yang biasanya digunakan (menurut Gregorius Chandra 2002), yaitu:
1. Kinerja (performance): Karakteristik operasi dasar dari suatu produk, misalnya kecepatan pengiriman barang, serta jaminan keselamatan barang.
2. Fitur (features): karakteristik pelengkap khusus yang dapat menarik pembeli pada saat transaksi.
3. Reliabilitas, yaitu probabilitas terjadinya kegagalan atau kerusakan produk dalam periode waktu tertentu. Semakin kecil kemungkinan terjadinya kerusakan, semakin andal produk bersangkutan.
4. Konformasi (conformance), yaitu tingkat kesesuaian produk dengan standar yang telah ditetapkan,
5. Daya Tahan (Durability), yaitu jumlah pemakaian produk sebelum produk bersangkutan harus diganti. Semakin besar frekuensi pemakaian normal yang dimungkinkan, semakin besar pula daya tahan produk.
6. Serviceablility, yaitu kecepatan dan kemudahan untuk direparasi, serta kompetensi dan keramahtamahan staf layanan.
7. Estetika (aesthetics), menyangkut penampilan produk yang bisa dinilai dengan panca indrea (rasa, bau, suara dst).
8. Persepsi terhadap kualitas (perceived quality), yaitu kulitas yang dinilai berdasarkan reputasi penjual.misal BMW, SONY dll.
Daftar Pustaka
Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
eprints.undip.ac.id/.../POSMODERNISME_DAN_BUDAYA_KONSUMEN.doc ( diunduh pada 13 oktober 2011, pukul 22.00 wib)
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)
KONSUMEN
PENGERTIAN KONSUMEN
Konsumen adalah orang yang memakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali, maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh karena itu produsen yang memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen.
Gregorius Chandra (2002) menyatakan bahwa konsep pemasaran dan pemasaran sosial menekankan pentingnya kepuasan pelanggan dalam menunjang keberhasilan organisasi untuk mewujudkan tujuannya. Secara sederhana, tingkat kepuasan seorang pelanggan terhadap produk tertentu merupakan hasil dari perbandingan yang dilakukan oleh pelanggan bersangkutan atas tingkat manfaat yang dipersepsikan (perceived) telah diterimanya setelah mengkonsumsi atau menggunakan produk dan tingkat manfaat yang diharapkan (expected) sebelum pembelian jasa. Jika persepsi sama atau lebih besar dibandingkan harapan, maka pelanggan akan puas. Secara garis besar, kepuasan pelanggan memberikan dua menfaat utama bagi perusahaan, yaitu berupa loyalitas pelanggan dan gethok tular (Word of mouth) positif.
Pengertian Konsumen menurut Philip Kotler (2000) dalam bukunya Prinsiples Of Marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi.
PRILAKU KONSUMEN
Perilaku konsumen adalah studi mengenai individu, kelompok atau organisasi dan proses-proses yang dilakukan dalam memilih, menentukan, mendapatkan, menggunakan, dan menghentikan pemakaian produk, jasa, pengalaman, atau ide untuk memuaskan kebutuhan serta dampak proses-proses tersebut terhadap konsumen dan masyarakat (Hawkins, Best & Coney, 2001)
Perilaku konsumen adalah Aktivitas mental dan fisik yang dilakukan oleh pelanggan rumah tangga (konsumen akhir) dan pelanggan bisnis yang menghasilkan keputusan untuk membayar, membeli, dan menggunakan produk dan jasa tertentu (Sheth & Mittal,2004)
Pengaruh digital revolution telah menimbulkan perubahan yang drastis terhadap lingkungan bisnis, hal ini dapat dilihat sebagai berikut :
1. Konsumen lebih memiliki kekuatan dibandingkan sebelumnya.
2. Konsumen memiliki akses untuk mendapakan informasi yang lebih dibandingkan sebelumnya.
3. Para marketer dapat menawarkan produk dan jasa yang lebih dibandingkan sebelumnya.
4. Pertukaran antara marketer dan konsumen akan lebih interaktif dan spontan.
5. Marketer dapat mengumpulkan lebih banyak informasi tentang konsumen dengan cepat dan mudah.
Perilaku konsumen :
Adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Focus dari perilaku konsumen adalah bagaimana individu membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya mereka yang telah tersedia untuk mengkonsumsi suatu barang.
Dua wujud konsumen
1. Personal Consumer : konsumen ini membeli atau menggunakan barang atau jasa untuk penggunaannya sendiri.
2. Organizational Consumer : konsumen ini membeli atau menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan dan menjalankan organisasi tersebut.
Faktor faktor yang mempengaruhi konsumen
Konsumen adalah individu yang mempunyai warna tersendiri tiap-tiap individunya, sebagai pemasar kita perlu memahami konsep pemikiran mereka dengan mereka faktor yang mempengaruhi konsumen, seperti faktor :
Faktor-faktor kebudayaan
Faktor-faktor kebudayaan berpengaruh luas dan mendalam terhadap perilaku konsumen. Kita akan membahas peranan yang dimainkan oleh kebudayaan, sub budaya, dan kelas sosial pembeli.
Kebudayaan
Adalah faktor penentu keinginan dan perilaku seseorang yang paling mendasar. Jika makhluk yang lebih rendah perilakunya sebagian besar diatur oleh naluri, maka perilaku manusia sebagian besar adalah dipelajari.
Anak yang dibesarkan dalam sebuah masyarakat mempelajari seperangkat nilai dasar, persepsi, preferensi, dan perilaku melalui sebuah proses sosialisasi yang melibatkan keluarga dan berbagai lembaga penting lainnya. Karena itu, seseorang anak yang dibesarkan dalam kebudayaan tertentu akan mempunyai nilai-nilai kebudayaan tertentu pula (seperti nilai prestasi dan keberhasilan, aktivitas, efisiensi, dan kepraktisan, kemajuan, kenyataan, kenyamanan material, individualisme, kebebasan, kenikmatan eksternal, kemanusiaan dan sikap serta jiwa muda).
Sub Budaya
Setiap budaya mempunyai kelompok-kelompok sub budaya yang lebih kecil yang merupakan identifikasi dan sosialisasi yang khas untuk perilaku anggotanya.
Kelas Sosial
Sebenarnya, semua masyarakat manusia menampilkan lapisan-lapisan sosial. Lapisan-lapisan sosial ini kadang-kadang berupa sebuah sistem kasta dimana para anggota kasta yang berbeda memikul peranan tertentu dan mereka tak dapat mengubah keanggotaan kastanya. Malah lebih sering lapisan sosial itu berbentuk kelas sosial. Kelas sosial adalah sebentuk kelompok yang relatif homogen dan bertahan lama dalam sebuah masyarakat yang tersusun dalam sebuah urutan jenjang dan para anggota dalam setiap jenjang itu memiliki nilai, minat dan tingkah laku sama.
Faktor-Faktor Sosial
Perilaku seorang konsumen juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, seperti kelompok referensi keluarga, status, dan peranan sosial.
Kelompok Referensi
Perilaku seseorang amat dipengaruhi oleh berbagai kelompok-kelompok yang memberikan pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang.
Keluarga
Para anggota keluarga dapat mempengaruhi dengan kuat terhadap perilaku membeli. Kita dapat membedakan dua maaca keluarga dalam kehidupan pembeli. Pertama, keluarga sebagai sumber orientasi yang terdiri dari orangtua. Kedua, keluarga sebagai sumber keturunan, disani adanya hubungan yang saling mempengaruhi (suami-istri dan anak).
Peranan dan Status
Sepanjang kehidupan, seseorang terlibat dalam beberapa kelompok, yaitu : keluarga, klub dan organisasi. Kedudukan seseorang dalam setiap kelompok dapat diartikan sebagai Peranan dan Status.
Faktor Pribadi
Keputusan seorang pembeli juga dipengaruhi oleh ciri-ciri kepribadiannya, termasuk usia dan daur hidupnya, pekerjaannya, kondisi ekonomi, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri.
Faktor Psikologis
Pilihan seseorang membeli juga dipengaruhi oleh empat faktor psikologis utama, yaitu : motivasi, persepsi belajar, kepercayaan dan sikap.
Motivasi
Seperti yang diterangkan oleh teori Robert Maslow: Dimulai dengan kebutuhan-kebutuhan fisiologis (lapar, haus), disusul kebutuhan-kebutuhan keselamatan (perasaan aman, perlindungan), kemudian kebutuhan-kebutuhan sosial (perasaan menjadi anggota lingkungan dan dicintai), selanjutnya kebutuhan-kebutuhan untuk dihargai (harga diri, pengakuan, status) dan mengkerucut ke kebutuhan-kebutuhan pernyataan diri (pengembangan dan perwujudan diri).
Persepsi
Fenomena yang ditangkap oleh panca indera dan dimaknai oleh pikiran.
Belajar
Sewaktu orang berbuat, mereka belajar. Belajar menggambarkan perubahan dalam perilaku seseorang individu yang bersumber dari pengalaman.
Kepercayaan dan Sikap
Melalui perbuatan dan belajar, orang memperoleh kepercayaan dan sikap. Kepercayaan adalah gagasan deskriptif yang dianut oleh seseorang tentang sesuatu. Sebuah sikap, menggambarkan penilaian kognitif yang baik maupun tidak baik, perasaan-perasaan emosional dan kecenderungan berbuat yang bertahan selama waktu tertentu terhadap beberapa obyek atau gagasan.
Daftar Pustaka
Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
eprints.undip.ac.id/.../POSMODERNISME_DAN_BUDAYA_KONSUMEN.doc ( diunduh pada 13 oktober 2011, pukul 22.00 wib)
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)
Konsumen adalah orang yang memakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali, maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh karena itu produsen yang memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen.
Gregorius Chandra (2002) menyatakan bahwa konsep pemasaran dan pemasaran sosial menekankan pentingnya kepuasan pelanggan dalam menunjang keberhasilan organisasi untuk mewujudkan tujuannya. Secara sederhana, tingkat kepuasan seorang pelanggan terhadap produk tertentu merupakan hasil dari perbandingan yang dilakukan oleh pelanggan bersangkutan atas tingkat manfaat yang dipersepsikan (perceived) telah diterimanya setelah mengkonsumsi atau menggunakan produk dan tingkat manfaat yang diharapkan (expected) sebelum pembelian jasa. Jika persepsi sama atau lebih besar dibandingkan harapan, maka pelanggan akan puas. Secara garis besar, kepuasan pelanggan memberikan dua menfaat utama bagi perusahaan, yaitu berupa loyalitas pelanggan dan gethok tular (Word of mouth) positif.
Pengertian Konsumen menurut Philip Kotler (2000) dalam bukunya Prinsiples Of Marketing adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi.
PRILAKU KONSUMEN
Perilaku konsumen adalah studi mengenai individu, kelompok atau organisasi dan proses-proses yang dilakukan dalam memilih, menentukan, mendapatkan, menggunakan, dan menghentikan pemakaian produk, jasa, pengalaman, atau ide untuk memuaskan kebutuhan serta dampak proses-proses tersebut terhadap konsumen dan masyarakat (Hawkins, Best & Coney, 2001)
Perilaku konsumen adalah Aktivitas mental dan fisik yang dilakukan oleh pelanggan rumah tangga (konsumen akhir) dan pelanggan bisnis yang menghasilkan keputusan untuk membayar, membeli, dan menggunakan produk dan jasa tertentu (Sheth & Mittal,2004)
Pengaruh digital revolution telah menimbulkan perubahan yang drastis terhadap lingkungan bisnis, hal ini dapat dilihat sebagai berikut :
1. Konsumen lebih memiliki kekuatan dibandingkan sebelumnya.
2. Konsumen memiliki akses untuk mendapakan informasi yang lebih dibandingkan sebelumnya.
3. Para marketer dapat menawarkan produk dan jasa yang lebih dibandingkan sebelumnya.
4. Pertukaran antara marketer dan konsumen akan lebih interaktif dan spontan.
5. Marketer dapat mengumpulkan lebih banyak informasi tentang konsumen dengan cepat dan mudah.
Perilaku konsumen :
Adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Focus dari perilaku konsumen adalah bagaimana individu membuat keputusan untuk menggunakan sumber daya mereka yang telah tersedia untuk mengkonsumsi suatu barang.
Dua wujud konsumen
1. Personal Consumer : konsumen ini membeli atau menggunakan barang atau jasa untuk penggunaannya sendiri.
2. Organizational Consumer : konsumen ini membeli atau menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan dan menjalankan organisasi tersebut.
Faktor faktor yang mempengaruhi konsumen
Konsumen adalah individu yang mempunyai warna tersendiri tiap-tiap individunya, sebagai pemasar kita perlu memahami konsep pemikiran mereka dengan mereka faktor yang mempengaruhi konsumen, seperti faktor :
Faktor-faktor kebudayaan
Faktor-faktor kebudayaan berpengaruh luas dan mendalam terhadap perilaku konsumen. Kita akan membahas peranan yang dimainkan oleh kebudayaan, sub budaya, dan kelas sosial pembeli.
Kebudayaan
Adalah faktor penentu keinginan dan perilaku seseorang yang paling mendasar. Jika makhluk yang lebih rendah perilakunya sebagian besar diatur oleh naluri, maka perilaku manusia sebagian besar adalah dipelajari.
Anak yang dibesarkan dalam sebuah masyarakat mempelajari seperangkat nilai dasar, persepsi, preferensi, dan perilaku melalui sebuah proses sosialisasi yang melibatkan keluarga dan berbagai lembaga penting lainnya. Karena itu, seseorang anak yang dibesarkan dalam kebudayaan tertentu akan mempunyai nilai-nilai kebudayaan tertentu pula (seperti nilai prestasi dan keberhasilan, aktivitas, efisiensi, dan kepraktisan, kemajuan, kenyataan, kenyamanan material, individualisme, kebebasan, kenikmatan eksternal, kemanusiaan dan sikap serta jiwa muda).
Sub Budaya
Setiap budaya mempunyai kelompok-kelompok sub budaya yang lebih kecil yang merupakan identifikasi dan sosialisasi yang khas untuk perilaku anggotanya.
Kelas Sosial
Sebenarnya, semua masyarakat manusia menampilkan lapisan-lapisan sosial. Lapisan-lapisan sosial ini kadang-kadang berupa sebuah sistem kasta dimana para anggota kasta yang berbeda memikul peranan tertentu dan mereka tak dapat mengubah keanggotaan kastanya. Malah lebih sering lapisan sosial itu berbentuk kelas sosial. Kelas sosial adalah sebentuk kelompok yang relatif homogen dan bertahan lama dalam sebuah masyarakat yang tersusun dalam sebuah urutan jenjang dan para anggota dalam setiap jenjang itu memiliki nilai, minat dan tingkah laku sama.
Faktor-Faktor Sosial
Perilaku seorang konsumen juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, seperti kelompok referensi keluarga, status, dan peranan sosial.
Kelompok Referensi
Perilaku seseorang amat dipengaruhi oleh berbagai kelompok-kelompok yang memberikan pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang.
Keluarga
Para anggota keluarga dapat mempengaruhi dengan kuat terhadap perilaku membeli. Kita dapat membedakan dua maaca keluarga dalam kehidupan pembeli. Pertama, keluarga sebagai sumber orientasi yang terdiri dari orangtua. Kedua, keluarga sebagai sumber keturunan, disani adanya hubungan yang saling mempengaruhi (suami-istri dan anak).
Peranan dan Status
Sepanjang kehidupan, seseorang terlibat dalam beberapa kelompok, yaitu : keluarga, klub dan organisasi. Kedudukan seseorang dalam setiap kelompok dapat diartikan sebagai Peranan dan Status.
Faktor Pribadi
Keputusan seorang pembeli juga dipengaruhi oleh ciri-ciri kepribadiannya, termasuk usia dan daur hidupnya, pekerjaannya, kondisi ekonomi, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri.
Faktor Psikologis
Pilihan seseorang membeli juga dipengaruhi oleh empat faktor psikologis utama, yaitu : motivasi, persepsi belajar, kepercayaan dan sikap.
Motivasi
Seperti yang diterangkan oleh teori Robert Maslow: Dimulai dengan kebutuhan-kebutuhan fisiologis (lapar, haus), disusul kebutuhan-kebutuhan keselamatan (perasaan aman, perlindungan), kemudian kebutuhan-kebutuhan sosial (perasaan menjadi anggota lingkungan dan dicintai), selanjutnya kebutuhan-kebutuhan untuk dihargai (harga diri, pengakuan, status) dan mengkerucut ke kebutuhan-kebutuhan pernyataan diri (pengembangan dan perwujudan diri).
Persepsi
Fenomena yang ditangkap oleh panca indera dan dimaknai oleh pikiran.
Belajar
Sewaktu orang berbuat, mereka belajar. Belajar menggambarkan perubahan dalam perilaku seseorang individu yang bersumber dari pengalaman.
Kepercayaan dan Sikap
Melalui perbuatan dan belajar, orang memperoleh kepercayaan dan sikap. Kepercayaan adalah gagasan deskriptif yang dianut oleh seseorang tentang sesuatu. Sebuah sikap, menggambarkan penilaian kognitif yang baik maupun tidak baik, perasaan-perasaan emosional dan kecenderungan berbuat yang bertahan selama waktu tertentu terhadap beberapa obyek atau gagasan.
Daftar Pustaka
Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
eprints.undip.ac.id/.../POSMODERNISME_DAN_BUDAYA_KONSUMEN.doc ( diunduh pada 13 oktober 2011, pukul 22.00 wib)
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)
KONSUMSI
Pengertian Konsumsi
Konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.
Tujuan dari konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia dan memperoleh kepuasan dari pemenuhan tersebut.
Tingkat konsumsi seseorang dipengaruhi oleh banyak hal yang berkaitan. Seseorang membelanjakan uang yang dimiliki sebelumnya dipengaruhi oleh banyak pertimbangan akibat adanya kalangkaan. Berikut ini dipaparkan penyebab perubahan tingkat pengeluaran atau konsumsi dalam rumah tangga :
a. Penyebab Faktor Ekonomi:
1. Pendapatan
Pendapatan yang meningkat tentu saja biasanya otomatis diikuti dengan peningkatan pengeluaran konsumsi. Contoh : Orang yang tadinya hanya beli baju dan keperluan lainnya saat baju atau barangnya akan dipakai, beralih menjadi shopaholic hanya karena mendapat gaji yang lebih.
2. Kekayaan
Orang kaya yang punya banyak aset riil biasanya memiliki pengeluaran konsumsi yang besar. Contohnya seperti seseorang yang memiliki beberapa perusahaan atau toko biasanya akan memiliki banyak uang tanpa harus banyak bekerja. Dengan demikian orang tersebut dapat membeli banyak barang dan jasa karena punya banyak pemasukan dari hartanya.
3. Tingkat Bunga
Bunga bank yang tinggi akan mengurangi tingkat konsumsi yang tinggi karena orang lebih tertarik menabung di bank dengan bunga tetap tabungan atau deposito yang tinggi dibanding dengan membelanjakan banyak uang.
4. Perkiraan Masa Depan
Orang yang was-was tentang nasibnya di masa yang akan datang akan menekan konsumsi. Biasanya seperti orang yang mau pensiun, punya anak yang butuh biaya sekolah, ada yang sakit butuh banyak biaya perobatan, dan lain sebagainya
b. Penyebab Faktor Demografi
1. Komposisi Penduduk
Dalam suatu wilayah jika jumlah orang yang usia kerja produktif banyak maka konsumsinya akan tinggi. Bila yang tinggal di kota ada banyak maka konsumsi suatu daerah akan tinggi juga. Bila tingkat pendidikan sumber daya manusia di wilayah itu tinggi-tinggi maka biasanya pengeluaran wilayah tersebut menjadi tinggi.
2. Jumlah Penduduk
Jika suatu daerah jumlah orangnya sedikit sekali maka biasanya konsumsinya sedikit. Jika orangnya ada sangat banyak maka konsumsinya sangat banyak pula
c. Penyebab / Faktor Lain
1. Kebiasaan Adat Sosial Budaya
Suatu kebiasaan di suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang. Di daerah yang memegang teguh adat istiadat untuk hidup sederhana biasanya akan memiliki tingkat konsumsi yang kecil. Sedangkan daerah yang memiliki kebiasaan gemar pesta adat biasanya memiliki pengeluaran yang besar.
2. Gaya Hidup Seseorang
Seseorang yang berpenghasilan rendah dapat memiliki tingkat pengeluaran yang tinggi jika orang itu menyukai gaya hidup yang mewah dan gemar berhutang baik kepada orang lain maupun dengan kartu kredit.
Daftar Pustaka
Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
eprints.undip.ac.id/.../POSMODERNISME_DAN_BUDAYA_KONSUMEN.doc ( diunduh pada 13 oktober 2011, pukul 22.00 wib)
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)
Konsumsi berasal dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.
Tujuan dari konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia dan memperoleh kepuasan dari pemenuhan tersebut.
Tingkat konsumsi seseorang dipengaruhi oleh banyak hal yang berkaitan. Seseorang membelanjakan uang yang dimiliki sebelumnya dipengaruhi oleh banyak pertimbangan akibat adanya kalangkaan. Berikut ini dipaparkan penyebab perubahan tingkat pengeluaran atau konsumsi dalam rumah tangga :
a. Penyebab Faktor Ekonomi:
1. Pendapatan
Pendapatan yang meningkat tentu saja biasanya otomatis diikuti dengan peningkatan pengeluaran konsumsi. Contoh : Orang yang tadinya hanya beli baju dan keperluan lainnya saat baju atau barangnya akan dipakai, beralih menjadi shopaholic hanya karena mendapat gaji yang lebih.
2. Kekayaan
Orang kaya yang punya banyak aset riil biasanya memiliki pengeluaran konsumsi yang besar. Contohnya seperti seseorang yang memiliki beberapa perusahaan atau toko biasanya akan memiliki banyak uang tanpa harus banyak bekerja. Dengan demikian orang tersebut dapat membeli banyak barang dan jasa karena punya banyak pemasukan dari hartanya.
3. Tingkat Bunga
Bunga bank yang tinggi akan mengurangi tingkat konsumsi yang tinggi karena orang lebih tertarik menabung di bank dengan bunga tetap tabungan atau deposito yang tinggi dibanding dengan membelanjakan banyak uang.
4. Perkiraan Masa Depan
Orang yang was-was tentang nasibnya di masa yang akan datang akan menekan konsumsi. Biasanya seperti orang yang mau pensiun, punya anak yang butuh biaya sekolah, ada yang sakit butuh banyak biaya perobatan, dan lain sebagainya
b. Penyebab Faktor Demografi
1. Komposisi Penduduk
Dalam suatu wilayah jika jumlah orang yang usia kerja produktif banyak maka konsumsinya akan tinggi. Bila yang tinggal di kota ada banyak maka konsumsi suatu daerah akan tinggi juga. Bila tingkat pendidikan sumber daya manusia di wilayah itu tinggi-tinggi maka biasanya pengeluaran wilayah tersebut menjadi tinggi.
2. Jumlah Penduduk
Jika suatu daerah jumlah orangnya sedikit sekali maka biasanya konsumsinya sedikit. Jika orangnya ada sangat banyak maka konsumsinya sangat banyak pula
c. Penyebab / Faktor Lain
1. Kebiasaan Adat Sosial Budaya
Suatu kebiasaan di suatu wilayah dapat mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang. Di daerah yang memegang teguh adat istiadat untuk hidup sederhana biasanya akan memiliki tingkat konsumsi yang kecil. Sedangkan daerah yang memiliki kebiasaan gemar pesta adat biasanya memiliki pengeluaran yang besar.
2. Gaya Hidup Seseorang
Seseorang yang berpenghasilan rendah dapat memiliki tingkat pengeluaran yang tinggi jika orang itu menyukai gaya hidup yang mewah dan gemar berhutang baik kepada orang lain maupun dengan kartu kredit.
Daftar Pustaka
Dharmmesta, Basu Swastha. 1999. Saluran Pemasaran. BPFE : Yogyakarta.
Tjiptono, Fhandi. 2004. Pemasaran Jasa. Bayu Media : Malang.
eprints.undip.ac.id/.../POSMODERNISME_DAN_BUDAYA_KONSUMEN.doc ( diunduh pada 13 oktober 2011, pukul 22.00 wib)
http://www.indowarta.com/index.php?view=article&catid=102:opini&id=310:budaya-konsumerisme&option=com_content&Itemid=333 ( diunduh pada 11 oktober 2011, pukul 15.25 wib)
Friday, October 7, 2011
Kebudayaan Indis
Kebudayaan Indis
Materi 1
Andreas Anthony (11509408)
Ma'ruf Purwo Pujasera (10509666)
Rezi Dwi Saputra (16509726)
Riefa Amanda (10509254)
Rizky Fajar (16509521)
Psikologi Lintas Budaya
Pendahuluan
Kolonialisme yang dibuat oleh Belanda pada nusantara Indonesia ini menyebabkan suatu proses enkulturasi, lebih daripada itu bahkan menciptakan/melahirkan sebuah kebudayaan baru yang bercirikan kebudayaan Belanda dan pribumi Jawa kebudayaan baru yang terbentuk ini biasa dikenal orang dengan kebudayaan Indis.
Tujuh unsur universal budaya yang telah ada dalam masyarakat pribumi Jawa terpengaruh oleh kebudayaan Belanda dan terbentuk kebudayaan baru kemudian budaya tersebut mencirikan keunikkannya sendiri. Jadi dalam hal ini faktor budaya yang mempengaruhi perilaku manusia. Yang terdapat paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang didalamnya tercakup budaya
Tinjauan Pustaka
Bagaimana kita suka / tidak suka terhadap sesuatu dan pada akhirnya menentukan perilaku kita. Sikap kita berorientasi kepada respon sikap adalah suatu bentuk dari perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (Unfavourable) pada suatu objek. Sikap juga berorientasi kepada kesiapan respon, sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Sikap merupakan suatu pola perilaku, tendenasi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial yang telah terkondisikan.
Komponen atau Struktur Sikap
Menurut Mar’at (1984):
1. Komponen kognisi yang berhubungan dengan belief (kepercayaan atau keyakinan), ide, konsep yaitu persepsi, stereotipe, opini yang dimiliki individu mengenai sesuatu
2. Komponen Afeksi yang berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang misalnya menyangkut perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi
3. Komponen Kognisi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku seperti ”kecenderungan” : belum berperilaku.
- Interaksi antara komponen sikap: seharusnya membentuk pola sikap yang seragam ketika dihadapkan pada objek sikap. Apabila salah satu komponen sikap tidak konsisten satu sama lain, maka akan terjadi ketidakselarasan akibatnya terjadi perubahan sikap .
Dalam hal akulturasi budaya hingga menciptakan suatu kebudayaan yang baru, maka generasi baru yang muncul mempergunakan persepinya untuk membandingkan keadaan akar budaya Belanda dan budaya pribumi Jawa, ini tidak berhenti sampai disitu saja namun terus berlanjut hingga terbentuk suatu sikap
Pembentukan Sikap
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap:
1. Pengalaman pribadi
§ Dasar pembentukan sikap: pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat
§ Sikap mudah terbentuk jika melibatkan faktor emosional
2. Kebudayaan
§ Pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut dibesarkan
§ Contoh pada sikap orang kota dan orang desa terhadap kebebasan dalam pergaulan
3. Orang lain yang dianggap penting (Significant Otjhers)
§ yaitu: orang-orang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah laku dan opini kita, orang yang tidak ingin dikecewakan, dan yang berarti khusus
§ Misalnya: orangtua, pacar, suami/isteri, teman dekat, guru, pemimpin
§ Umumnya individu tersebut akan memiliki sikap yang searah (konformis) dengan orang yang dianggap penting.
Hal-hal yang dipandang oleh para keturunan adalah ketidak nyamanan ketika harus menjadi salah seorang pribumi yang harus bekerja keras untuk memperoleh sesuatu, namun karena adanya kesempatan sebagai seorang keturunan Indo-Belanda maka mereka membuat dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada pribumi asli Jawa dengan memanfaatkan garis keturunan campuran, sehingga mereka tidak pernah mau untuk menyebut dirinya pribumi namun mencirikan diri mereka sendiri sebagai suatu kebudayaan baru.
Awal kehadiran orang Belanda
Pada abad ke-16, bangsa Belanda datang ke nusantara Indonesia untuk melakukan perdagangan dengan membeli rempah-rempah kepada orang-orang pribumi setempat, tapi kemudian tujuan organisasi perdagangan Belanda (VOC) berkembang. Mereka ingin menetap, yang selanjutnya digunakan pertahanan dan konsolidasi kekuatan, memonopoli perdagangan hingga menjadi penguasa terhadap seluruh nusantara. Akhir dari semunya adalah kolonialisme yang diterapkan oleh Belanda atas seluruh Indonesia (Hindia Belanda)
Politik liberal serta struktur feodal yang diberlakukan oleh Belanda mengakibatkan semakin luas dan berkembangnya perusahaan swasta, hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah tenaga kerja (buruh dan birokrasi). Tenaga buruh yang dapat diambil dari rakyat/pribumi jelata yang tidak berpendidikan kemudian untuk tenaga birokrasi perkantoran golongan rendah dan menengah diambil dari rakyat/pribumi Indonesia (suku jawa) yang berpendidikan sekolah, sedangkan pemegang kendali –kendali perusahaan langsung dipegang oleh orang Belanda yang banyak datang ke Indonesia
Kebudayaan baru pun muncul. Karena adanya larangan bagi orang-orang Belanda untuk membawa istri atau mendatangkan perempuan Belanda ke Hindia Belanda (Indonesia). Maka daripada itu lelaki Belanda terdorong untuk menikahi penduduk setempat. Maka, terjadilah percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran, dan menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-pribumi yang kita sebut gaya indis. Kemudian, pada tahun 1870 ketika terusan suez dibuka, hal itu berarti memperpendek jarak tempuh antara negeri Belanda dengan Hindia Belanda, hingga menyebabakan arus kehadiran perempuan semakin banyak, kehadiran perempuan Eropa ke nusantara pun memperluas percampuran kebudayaan yang telah terbentuk.
Kebudayaan Indis
Semakin banyaknya orang-orang Belanda yang datang ke Hindia Belanda dan membentuk koloni sendiri dan selain itu mereka juga ada yang menikahi orang pribumi (jawa) membuat terjadinya proses asimilasi semakin cepat, pertemuan antara budaya Belanda dan budaya jawa disebut dengan kebudayaan indis
Kebudayaan indis merupakan fenomena historis karena menghasilkan/mempengaruhi tujuh unsur-unsur universal budaya yang telah ada dalam masyarakat pribumi jawa sebelumnya.
Masyarakat pendukung kebudayaan Indis
Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di pulau jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan, yaitu budaya barat dan timur. Kebudayaan barat (Belanda) dan kebudayaan timur (jawa) masing-masing didukung oleh etnis dan struktur sosial yang berbeda dan semakin bercampur. Sejak abad ke-18 sampai awal abad kw-20 muncul golongan sosial baru sebagai pendukung kuat kebudayaan campuran (Belanda-jawa) di daerah jajahan Hindia Belanda.
Ketujuh unsur universal yang tepengaruh budaya Belanda ialah Bahasa (lisan dan tertulis), peralatan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi.
Misalnya perkembangan dalam bidang pendidikan dan organisasi menyebabkan modernisasi pada masyarakat Indis. Masyarakat pribumi yang berpendidikan barat menjadi terangkat martabatnya, mereka pun menjadi bersikap kooperatif terhadap Belanda. Dan hal ini menumbuhkan golongan sosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru yang menurut Sartono Kartodirdjo dibagi kedalam lima stratifikasi yaitu (1) Elite birokrasi yang terdiri atas Pangreh Praja Eropa dan Pangreh Praja Pribumi (2) Priyayi birokrasi termasuk priyayi ningrat (3) Priyayi professional (dibagi menjadi dua ada golongan priyayi gedhe dan priyayi cilik (4) Golongan Belanda dan golongan indo yang secara formal masuk status Eropa (5) Orang kecil (wong cilik). Golongan masyarakat tersebut, kecuali wong cilik, merupakan pendukung kuat kebudayaan indis
Aspek kognitif juga ikut mempengaruhi individu masyarakat indis, jika pribumi asli jawa akan canggung dengan suasana tempat tinggal bergaya barat yang modern. Lain halnya dengan masyarakat indis, mereka memodifikasi tempat tinggal dengan sedemikian rupa, jika mereka canggung atau merasa tidak nyaman dengan suasana tempat tinggal, mereka akan hanya menyesuaikan bentuk bangunannya.
Aspek normatif menunjukan keadaan yang dianggap sebagai hal yang berharga, yang menjadi tuntutan dan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih baik dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial. Sebagai contoh seorang pejabat pribumi, jika rumahnya masih bergaya jawa maka akan sulit untuk merundingkan sesuatu yang sifatnya rahasia secara face to face dalam ruangan pendapa, sedang tamu-tamu yang lain ikut hadir mengelilinginya. Oleh karena itu ia harus menyesuaikan ruangan dalam rumah agar tidak bercampur-baur.
Aspek afektif, yaitu tindakan kelompok yang menunjukan situasi. Aspek ini dikaitkan dengan aspek kehidupan berumah tangga, terutama komposisi sebuah keluarga yang tinggal dalam sebuah rumah.
Komposisi sosial. Keturunan kedua golongan masyarakat Belanda dan pribumi yang disebut indo masih tetap menganggap budaya masa lampau perlu untuk dibanggakan, karena perlu menggunakan budaya barat demi karir jabatan dan prestise dalam hidup masyarakat kolonial.
Sejak awal kehadiran bangsa Belanda telah terjadi kontak budaya yang kemudian menghasilkan perpaduan budaya. Kebudayaan campuran yang didukung oleh segolongan masyarakat Hindia Belanda itu disebut kebudayaan Indis. Dalam proses akulturasi dua kebudayaan tersebut, peran penguasa kolonial di Hindia Belanda sangat menentukan. Sementara itu, bangsa Indonesia menerima nasib sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri. Sebelum bangsa Belanda hadir, masyarakat pribumu Jawa sudah mengenal teknologi dengan cukup baik. Mereka sudah mahir mengolah bahan-bahan kayu, batu, logam dan tanah liat. Hal itu tampak dari gaya arsitektur rumah yang berelemen kayu dan bangunan candi yang berelemen batu. Bakat-bakat teknologi ini kemudian mereka padukan dengan pengetahuan dari Eropa-Belanda. Setelah terjadi proses akulturasi, mereka menghasilkan berbagai alat kelengkapan hidup seperti pakaian, arsitektur, dan alat-alat produksi bergaya Indis.
Gaya hidup masyarakat indis
Gaya hidup golongan masyarakat pendukung kebudayaan indis menunjukan perbedaan mencolok dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, terutama dengan kelompok masyarakat tradisiona jawa. Tujuh unsur universal kebudayaan indis, seperti halnya tujuh unsur universal yang dimiliki semua bangsa, mendapatkan bentuk yang berbeda dari akar budaya Belanda ataupun budaya pribumi Jawa. Sebagai golongan penguasa dan keturunan masyarakat yang mendukung dua akar kebudayaan yang berbeda, mereka berupaya untuk menunjukan kebesarannya yang berbeda pula dengan masyarakat kebanyakan. Kehidupan sosial dan ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan dengan kehidupan sosial masyarakat pribumi pada umumnya, memungkinkan mereka memiliki rumah tinggal berukuran besar yang bagus di dalam kompleks yang wilayahnya khusus pula, dalam hal ini, mereka mengacu pada lambang-lambang penguasa jawa dan kebesaran kekuasaan bangsa Eropa. selain itu mereka memulai kehidupan mewah dan boros akibat keberhasilan di bidang ekonomi melalui pengaruhnya sebagai anggota/bagian masyarakat indis. Dengan gaya hidup yang mewah itu mereka memepertahankan martabat dan kekuasaan koloninya. Kedudukan sebagai kelompok penguasa membuat masyarakat indis berupaya menjaga prestise dan kedudukanyaa melalui berbagai cara agar dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat lainnya. Kewibawaan, kekayaan dan kebesarannya ditampilkan agar tampak lebih mewah dan agung. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan kekuasaan mereka di nusantara.
Daur hidup dan gaya hidup mewah
Daur hidup (Life cycle) adalah suatu rangkaian dalam perkembangan kehidupan seseorang untuk kembali ke status aslinya dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Dalam membahas kemewahan gaya hidup masyarakat indis yang berhubungan dengan daur hidup ada tiga peristiwa penting dalam daur kehidupan manusia yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian.
Upacara kelahiran, kelahiran anggota baru dalam keluarga indis, lazim dirayakan dengan berbagai upacara. Sebelum melahirkan keluarga sufah menyiapkan baju Rajang unruk si bayi dan juga kelengkapan persalinan dan ruang tidur. Upacara penting setelah kelahirna adalah pemberian nama dan pembaptisan. Dari keseluruhan upacara-upacara untuk menyongsong kelahiran anak tidak terlalu banyak menelan biaya.
Upacara Pernikahan. Upacara Pernikahan memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan upacara kelahiran. Kemewahan upacara perkawinan ditentukan oleh kekayaan, tingkat jabatan, serta keberuntungan kedua calon pengantin dan orangtua pengantin
Upacara kematian. Upacara daur kehidupan yang terakhir adalah upacara kematian. Upacara kematian diselanggarakan dengan mewah dan menelan banyak biaya sangat besar. Misalnya untuk upacara kenatian oejabat VOC atau pemerintah Hindia Belanda memerlukan banyak pengerahan tenaga dan pemikiran berbagai pihak. Pengerahan dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari keluarga, rohaniawan, pejabat sipil, militer, sampai serdadu dan pemikul peti jenazah atau penggali kubur. Pada masa kejayaan VOC, upacara yang berhubungan dengan kematian seorang pejabat tinggi justru merupakan ajang pamer kemewahan, kebesaran dan kemegahan.
Kesimpulan
Kebudayaan indis adalah perpaduan antara budaya Belanda dan Indonesia (Jawa) yang mendapatkan bentuk yang berbeda dari akar budaya Belanda ataupun budaya pribumi Jawa. Hal ini disebabkan oleh karena pernikahan yang dilakukan oleh para lelaki Belanda kepada perempuan pribumi Jawa dan juga karena faktor pendidikan yang dapat diakses oleh beberapa/sebagian orang bangsa pribumi Jawa.
Masyarakat Indis tidak mau disamakan menjadi setingkat bangsa pribumi jawa yang lain namun karena mereka mempunyai akses untuk mengidentifikasi diri mereka menjadi warga eropa maka hal itu dimanfaatkan. Sehingga mereka dapat menduduki posisi setingkat diatas para pribumi jawa yang berarti juga mereka memiliki kekhususan dalam kehidupan sosial, ekonomi dibandingkan dengan masyarakat pribumi. Perlahan-lahan mereka mengadopsi budaya Belanda dan jawa, memadukan dua kebudayaan, mengambil yang bermanfaat dan yang berguna bagi kelangsungan masyarakat mereka dimulai dari cara berbahasa, peralatan perlengkapan hidup, mata pencaharian hidup dam sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi. Perubahan budaya ini diawali oleh proses berpikir oleh para keturunan atau masyarakat indis yang tidak mau status sosialnya disamakan atau disederajatkan dengan pribumi lain sehingga mereka terlihat berbeda dari barbagai aspek terhadap budaya bangsa Belanda dan pribumi jawa, seperti bentuk dan fungsi rumah, mata pencaharian, dan kesenian. Jadi diantara seluruh tatanan kebudayaan Belanda dan Kebudayaan Jawa terdapat kebudayaan Indis yang menarik masyarakatnya untuk berperilaku ke Belandaan dan tetap mengakar pada budaya pribumi jawa.
Dengan demikian kebudayaan Indis merupakan produk dari pengaruh kebudayaan barat sekaligus bagian dari kebudayaan modern Indonesia.
Saran
Dilihat dari satu sisi penjajahan/kolonialime yang dibuat bangsa Belanda di nusantara ini bersifat negatif, namun jika kita membuka cakrawala pikiran kita ternyata ada sisi positif yang terbawa dari bangsa Belanda kepada bangsa Indonesia, hal itu tercakup dalam terciptanya masyarakat Indis yang berpendidikan yang lebih menghargai nilai-nilai positif suatu budaya lain.
Daftar Pustaka
Soekiman, Djoko. 2011.Kebudayaan Indis dari zaman kompeni sampai revolusi. Jakarta : komunitas bambu.
Materi 1
Andreas Anthony (11509408)
Ma'ruf Purwo Pujasera (10509666)
Rezi Dwi Saputra (16509726)
Riefa Amanda (10509254)
Rizky Fajar (16509521)
Psikologi Lintas Budaya
Pendahuluan
Kolonialisme yang dibuat oleh Belanda pada nusantara Indonesia ini menyebabkan suatu proses enkulturasi, lebih daripada itu bahkan menciptakan/melahirkan sebuah kebudayaan baru yang bercirikan kebudayaan Belanda dan pribumi Jawa kebudayaan baru yang terbentuk ini biasa dikenal orang dengan kebudayaan Indis.
Tujuh unsur universal budaya yang telah ada dalam masyarakat pribumi Jawa terpengaruh oleh kebudayaan Belanda dan terbentuk kebudayaan baru kemudian budaya tersebut mencirikan keunikkannya sendiri. Jadi dalam hal ini faktor budaya yang mempengaruhi perilaku manusia. Yang terdapat paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang sebagai hasil bentukan sistem sosial yang didalamnya tercakup budaya
Tinjauan Pustaka
Bagaimana kita suka / tidak suka terhadap sesuatu dan pada akhirnya menentukan perilaku kita. Sikap kita berorientasi kepada respon sikap adalah suatu bentuk dari perasaan, yaitu perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (Unfavourable) pada suatu objek. Sikap juga berorientasi kepada kesiapan respon, sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Sikap merupakan suatu pola perilaku, tendenasi atau kesiapan antisipatif untuk menyesuaikan diri dari situasi sosial yang telah terkondisikan.
Komponen atau Struktur Sikap
Menurut Mar’at (1984):
1. Komponen kognisi yang berhubungan dengan belief (kepercayaan atau keyakinan), ide, konsep yaitu persepsi, stereotipe, opini yang dimiliki individu mengenai sesuatu
2. Komponen Afeksi yang berhubungan dengan kehidupan emosional seseorang misalnya menyangkut perasaan individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi
3. Komponen Kognisi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku seperti ”kecenderungan” : belum berperilaku.
- Interaksi antara komponen sikap: seharusnya membentuk pola sikap yang seragam ketika dihadapkan pada objek sikap. Apabila salah satu komponen sikap tidak konsisten satu sama lain, maka akan terjadi ketidakselarasan akibatnya terjadi perubahan sikap .
Dalam hal akulturasi budaya hingga menciptakan suatu kebudayaan yang baru, maka generasi baru yang muncul mempergunakan persepinya untuk membandingkan keadaan akar budaya Belanda dan budaya pribumi Jawa, ini tidak berhenti sampai disitu saja namun terus berlanjut hingga terbentuk suatu sikap
Pembentukan Sikap
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap:
1. Pengalaman pribadi
§ Dasar pembentukan sikap: pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat
§ Sikap mudah terbentuk jika melibatkan faktor emosional
2. Kebudayaan
§ Pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut dibesarkan
§ Contoh pada sikap orang kota dan orang desa terhadap kebebasan dalam pergaulan
3. Orang lain yang dianggap penting (Significant Otjhers)
§ yaitu: orang-orang yang kita harapkan persetujuannya bagi setiap gerak tingkah laku dan opini kita, orang yang tidak ingin dikecewakan, dan yang berarti khusus
§ Misalnya: orangtua, pacar, suami/isteri, teman dekat, guru, pemimpin
§ Umumnya individu tersebut akan memiliki sikap yang searah (konformis) dengan orang yang dianggap penting.
Hal-hal yang dipandang oleh para keturunan adalah ketidak nyamanan ketika harus menjadi salah seorang pribumi yang harus bekerja keras untuk memperoleh sesuatu, namun karena adanya kesempatan sebagai seorang keturunan Indo-Belanda maka mereka membuat dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada pribumi asli Jawa dengan memanfaatkan garis keturunan campuran, sehingga mereka tidak pernah mau untuk menyebut dirinya pribumi namun mencirikan diri mereka sendiri sebagai suatu kebudayaan baru.
Awal kehadiran orang Belanda
Pada abad ke-16, bangsa Belanda datang ke nusantara Indonesia untuk melakukan perdagangan dengan membeli rempah-rempah kepada orang-orang pribumi setempat, tapi kemudian tujuan organisasi perdagangan Belanda (VOC) berkembang. Mereka ingin menetap, yang selanjutnya digunakan pertahanan dan konsolidasi kekuatan, memonopoli perdagangan hingga menjadi penguasa terhadap seluruh nusantara. Akhir dari semunya adalah kolonialisme yang diterapkan oleh Belanda atas seluruh Indonesia (Hindia Belanda)
Politik liberal serta struktur feodal yang diberlakukan oleh Belanda mengakibatkan semakin luas dan berkembangnya perusahaan swasta, hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah tenaga kerja (buruh dan birokrasi). Tenaga buruh yang dapat diambil dari rakyat/pribumi jelata yang tidak berpendidikan kemudian untuk tenaga birokrasi perkantoran golongan rendah dan menengah diambil dari rakyat/pribumi Indonesia (suku jawa) yang berpendidikan sekolah, sedangkan pemegang kendali –kendali perusahaan langsung dipegang oleh orang Belanda yang banyak datang ke Indonesia
Kebudayaan baru pun muncul. Karena adanya larangan bagi orang-orang Belanda untuk membawa istri atau mendatangkan perempuan Belanda ke Hindia Belanda (Indonesia). Maka daripada itu lelaki Belanda terdorong untuk menikahi penduduk setempat. Maka, terjadilah percampuran darah yang melahirkan anak-anak campuran, dan menumbuhkan budaya dan gaya hidup Belanda-pribumi yang kita sebut gaya indis. Kemudian, pada tahun 1870 ketika terusan suez dibuka, hal itu berarti memperpendek jarak tempuh antara negeri Belanda dengan Hindia Belanda, hingga menyebabakan arus kehadiran perempuan semakin banyak, kehadiran perempuan Eropa ke nusantara pun memperluas percampuran kebudayaan yang telah terbentuk.
Kebudayaan Indis
Semakin banyaknya orang-orang Belanda yang datang ke Hindia Belanda dan membentuk koloni sendiri dan selain itu mereka juga ada yang menikahi orang pribumi (jawa) membuat terjadinya proses asimilasi semakin cepat, pertemuan antara budaya Belanda dan budaya jawa disebut dengan kebudayaan indis
Kebudayaan indis merupakan fenomena historis karena menghasilkan/mempengaruhi tujuh unsur-unsur universal budaya yang telah ada dalam masyarakat pribumi jawa sebelumnya.
Masyarakat pendukung kebudayaan Indis
Kehadiran bangsa Belanda sebagai penguasa di pulau jawa menyebabkan pertemuan dua kebudayaan, yaitu budaya barat dan timur. Kebudayaan barat (Belanda) dan kebudayaan timur (jawa) masing-masing didukung oleh etnis dan struktur sosial yang berbeda dan semakin bercampur. Sejak abad ke-18 sampai awal abad kw-20 muncul golongan sosial baru sebagai pendukung kuat kebudayaan campuran (Belanda-jawa) di daerah jajahan Hindia Belanda.
Ketujuh unsur universal yang tepengaruh budaya Belanda ialah Bahasa (lisan dan tertulis), peralatan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi.
Misalnya perkembangan dalam bidang pendidikan dan organisasi menyebabkan modernisasi pada masyarakat Indis. Masyarakat pribumi yang berpendidikan barat menjadi terangkat martabatnya, mereka pun menjadi bersikap kooperatif terhadap Belanda. Dan hal ini menumbuhkan golongan sosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru yang menurut Sartono Kartodirdjo dibagi kedalam lima stratifikasi yaitu (1) Elite birokrasi yang terdiri atas Pangreh Praja Eropa dan Pangreh Praja Pribumi (2) Priyayi birokrasi termasuk priyayi ningrat (3) Priyayi professional (dibagi menjadi dua ada golongan priyayi gedhe dan priyayi cilik (4) Golongan Belanda dan golongan indo yang secara formal masuk status Eropa (5) Orang kecil (wong cilik). Golongan masyarakat tersebut, kecuali wong cilik, merupakan pendukung kuat kebudayaan indis
Aspek kognitif juga ikut mempengaruhi individu masyarakat indis, jika pribumi asli jawa akan canggung dengan suasana tempat tinggal bergaya barat yang modern. Lain halnya dengan masyarakat indis, mereka memodifikasi tempat tinggal dengan sedemikian rupa, jika mereka canggung atau merasa tidak nyaman dengan suasana tempat tinggal, mereka akan hanya menyesuaikan bentuk bangunannya.
Aspek normatif menunjukan keadaan yang dianggap sebagai hal yang berharga, yang menjadi tuntutan dan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih baik dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial. Sebagai contoh seorang pejabat pribumi, jika rumahnya masih bergaya jawa maka akan sulit untuk merundingkan sesuatu yang sifatnya rahasia secara face to face dalam ruangan pendapa, sedang tamu-tamu yang lain ikut hadir mengelilinginya. Oleh karena itu ia harus menyesuaikan ruangan dalam rumah agar tidak bercampur-baur.
Aspek afektif, yaitu tindakan kelompok yang menunjukan situasi. Aspek ini dikaitkan dengan aspek kehidupan berumah tangga, terutama komposisi sebuah keluarga yang tinggal dalam sebuah rumah.
Komposisi sosial. Keturunan kedua golongan masyarakat Belanda dan pribumi yang disebut indo masih tetap menganggap budaya masa lampau perlu untuk dibanggakan, karena perlu menggunakan budaya barat demi karir jabatan dan prestise dalam hidup masyarakat kolonial.
Sejak awal kehadiran bangsa Belanda telah terjadi kontak budaya yang kemudian menghasilkan perpaduan budaya. Kebudayaan campuran yang didukung oleh segolongan masyarakat Hindia Belanda itu disebut kebudayaan Indis. Dalam proses akulturasi dua kebudayaan tersebut, peran penguasa kolonial di Hindia Belanda sangat menentukan. Sementara itu, bangsa Indonesia menerima nasib sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri. Sebelum bangsa Belanda hadir, masyarakat pribumu Jawa sudah mengenal teknologi dengan cukup baik. Mereka sudah mahir mengolah bahan-bahan kayu, batu, logam dan tanah liat. Hal itu tampak dari gaya arsitektur rumah yang berelemen kayu dan bangunan candi yang berelemen batu. Bakat-bakat teknologi ini kemudian mereka padukan dengan pengetahuan dari Eropa-Belanda. Setelah terjadi proses akulturasi, mereka menghasilkan berbagai alat kelengkapan hidup seperti pakaian, arsitektur, dan alat-alat produksi bergaya Indis.
Gaya hidup masyarakat indis
Gaya hidup golongan masyarakat pendukung kebudayaan indis menunjukan perbedaan mencolok dengan kelompok-kelompok sosial lainnya, terutama dengan kelompok masyarakat tradisiona jawa. Tujuh unsur universal kebudayaan indis, seperti halnya tujuh unsur universal yang dimiliki semua bangsa, mendapatkan bentuk yang berbeda dari akar budaya Belanda ataupun budaya pribumi Jawa. Sebagai golongan penguasa dan keturunan masyarakat yang mendukung dua akar kebudayaan yang berbeda, mereka berupaya untuk menunjukan kebesarannya yang berbeda pula dengan masyarakat kebanyakan. Kehidupan sosial dan ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan dengan kehidupan sosial masyarakat pribumi pada umumnya, memungkinkan mereka memiliki rumah tinggal berukuran besar yang bagus di dalam kompleks yang wilayahnya khusus pula, dalam hal ini, mereka mengacu pada lambang-lambang penguasa jawa dan kebesaran kekuasaan bangsa Eropa. selain itu mereka memulai kehidupan mewah dan boros akibat keberhasilan di bidang ekonomi melalui pengaruhnya sebagai anggota/bagian masyarakat indis. Dengan gaya hidup yang mewah itu mereka memepertahankan martabat dan kekuasaan koloninya. Kedudukan sebagai kelompok penguasa membuat masyarakat indis berupaya menjaga prestise dan kedudukanyaa melalui berbagai cara agar dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat lainnya. Kewibawaan, kekayaan dan kebesarannya ditampilkan agar tampak lebih mewah dan agung. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan kekuasaan mereka di nusantara.
Daur hidup dan gaya hidup mewah
Daur hidup (Life cycle) adalah suatu rangkaian dalam perkembangan kehidupan seseorang untuk kembali ke status aslinya dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Dalam membahas kemewahan gaya hidup masyarakat indis yang berhubungan dengan daur hidup ada tiga peristiwa penting dalam daur kehidupan manusia yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian.
Upacara kelahiran, kelahiran anggota baru dalam keluarga indis, lazim dirayakan dengan berbagai upacara. Sebelum melahirkan keluarga sufah menyiapkan baju Rajang unruk si bayi dan juga kelengkapan persalinan dan ruang tidur. Upacara penting setelah kelahirna adalah pemberian nama dan pembaptisan. Dari keseluruhan upacara-upacara untuk menyongsong kelahiran anak tidak terlalu banyak menelan biaya.
Upacara Pernikahan. Upacara Pernikahan memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan upacara kelahiran. Kemewahan upacara perkawinan ditentukan oleh kekayaan, tingkat jabatan, serta keberuntungan kedua calon pengantin dan orangtua pengantin
Upacara kematian. Upacara daur kehidupan yang terakhir adalah upacara kematian. Upacara kematian diselanggarakan dengan mewah dan menelan banyak biaya sangat besar. Misalnya untuk upacara kenatian oejabat VOC atau pemerintah Hindia Belanda memerlukan banyak pengerahan tenaga dan pemikiran berbagai pihak. Pengerahan dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari keluarga, rohaniawan, pejabat sipil, militer, sampai serdadu dan pemikul peti jenazah atau penggali kubur. Pada masa kejayaan VOC, upacara yang berhubungan dengan kematian seorang pejabat tinggi justru merupakan ajang pamer kemewahan, kebesaran dan kemegahan.
Kesimpulan
Kebudayaan indis adalah perpaduan antara budaya Belanda dan Indonesia (Jawa) yang mendapatkan bentuk yang berbeda dari akar budaya Belanda ataupun budaya pribumi Jawa. Hal ini disebabkan oleh karena pernikahan yang dilakukan oleh para lelaki Belanda kepada perempuan pribumi Jawa dan juga karena faktor pendidikan yang dapat diakses oleh beberapa/sebagian orang bangsa pribumi Jawa.
Masyarakat Indis tidak mau disamakan menjadi setingkat bangsa pribumi jawa yang lain namun karena mereka mempunyai akses untuk mengidentifikasi diri mereka menjadi warga eropa maka hal itu dimanfaatkan. Sehingga mereka dapat menduduki posisi setingkat diatas para pribumi jawa yang berarti juga mereka memiliki kekhususan dalam kehidupan sosial, ekonomi dibandingkan dengan masyarakat pribumi. Perlahan-lahan mereka mengadopsi budaya Belanda dan jawa, memadukan dua kebudayaan, mengambil yang bermanfaat dan yang berguna bagi kelangsungan masyarakat mereka dimulai dari cara berbahasa, peralatan perlengkapan hidup, mata pencaharian hidup dam sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, kesenian, ilmu pengetahuan dan religi. Perubahan budaya ini diawali oleh proses berpikir oleh para keturunan atau masyarakat indis yang tidak mau status sosialnya disamakan atau disederajatkan dengan pribumi lain sehingga mereka terlihat berbeda dari barbagai aspek terhadap budaya bangsa Belanda dan pribumi jawa, seperti bentuk dan fungsi rumah, mata pencaharian, dan kesenian. Jadi diantara seluruh tatanan kebudayaan Belanda dan Kebudayaan Jawa terdapat kebudayaan Indis yang menarik masyarakatnya untuk berperilaku ke Belandaan dan tetap mengakar pada budaya pribumi jawa.
Dengan demikian kebudayaan Indis merupakan produk dari pengaruh kebudayaan barat sekaligus bagian dari kebudayaan modern Indonesia.
Saran
Dilihat dari satu sisi penjajahan/kolonialime yang dibuat bangsa Belanda di nusantara ini bersifat negatif, namun jika kita membuka cakrawala pikiran kita ternyata ada sisi positif yang terbawa dari bangsa Belanda kepada bangsa Indonesia, hal itu tercakup dalam terciptanya masyarakat Indis yang berpendidikan yang lebih menghargai nilai-nilai positif suatu budaya lain.
Daftar Pustaka
Soekiman, Djoko. 2011.Kebudayaan Indis dari zaman kompeni sampai revolusi. Jakarta : komunitas bambu.
Wednesday, April 27, 2011
Tahap – Tahap Perkembangan Manusia oleh Sigmund Freud
Tahap – Tahap Perkembangan Manusia
Freud berpendapat bahwa setiap individu manusia mempunyai seksualitas kanak – kanak (infantile sexuality) yaitu dorongan seksual yang terdapat pada bayi. Dorongan ini akan berkembang terus menjadi dorongan seksualitas pada orang dewasa, melalui beberapa tingkat perkembangan, yaitu :
(1) tahap oral (mulut)
Pada fase ini kepuasan seksual terutama terdapat disekitar mulut. Contoh : perbutan bayi menyusu kepada ibunya atau memasukan benda –benda ke dalam mulutnya adalah dalam rangka mencapai kepuasan seksual fase oral ini.
(2) tahap anal (anus)
Pada fase ini kira – kira usia dua tahun, daerah kepuasan seksual berpindah ke anus. Contoh : Anak duduk di pispot sampai lama untuk enikmati kepuasan seksualnya pada anus.
(3) tahap phalic
Pada anak usia 6 – 7 tahun kepuasan seksualnya terdapat pada alat kelamin. Tetapi berbeda dengan kepuasan seks orang dewasa, kepuasan seks phalic ini tidak bertujuan mengembangkan keturunan.
(4) tahap latent
Pada anak usia 7 – 8 tahun sampai menginjak masa awal remaja, seolah – olah tidak ada aktivitas seksual. Karena itu masa ini disebut fase latent (tersembunyi).
(5) tahap genetal
Dimulai sejak masa remaja; segala kepuasan seks terutama berpusat pada alat kelamin.
Daftar Pustaka
Basuki, A.M. Heru. (2008). Psikologi Umum. Jakarta : Penerbit Gunadarma.
Freud berpendapat bahwa setiap individu manusia mempunyai seksualitas kanak – kanak (infantile sexuality) yaitu dorongan seksual yang terdapat pada bayi. Dorongan ini akan berkembang terus menjadi dorongan seksualitas pada orang dewasa, melalui beberapa tingkat perkembangan, yaitu :
(1) tahap oral (mulut)
Pada fase ini kepuasan seksual terutama terdapat disekitar mulut. Contoh : perbutan bayi menyusu kepada ibunya atau memasukan benda –benda ke dalam mulutnya adalah dalam rangka mencapai kepuasan seksual fase oral ini.
(2) tahap anal (anus)
Pada fase ini kira – kira usia dua tahun, daerah kepuasan seksual berpindah ke anus. Contoh : Anak duduk di pispot sampai lama untuk enikmati kepuasan seksualnya pada anus.
(3) tahap phalic
Pada anak usia 6 – 7 tahun kepuasan seksualnya terdapat pada alat kelamin. Tetapi berbeda dengan kepuasan seks orang dewasa, kepuasan seks phalic ini tidak bertujuan mengembangkan keturunan.
(4) tahap latent
Pada anak usia 7 – 8 tahun sampai menginjak masa awal remaja, seolah – olah tidak ada aktivitas seksual. Karena itu masa ini disebut fase latent (tersembunyi).
(5) tahap genetal
Dimulai sejak masa remaja; segala kepuasan seks terutama berpusat pada alat kelamin.
Daftar Pustaka
Basuki, A.M. Heru. (2008). Psikologi Umum. Jakarta : Penerbit Gunadarma.
Subscribe to:
Posts (Atom)